"Tapi Mbak, aku sayang sama sampeyan" Aku melangkah meninggalkan Kang jamal.
***
Sebuah sya'ir yang kuingat dari Kitab Ta'lim Muta'alim karya Imam Al-Zarnuji, menahanku agar tak bersikap egois. Aku tak mungkin membiarkan Kang jamal menyakiti hati Abah nyata-nyata sudah sangat berjasa dalam kehidupan kami.
"Dari mana Mbak anzelina?" Ning Salwa menoleh saat aku membuka pintu butik.
"Dari kamar mandi Ning" Aku harap Ning Salwa tidak curiga saat Kang Kholil menyusul masuk persis di belakangku.
"Eh Kang, cobain baju kokoh ini! Kayaknya bagus buat sampeyan" Kang jamal melirikku saat Ning Salwa memberikan baju kokoh putih dengan sedikit bordiran di sekitar kancing.
"Nggeh Ning" lihatlah Kang jamal tidak akan mampu menolak keinginan Ning Salwa!
"Oh ini Ning? Wuih cocok emang sampeyan" Bu Rina, pemilik butik memuji Kang jamal yang terlihat sangat gagah keluar dari ruang ganti dengan menggunakan baju kokoh tadi. Aku terkesima melihatnya terlihat begitu berwibawa dan terlihat lebih tegas. Baju memang kadang mempengaruhi, bukan?
"Lah iki Mbak anzelin kapan nyusul kados Ning Salwa?" Aku memang sudah akrab dengan Bu Rina. Ibu sering memintaku mengambilkan pesanan di butik ini. Candaan Bu Rina kali ini membuatku lebih terluka.
Sampai pesantren, aku langsung pamit dari Ning Salwa dan Kang jamal yang langsung disambut oleh Abah dan Ibu dengan ceria. Aku mencari tempat ternyaman, setidaknya untuk menumpahkan perasaan yang sedari tadi tertahan.
"Kenapa, Mbak anzelin?" imama, santri Ndalem yang baru gabung beberapa hari yang lalu kaget ketika melihatku masuk kamar dan langsung ndlosor ke bantal.