Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rus

17 November 2023   17:15 Diperbarui: 17 November 2023   17:28 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rusmini gusar, menunggu kabar ihwal nasib ponselnya yang digondol maling pagi tadi. Lewat bantuan Debi, anak sulung tetangganya, kini dia mendapat lokasi terakhir posisi ponsel berada: Pasar Kebon Lonceng, tiga kilo jauhnya dari kediaman perempuan akhir tiga puluhan itu.

"Ayo, Teh. Mudah-mudahan masih ada di sana." Debi menghentikan skuternya di halaman rumah Rusmini. "Setahu Debi, cuma ada lima konter di Pasar Kebon Lonceng. Kita bisa tanyain satu-satu," lanjutnya semangat.

Masih gemetar, Rusmini naik ke boncengan.

***

Pagi tadi, saat sadar rumahnya disatroni maling, Rusmini linglung. Bingung harus berbuat apa. Suaminya kerja sejak subuh, baru pulang nanti siang. Kalaupun ada di rumah, Rusmini tidak begitu yakin kalau lelaki itu akan sepanik dirinya. Yang diingat Rus tentang suaminya hanya nyala api. Sekali lagi, Rus merutuki diri kenapa ponsel miliknya itu tidak dibawa mencuci baju semana biasa.

Tanpa Rusmini sadari, seseorang menghampiri. Adalah Debi, orang itu. Dia meninggalkan kegiatannya menjemur pakaian. Mungkin gadis itu sadar betapa hilang arahnya Rusmini yang tengah mematung di teras.

Rusmini gugup saat ditanya Debi mengapa kelihatan begitu bingung. Dengan terbata, perempuan itu akhirnya bercerita mengenai ponselnya yang raib.

"Jangan panik," kata Debi memegang ujung bahu perempuan di depannya. "Teh Rus inget email sama kata sandi yang nyambung ke hapenya, kan?"

Rus mengangguk lemah.

"Ayo ke rumah, Debi bantuin lacak. Laptop Debi harus sambil diisi baterai kalau mau nyala, soalnya." Debi menarik tangan Rusmini untuk ikut dengannya.

Kediaman keduanya hanya terpisah pohon mangga dan sebidang tanah untuk parkir dua mobil bak milik keluarga Debi. Sebenarnya, rumah yang ditempati Rusmini tiga tahun ini pun sebelumnya milik kerabat dekat keluarga Debi yang terpaksa dijual untuk membayar utang pada rentenir. Jarak itu pula yang menjadikan hubungan keduanya cukup akrab.

"Masuk, Teh," ucap Debi seraya melepas genggaman pada tangan Rus. Gadis itu buru-buru masuk, sementara Rus mengikutinya dengan takzim.

Setelah Debi mengeluarkan perangkat laptop miliknya dari kamar, keduanya mendeprok di ruang Tengah. Rus memperhatikan bagaimana tangan gadis yang sedang menempuh tinggi itu bergerak dengan lincah di papan ketik. Rus terkesiap saat Debi meminta menyebutkan alamat surel dan kata sandi yang terhubung pada ponselnya yang hilang. Masih dengan agak terbata, Rus melafalkan apa yang diminta.

"Terakhir dua puluh menit yang lalu, ada di pasar Kebon Lonceng, Teh. Mungkin yang nyolong mau jual hapenya di konter," ucap Debi tanpa berpaling dari layar laptop.

"Debi, yang penting itu foto Aji. Semuanya ada di situ," ucap Rus lemah. Saking pelannya suara itu keluar, Debi merasa perempuan di sampinga itu malah seperti sedang berbisik.

Debi berpaling dari laptop melihat mata tetangganya yang sudah dibanjiri air.

"Ada apa, Rus?" Titi, orang tua perempuan Debi, dari dapur berjalan menghampiri keduanya. Begitu melihat Rus sedang menangis, perempuan paruh baya itu lekas berjongkok, dan memegang bahu Rus. "Kenapa ini, Debi?" katanya.

"Hape Teh Rus dicolong orang," sahut Debi.

"Lho, kok bisa? Teledor kalik, naruhnya."

"Ma...." Debi lekas memutus ucapan ibunya selagi tidak tambah ke mana-mana. Dia tahu betul tabiat orang tuanya itu.

"Yang penting itu, foto Aji. Kalau hapenya mau diambil, enggak apa-apa, ambil aja," ucap Rus diiringi air matanya yang tambah deras.

"Debi salin dulu, terus manasin motor. Teh Rus bisa salin atau nunggu dulu. Kita harus cepat ke Pasar. Siapa tahu masih bisa ditemuin."

