Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menculik Sang Panglima

23 Februari 2022   21:51 Diperbarui: 23 Februari 2022   22:03 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah pakai Picsart

Langit desa mempersembahkan cerah berbinar dengan gumpalan awan gemawan bertaburan. Hati ini terpapar ikut merasakan cerahnya langit. Sebongkah semangat '45 tersemat kuat disanubari. Rasa senang bercampur bangga menetes berat membekap diri.

Pandangan liarku masih sempat menelisik sudut-sudut lapangan dengan pikiran semrawut oleh penyusup lain yang turut mencampuri.

Tempat ini lengang. Hanya ada segelintir manusia. Aku dan panglima. Dua pedagang di sisi timur dan sisi barat serta empat anak muda dibawah kaki patung sang Jendral tampak dari kejauhan. Gelegak bunyi sang saka merah putih cukup menyita perhatian. Ditampar sang bayu tak berkesudahan menciptakan lenggang-lenggok keperkasaan dipuncak tiang. Tali yang membelit turut serta menjadi permainan sang angin, terbanting-banting dibadan tiang hingga menimbulkan bunyi,"Trang...trang...trang...." mirip genderang perang. Padahal hanya benturan elemen logam dengan tali tambang plastik.

Sang saka merah putih tak menyapa kehadiranku. Karena dia tahu, aku hanyalah pemuda tengil, bukan pejuang yang dulu ikut menuntaskan kemerdekaan. Tak apalah. Kain dwi warna itu hanya mau memberi hormat pada Panglima dengan cara meliuk-liukkan diri. Masih dalam posisi berdiri, kami tengadah menatap kibarannya yang flamboyan. Badai topan aku rasa tidak akan mampu merobek tubuhnya. Kuat. Betapa patriotik. Dari atas dia melihat wilayah membentang berbatas cakrawala. Kami bagian dari alam yang terlihat.

"Sopo sing mbangun iki?". Panglima besar sudah tidak sabar.

"Nanti saya jelaskan. Kita datangi dulu tempat itu". Pandanganku mengarah pada puncak disana.

Mendatangi patung, karena itulah daya tarik awal. Sebuah patung panglima besar perang kemerdekaan republik Indonesia. Berdiri tegak memegang tongkat menghadap utara penuh wibawa.

Untuk sampai ke patung, kami wajib melintasi tangga batu berundak berjumlah 70 dibagi tiga trap. Trap pertama 45 anak tangga, trap kedua 8 anak tangga, dan yang terakhir 17 anak tangga. Angka-angka tersebut mewakili hari kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu 17 Agustus 1945. Dengan pelan Pak Dirman aku bimbing. Melangkah, setapak demi setapak. Hingga ujungnya terlampau. Beliau terengah-engah, kepayahan. Keringat bercucuran.

"Monumen beserta patung setinggi 7 meter ini dibangun oleh salah seorang pengawal bapak". Segera kuurai pertanyaannya. "Sebagai penanda sejarah akan kehebatan bapak selama memimpin perang gerilya, juga rasa hormat buat mantan panglimanya"

"Sopo jenenge?"

"Roto Soewarno. Panglima ingat?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun