Abdi Santri Ndalem
Cerpen ini menceritakan perjalanan seorang santri ngabdi Ndalem, Fatim, yang terjebak dalam dilema cinta dan tugas. Di tengah rutinitasnya ...
Sebagai santri Ndalem, aku memang mendapatkan dispensasi tidak mengikuti pengajian selepas subuh. Aku dan beberapa santri Ndalem lainnya memastikan sarapan para santri sudah tersaji sebelum mereka pulang pengajian. Abah Zain berkali-kali mewanti-wanti pada kami untuk cekatan menyelesaikan masak seawal mungkin. Jangan sampai sarapan yang terlambat menjadi keterlambatan santri datang ke madrasah formal.
"Mbak Fatim, nanti ada kuliah jam berapa?"
Aku yang sedang mencium aroma sayur kacang panjang kaget dengan kedatangan Abah Zain. "Hari ini nggak ada kuliah Bah."
"Nanti tolong kamar Salwa nggeh. Nanti sore Salwa mau pulang. Pondoknya sudah libur."
"Nggeh Bah."
Bulan Sya'ban memang sering dijadikan waktu liburan oleh beberapa pesantren. Setelah mengikuti ujian untuk persyaratan naik kelas biasanya para santri diberi waktu untuk libur sampai Ramadan, seperti di pondok Ning Salwa. Dulu pesantren ini juga menerapkan hal itu, hanya saja karena banyak santri yang ketika Ndalem lainnya.
***
Aku tak berani menatapnya berlama-lama. Senyum lembutnya telah berkali-kali membuat perasaanku tak karuan. Aku juga tak sanggup menatap binar matanya yang tajam nan meneduhkan. Meski secara fisik dia kalah dengan Kang jamal yang berkali-kali menitip salam untukku, tapi kesederhanaannya mampu membuat hatiku tak karuan saat melihatnya. Dari celah pintu kamar yang belum tertutup sempurna aku melihat Kang jamal masuk ke ruang perpus milik Abah dan disusul Ning Salwa.
Malam Jumat adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh kebanyakan santri. Semua kegiatan selama di pesantren diliburkan, lebih tepatnya diganti dengan kegiatan-kegiatan 'ubudiyah seperti membaca kitab al-Barzanji, sema'an al-Qur'an, dan ziarah ke makam Masyayikh. Karena tak ada tanggungan setoran kitab besok hari.