Dan saat inilah mereka, menyusuri jalan ke arah Pasar Kebon Lonceng. Debi memacu skuter setengah kencang. Di satu sisi dia ingin lekas sampai di pasar, tapi di sisi lain, dia juga perlu awas dengan Rusmini yang berada di boncengan. Mata perempuan itu nanar, pikirannya melayang jauh ke satu titik yang Debi tahu betul itu di mana.

Dua pekan lalu, Rus dan suaminya menggelar peringatan seratus hari Aji wafat. Tidak seperti saat bocah itu masih hidup, Debi mencermati, kini sepasang suami istri itu jarang terlihat tersenyum; irit bicara; lebih banyak muram menggantung di wajah keduanya. Tentu Debi dapat mengerti kehilangan seperti apa yang Rus dan suaminya alami. Hanya saja, dia tidak menyangka akan selarut itu. Makanya, saat Rus mengatakan bahwa hal yang lebih penting untuk Rus saat ini adalah foto Aji, hati Debi tersengat. Pantas aja foto Aji sudah enggak digantung di dinding rumah mereka, pikir gadis berambut bergelombang itu mengingat kunjungannya akhir-akhir ini ke rumah pasangan tersebut.

Sebelum menyuruh Rus untuk menunggunya berganti pakaian dan memanasi mesin skuter, Debi sempat mengetik beberapa kalimat di jejaring sosial. Dia menuliskan kalau tetangganya kehilangan ponsel, dan yang lebih penting daripada itu, ada foto almarhum anaknya yang hanya dia simpan di sana. Debi banyak dapat respons dukungan untuk postingannya. Ada juga dari netizen yang meminta Debi untuk mengecek di pencadangan ponsel, siapa tahu ada foto Aji di sana. Sayangnya, saat gadis itu periksa, tak ada satu pun dokumen tercadang di udara. Jadi satu-satunya cara untuk menemukan ponsel itu adalah mendatangi lokasi terakhir perangkat itu berada.

Sambil menarik gas dan sesekali memperhatikan Rus dari spion, Debi juga berhitung dan mengingat kembali ada berapa gerai ponsel di Pasar Kebon Lonceng. Dia pun mencari metode pencarian yang efektif agar bisa menemukan ponsel tersebut. Mengingat ini belum jam sebelas, harusnya jauh lebih mudah mencari ponsel itu kalau memang si pencuri membawa hasil curiannya ke gerai ponsel. Tapi akan jauh lebih sulit dibanding mencari jarum di tumpukkan jerami, manakala pencurinya menjual ponsel itu ke sembarang orang di pasar.

Debi membelokkan skuternya ke sebuah gerai ponsel besar yang terkenal dengan sebutan Pohon Mangga. Gerai itu terlihat baru buka, beberapa karyawannya masih menyusun aneka ragam ponsel pintar di etalase, seorang petugas memasang alat peraga promosi terbaru, dan seorang lainnya menyapu halaman. Debi mengansumsikan ponsel curian itu kecil kemungkinan ada di sana, tapi dia tetap harus mengeceknya.

"Ada yang bisa dibantu, Ka?" Seorang pelayan menyambut ramah kedatangan Debi dan Rus.

"Mbak aku boleh tanya ya, ada yang jual hape enggak pagi ini?" Debi langsung mengajukan pertanyaan. Dia sudah menghitung, kalau dia berlama-lama dengan basa-basi, kesempatan untuk menemukan apa yang dicari jadi makin kecil karena waktu dengan pasti mengikis.

"Maksudnya gimana, Ka?" tanya si pelayan.

Debi melirik sekilas ke Rus yang sejak tadi memperhatikan deretan ponsel bekas di etalase toko.

"Mohon maaf banget, Mbak. Jadi tadi pagi hape tetangga saya kecurian, nah posisinya itu di sekitar Pasar Kebon Lonceng sini. Jadi kami inisiatif buat cari dan nanya, soalnya ada file penting yang ada di hape," jelas Debi.

"Waduh." Si pelayan menggaruk kepalanya.

"Maaf ya, Mbak. Kami bukan mau gimana-gimana, cuma cari. Kalaupun ada, akan dibeli lagi. Soalnya ada hal penting."

"Nah itu Kak, kami baru buka dan yang datang baru kakaknya. Jadi enggak ada."

"Oke, Mbak. Terima kasih, ya."

"Kenapa?" Seorang laki-laki menghampiri mereka.

"Ini hape Kakaknya ilang, takutnya dibawa malingnya ke sini. Katanya ada dokumen penting."

