Mohon tunggu...
Robigustas
Robigustas Mohon Tunggu... Penulis - Penulis riang

Suka pizza. *Setiap nama yang ada di cerpen, bukanlah nama sebenarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sakti Terpukul

16 Juli 2023   12:25 Diperbarui: 16 Juli 2023   12:27 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sakti terpukul sekali, saat tahu Karin sudah tiada. Ia menangis sejadi-jadinya di ruangan tempat Karin dirawat---meninggal itu.

Sambil memeluk jasad isterinya, Sakti meracau---tidak menyangka bahwa sang isteri begitu cepat meninggalkannya, juga meninggalkan dua orang anak.

Seisi ruangan ketika itu dibuat bisu oleh Sakti, karena hanya terdengar tangis kerasnya. Sampai terisak-isak.

Ia seperti tidak peduli dengan pasien lainnya---dekat ruang jasad sang isteri. Sakti terus menangis. Bahkan sampai berteriak-teriak. Mengungkapkan ketidakpercayaannya: isterinya pergi untuk selama-lamanya.

Penjenguk ruang sebelah sampai keluar---melihat Sakti. Merasa penasaran, betapa besarnya cinta dan sayangnya Sakti kepada Karin.

Matanya, seperti tidak rela menghentikan air mata atas kepergian sang isteri. Sakti sangat mencintai Karin. Sejak lama. Sejak sekolah (SMA).

Orang tua maupun mertuanya, yang melihat Sakti begitu, tampak iba mendalam. Sakti lagi-lagi seperti tidak terima kepergian Karin.

"Yang sabar ya, nak? Ikhlaskan," ibu Karin menguatkan, sembari menangis---mengelus-ngelus kepala Sakti.

Dua perawat tiba di ruangan Karin. Bersiap untuk memandikan dan mengafani Karin. Lanjut akan menyalatkannya.

Sakti masih memeluk sang isteri. Tidak ingin lepas dari jasad Karin. Sampai-sampai ia berusaha menghalau tangan dua perawat itu, saat ingin mengangkat jasad sang isteri.

Sakti bersikeras. Tidak ingin melepas tubuh jasad sang isteri dari kedua tangan perawat itu. Orang tua dan mertua coba memberinya pengertian.

Ia diberi pengertian pelan-pelan.

Mereka juga coba melepas pelan kedua tangan Sakti dari jasad Karin yang masih memeluk. Sulit, Sakti begitu kuat memeluk tubuh isterinya.

Sakti kembali menangis. Berteriak. Lagi-lagi tidak menyangka sang isteri telah tiada.

Anak-anaknya, dibawa menjauh dari Sakti. Khawatir terjadi apa-apa dengan keduanya. Khawatir Sakti lepas kontrol.

"Pak. Mohon ikhlaskan, ya? Biar dia tenang. Lihat anak-anak Bapak. Mereka butuh Bapak. Harus kuat," kata dokter yang merawat Karin ke Sakti.

Sakti luluh. Ia coba menuruti kata dokter itu. Teringat anak-anaknya---yang masih perlu perhatiannya.

Jasad Karin dibawa ke ruang jenazah. Dimandikan. Dikafani.

Tiba waktu menyalatkan, Sakti kembali menangis. Kali ini tidak sampai berteriak-teriak. Tapi masih terisak.

Karin disalatkan.

Mobil ambulans sudah siap membawa Karin ke rumahnya, di Banten.

Butuh waktu cukup lama untuk tiba di rumahnya. Sebab Karin dirawat di RSCM, Jakarta.

Mobil ambulans mulai berjalan. Sakti menemani Karin di dalam mobil ambulans, bersama ayah dan mertuanya.

Sakti menatap dalam-dalam wajah isterinya yang telah dikafaninya itu. Cerah. Sakti tersenyum. Yakin isterinya akan tenang di sisi-Nya. Mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.

Tiba di rumah, jasad Karin disalatkan kembali. Di masjid. Berkumpul seluruh keluarga Karin dan Sakti.

Usai disalatkan, Sakti menyamperi anak-anaknya yang masih kecil. Memeluk erat keduanya. Mencium keduanya.

Air mata Sakti tak terasa jatuh, membasahi pundak anak-anaknya, Bimo dan Rian.

Keduanya, akhirnya ikut menangis. Kencang. Anak kecil yang masih berusia 5 dan 7 tahun itu memeluk erat Sakti, ayahnya.

Karin siap dibawa ke peristirahatan terakhir yang tidak jauh dari rumahnya. Keluarga dan kerabat menggotong keranda Karin. Sakti berjalan bersama anak-anaknya.

Sesampainya di pemakaman, Sakti meminta tolong orang tua dan mertua perempuannya memegang kedua anaknya. Sakti masuk ke liang lahat. Mengantarkan jasad isterinya ke liang lahad.

Dipeluknya erat jasad Karin. Diturunkannya pelan-pelan. Sakti menatap tajam mata isterinya.

"Jangan sampai air matamu jatuh, Sakti," teriak orang tuanya.

Ia lepas satu per satu tali kafan Karin, dari kaki hingga kepala.

Mulai ditimbun tanah dengan pelan-pelan. Sakti ikut menimbun---menggunakan tangannya.

Perlahan tanah yang menutupi jasad Karin mulai meninggi. Sakti mengambil nisan. Meletakkannya di bagian kepala dan bagian kaki Karin.

Karin meninggal pada usia 30 tahun. Meninggal karena sakit kanker otak stadium lanjut.

Sakti mengikhlaskan kepergian Karin.

Ia bersama keluarga dan kerabat mulai berdoa. Semua berharap Karin mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan.

***
Sakti melirik Karin. Lirikan Sakti itu, dibalas Karin dengan membuang muka. Sakti menghela nafas. Itu terjadi dalam kelas.

Sakti dan Karin satu sekolah (SMA). Di daerah Banten. Tempat tinggal keduanya tidak begitu jauh.

Sejak kelas I hingga kelas III, Sakti dan Karin sekelas. Tapi, Sakti butuh 2 tahun menaklukan hati Karin. Sakti kerja keras.

Sakti pernah berseloroh saat mendapatkan hati Karin: "Beruntung banget gua ngedapetin dia karena wajah gua pas-pasan," kata dia, sambil tertawa.

Sebelum mendapatkan hati Karin, Sakti sempat ditolak berkali-kali.

Kalau diingat-ingat, sudah 7 kali ia ditolak Karin. Tapi, Karin tidak pernah mengungkapkan jelas alasannya menolak Sakti. Sakti penasaran.

Penasarannya itu yang menjadikan diri Sakti terus  berusaha mendapatkan hati Karin.

Namun, Karin mengungkapkannya ke Sakti usai keduanya menjalin hubungan.

Sakti sempat kaget. Tidak menyangka. Tapi Sakti tidak peduli. Karin mengidap tumor otak.

Sakti malah makin sayang. Makin menunjukkan kesetiannya kepada Karin. Berjanji akan tetap bersamanya, sampai menikah dan memiliki anak.

Karin tersanjung bukan main. Tak menyangka Sakti mau menerima dirinya. Apa adanya.

Sampai lulus SMA, keduanya masih bersama. Bahkan sampai keduanya kuliah, masih tetap bersama, hingga sama-sama lulus kuliah---kemudian menikah.

Di hati Sakti hanya ada Karin. Tidak ada yang lain, hingga Karin menghembuskan nafas terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun