Salah satunya, Tiongkok, yang mengklaim secara sepihak Laut Natuna Utara yang memang jadi bagian Laut China Selatan. Itu karena Negara Tirai Bambu memasukkannya dalam konsep Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line).
Berdasarkan dalih sebagai kubu yang menang pada Perang Dunia II. Saat itu, Tiongkok mengklaim Nine Dash Line membentang sejauh 2.000 km dari daratan mereka hingga beberapa ratus km yang bersinggungan dengan negara lain.
Termasuk, Laut China Selatan yang luasnya 3.5 juta km persegi ini, diakui Tiongkok dengan 90 persen bagian. Itu berarti termasuk Laut Natuna Utara milik kita, Indonesia yang luasnya sekitar 83.000 km persegi, bakal berkurang 30 persen...
Wow!
Padahal, Indonesia sudah menegaskan ujung selatan dari Laut China Selatan merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut hingga pada 2017 dinamai Laut Natuna Utara.
Ironisnya, Tiongkok bergeming. Tetap menganggap Laut China Selatan yang di dalamnya ada Laut Natuna Utara sebagai miliknya.
Saya yang mengetahui kabar tersebut melalui media online, cetak, dan televisi, pun jadi kesal sendiri.
Ini seperti kisah penumpang ojol saya. Yang punya tetangga julid dengan parkir kendaraan sembarangan hingga menghalangi aksesnya keluar masuk rumah.
Atau, klaim Tiongkok terkait Laut China Selatan itu begini. Biar lebih masuk, saya ambil contoh sendiri.
Ibaratnya saya tinggal di suatu perumahan sederhana dengan batas antarrumah dipisahkan pagar yang terbuat dari kayu berjarak masing-masing satu meter dari bangunan. Nah, ga lama, ada tetangga yang baru pindah tinggal di sebelah.
Doi seenaknya mencabut pagar kayu saya dengan dimajukan mepet ke dalam rumah. Alasannya, untuk dijadikan parkiran kendaraannya.