"Oh... belum ada yang jual hape, Kak. Emang dokumen apa?"

"Foto almarhum anak saya, Mas," Rus menyahut.

"Oh, ini yang tadi pagi posting di sosmed ya?"

"Iya, Mas."

"Duh, turut berduka, ya. Em, udah coba lihat di pencadangan? Siapa tahu otomatis tersimpan di sana?"

Rus memandang Debi. Yang dipandang balik memandang. "Saya udah cari, dan enggak ada. Kayaknya enggak di buat otomatis pencadangannya," kata Debi beralih memandang laki-laki tadi. "Yaudah, Mas. Kami masih mau lanjut cari dulu. Terima kasih," tambahnya sambil menepuk bahu Rus yang terlihat bengong.

Dari konter Pohon Mangga, Debi melajukan skuternya 300 meter ke depan. Kali ini ke deretan pertokoan. Di sana ada empat gerai ponsel yang dipisah masing-masing oleh toko pakaian, studio foto, penjual aksesori motor, dan gerai eskrim. Keduanya menanyai satu-persatu konter perihal ponsel Rus yang hilang itu.

"Maksudnya apa? Lu mau nuduh kami penadah, begitu?" hardik seorang penjaga gerai saat ditanyai Debi.

Debi lekas menyilangkan tangannya ke udara, "Bukan begitu, Ko. Kami cuma tanya aja. Ini usaha kami buat cari. Kalaupun ada, tetangga saya bersedia beli lagi."

"Enggak-enggak. Dari nada lu, jelas-jelas kayak orang nuduh begitu. Asal lu tahu ya, 15 tahun gua buka toko hape, gua paham mana barang colongan mana yang bukan. Dan gua enggak main-main sama barang colongan!"

"Iya, Ko. Makasih, kami cuma nanya aja."

"Cuma nanya aja, cuma nanya aja... masih pagi lu udah bikin orang emosi." Laki-laki berambut cepak itu kemudian melotot ke arah Rus yang masih memperhatikan satu-satu beragam ponsel di etalase miliknya. "Ini juga, apaan itu mata lu? Enggak percaya kalau hape lu enggak ada di sini?"

Rus terkesiap.

Debi menggenggam tangannya. "Ayo, teh," ajak gadis itu beranjak dari gerai tersebut. Sebelum pergi, Debi sempat mengucap terima kasih sambil tersenyum pada penjaga gerai yang menghardiknya tadi.

Tidak kurang setengah jam keduanya mendatangi satu demi satu gerai ponsel di Pasar Kebon Lonceng, namun nihil hasil. Sambil menunggu es kacang hijau yang sedang disajikan, Debi mengecek ponselnya. Postingan mengenai ponsel hilang tadi masih terus dibanjiri komentar dukungan dan semangat. Tidak ada saran lain yang bisa Debi coba untuk mencari ponsel Rus. Dari ponsel, Debi beralih ke tetangganya yang masih memandang udara kosong. Debi menelan ludah, tak tega melihat mata nanar Rus.

"Esnya, Neng."

Debi tersentak kaget saat penjual es menyodorkan pesanannya. "Oh iya, Bang," kata gadis itu sambil mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari saku kemejanya. Saat ingin menyerahkan es kacang hijau untuk Rus, Debi mendapati perempuan itu tengah menyeberang jarang. "Teh, Rus!" Debi berteriak.

Alih-alih didengar Rus, teriakan itu tenggelam ditelan suara lalu lintas. Debi menuju skuter, dan segera menyusul Rus di seberang jalan.

"Ada apa, Teh?" Debi berhasil menyusul Rus.

"A-Aji, Debi," ucap Rus terbata.

"Hah?"

"Hape saya... saya lihat ada yang bawa hape saya. Ada foto Aji."

"Di mana, orangnya pergi ke mana?"

"Di mobil," kata Rus sambil menunjuk angot yang melaju.

"Ayo, cepat naik. Kita kejar!"

Rus mengangguk, dia lekas naik ke boncengan.

Debi mengikuti laju angkot yang berjalan santai. Dia menarik dan mengendurkan gas dengan sabar, menunggu angkot berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. "Teh Rus ingetkan, orangnya yang mana? Jangan sampai keselip, ya?"

"Iya, Debi."

Sejarak sekilo setengah meter dari Pasar Kebon Lonceng, mobil itu kembali berhenti untuk menurunkan penumpang. Debi ikut menghentikan laju skuternya tiga meter di belakang angkot.

"Itu, Debi. Itu orangnya," kata Rus setengah berbisik.

