Salah satu dari beberapa orang yang berkerumun di depannya menjawab, "Ga takut. Lapor aja. Ini jalanan umum. Toh, kami kasih makanan ke kucing hasil beli sendiri. Ga ngemis ke Anda."
"Tapi, kotorannya berserakan di mana-mana. Pot saya sampe pada rusak. Udah, sekarang saya mau kerja. Cape ngeladenin orang ga waras seperti kalian."
"Huuuu... Dasar perempuan nirempati. Cocoknya Anda hidup di hutan!"
Penumpang saya yang mukanya merah siap melabrak orang tersebut. Namun, urung ketika menoleh ada saya yang sudah menunggu di depannya.
"Pak, maaf ya. Yuk berangkat," ujarnya sambil menaruh sapu dan pengki serta mengunci pagar rumahnya.
"Ke gedung EFG ya, ka. Siap."
"Maaf ya, udah bikin nunggu lama. Cape juga ngadepin tetangga yang berisik ini. Sekali lagi, maaf ya pak."
"Aman ka. Oke, kita otw."
* Â Â Â * Â Â Â *
TERNYATA, usut punya usut, keributan itu akibat ulah tetangga depan rumahnya yang dinilai sangat keterlaluan. Itu diungkapkan sang penumpang dalam perjalanan yang beberapa kali menahan geregetan.
Menurutnya, si tetangga yang baru pindah bulan lalu ke cluster kelas menengah itu sangat resek. Sebab, sering menyetel tv dengan volume yang kencang pada malam hari.Â