Debi memperhatikan siapa yang turun, lelaki kurus berumur tak jauh dari umur ayahnya. Saat lelaki itu mulai melangkah menyusuri gang, Debi pun melajukan skuternya lagi. Dia berusaha menjaga jarak aman. Tentu Debi tidak mau gegabah, siapa tahu Rus tidak benar-benar melihat lelaki itu membawa ponsel yang sejak tadi keduanya cari. Pelan-pelan, Debi melajukan skuter yang dibelikan ayahnya awal tahun ini.

"Nah itu. Itu Aji, Debi." Setengah berteriak Rus kegirangan melihat foto anaknya berada di genggaman lelaki di harapan mereka.

Debi tidak bisa melihat gambar Aji yang dimaksud Rus. Tapi dia tetap mengikuti. "Jangan merespons berlebihan ya, Teh. Kalaupun itu hape Teteh, kita belum tahu dia dapat dari mana."

Setelah 600 meter, lelaki itu berbelok ke sebuah rumah sederhana berpagar bambu. Debi menghentikan laju skuternya. Dari celah pagar, dia bisa leluasa memandang lelaki itu disambut dua anak laki-laki berbeda umur. Yang satu mungkin masih usia TK, sementara yang satunya usia SD. Keduanya menyambut lelaki itu dengan semringah.

"Ake," teriak bocah paling kecil. Dia berlari menghambur ke pelukan lelaki renta tadi.

"Ake bawa hape buat Abang," kata lelaki itu setengah berteriak.

"Ake bawa hape buat ujian Abang?" Anak yang lebih besar bertanya antusias.

Lelaki itu mengangguk, dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Saat itulah keraguan Debi terjawab. Meski tidak jelas foto siapa yang ada di balik pelindung ponsel itu, tapi dia mengenali susunan foto yang terselip di bagian belakang ponsel yang sering Rus bawa-bawa. "Bener, Teh," bisik Debi kemudian.

Rus tidak merespons.

Saat menengok ke belakang, Debi baru sadar kalau tetangganya itu sedang menangis. "Ayo Teh, kita tanyain bapaknya," ucap Debi menurunkan standar skuter.

"Debi, hapenya mau dipake ujian." Rus memegang bahu Debi.

"Tapi tetap kita harus ambi, Teh."

"Enggak apa-apa. Hapenya enggak apa-apa, yang penting buat saya foto Aji."

Debi mengangguk. "Kita datengin dulu."

Debi dan Rus menghampiri lelaki tadi. Ponsel Rus sedang dilihat-lihat oleh dua bocah yang memanggil lelaki itu dengan sebutan Ake.

Ake menyambut ramah kedatangan keduanya. Namun berubah tegang saat Debi dengan hati-hati menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sejak tadi pagi, juga mengenai ponsel yang kini sedang dilihat-lihat oleh cucu Ake.

"Saya sama sekali enggak tahu kalau hapenya hape curian. Saya berani sumpah. Tadi ada orang datang ke saya, mau jual hape karena lagi kepepet. Karena saya dua bulan ini sedang nabung buat beli hape untuk cucu saya yang SD, jadi saya tawar... dan dikasih," kisah Ake.

"Tapi saya boleh lihat hapenya dulu, Pak?" tanya Debi.

Ake mengangguk, dia berpaling pada dua cucunya. "Ake pinjam dulu hapenya, Abang. Tetehnya mau lihat-lihat."

Bocah yang dipanggil Abang itu menyerahkan ponsel tersebut dengan sungkan. Meski sejak tadi terlihat memainkan ponsel, dia sebenarnya menguping pembicaraan Ake dan dua orang asing itu. Tentu Abang juga mengerti apa yang sedang jadi pembicaraan, terutama soal ponsel hasil curian. "Ake saya enggak mungkin nyolong," ucap Abang saat ponsel itu berada digenggaman Debi.

Baik Debi maupun Rus tersentil hatinya mendengar pembelaan itu.

"Saya percaya," ucap Rus, mencoba tersenyum. Dia kemudian menerima ponsel yang disodorkan Debi. Dia mendekap ponsel itu, dia mengecup punggung ponsel itu, dia juga mengusap foto yang berada di balik ponsel itu. "Ini anak saya, Aji. Dia seusia kamu," katanya sambil menitikan air mata.

Debi terenyak, sejak tadi Rus jarang bicara. Sekalipun bicara, suaranya tertahan atau terbata. Kini ucapannya lugas.

"Saya cuma perlu foto-fotonya. Setelah itu kamu boleh pakai hapenya," ucap Rus lagi. Perempuan itu kemudian membuka antarmuka ponsel miliknya. Dia langsung menuju galeri... kosong. Lutut Rus langsung lemas.

Debi bisa merasakan kekecewaan itu, kemudian inisiatif berkata, "coba cek di file sampah, siapa tahu masih di sana."

Rus kemudian mengikuti arahan Debi. Namun hasilnya tetap nihil. Kecuali foto yang terselip di belakang ponsel itu, Rus kehilangan seluruh foto Aji. Perempuan itu terduduk, menangis. Debi lekas memeluknya.

Tapi tangis Rus tidak lama-lama. Dia segera sadar untuk mengembalikan ponsel itu pada tiga laki-laki yang sejak tadi terlihat bingung memandangnya. Sebelum menyerahkan ponsel kembali pada Ake, Rus terlebih dahulu mengambil foto Aji dari balik pengaman ponsel. "Cuma lewat foto, saya merasa masih bisa terhubung dengan almarhum anak saya," katanya. "Ini, saya kembalikan hapenya ya, Pak. Semoga ujian cucunya berhasil," tambahnya sambil menyerahkan ponsel.

Ake tertegun mendengar ucapan itu. Tanpa sadar mulutnya mengecap, "Janji saya, setelah cucu saya selesai ujian. Hapenya saya kembalikan."

Rus tidak menjawab. Dia sadar bagaimanapun ponsel itu kini milik lelaki tersebut. Ake telah membelinya dari si pencuri. Rus beranjak tanpa sepatah kata sambil mendekap foto Aji di dadanya. Debi pamit sebelum menyusul tetangganya tersebut.

"Kartu simnya, Teh?" tanya Debi begitu langkahnya menyamai Rus.

Rus segera menggeleng. "Sudah enggak ada."

***

Iman sedang menyiram pohon tomat di teras rumah mana kala Debi datang bersama lelaki paruh baya yang tidak dia kenal.

"Mas, Iman. Teh Rus ada?" Debi bertanya.

"Ada, lagi masak. Sebentar, saya panggilkan," katanya. "Masuk Debi, masuk Pak," ajaknya.

"Enggak apa-apa, Mas di teras saja," ucap Debi. Dia mengajak Ake duduk di kursi yang ditata di teras.

Tak lama, Rus keluar mengenakan daster marun. Aroma masakan menempel di kulit, baju dan rambutnya. "Lho, Pak?" Dia terkejut mendapati laki-laki yang beberapa bulan lalu dia temui kini ada di teras rumahnya.

"Begini Teh, tadi Debi enggak sengaja ketemu Ake di pasar, terus minta ditemuin sama Teteh," jelas Debi.

"Apa apa, Pak?" Rus bertanya.

"Anu, Neng. Ini saya mau balikin hape yang waktu itu. Cucu saya sudah selesai ujian," ucap Ake sembari mengeluarkan ponsel dari tas selempang miliknya.

"Enggak perlu dibalikin, Pak. Itu sudah jadi milik Bapak dan cucu. Bapak sudah keluar uang. Jadi jangan dibalikin ke saya, ya."

"Enggak apa-apa, Neng. Saya enggak enak. Cucu saya juga minta saya balikin ke Eneng."

Sekali lagi Rus menggeleng. "Saya sudah selesai sama hape ini, Pak. Foto anak saya sudah saya terima. Sisanya jadi milik Bapak dan cucu. Jahat sekali kalau saya mengambil hal yang sudah jadi hak milik Bapak. Sudah ya, Pak. Bisa dipakai buat cucunya nanti-nanti," balas Rus.

Dari ambang pintu masuk rumah, Iman berdiri, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Dia masih mencari-cari hal apa yang sudah terlewati olehnya mengenai istrinya, Debi dan pria paruh baya asing yang hari ini menyambangi rumah mereka. Dia tidak ingat satu pun, kecuali perihal Rus yang mengganti nomor ponselnya beberapa bulan lalu. Iman merasa jauh sekali dari sang istri.

Setelah kepergian Debi dan pria paruh baya itu, Iman mendatangi Rus yang kembali ke dapur untuk meneruskan aktivitasnya memasak. Iman ingin Rus cerita. Awalnya perempuan itu enggan, tapi kemudian meluncurlah cerita kehilangan ponsel tiga bulan lalu. Iman terenyuh mendengarnya. Dia tidak sadar, jarak antar dirinya dan Rus sudah terlampau jauh. Di kepalanya, hanya ada cara bagaimana tidak terhubung dengan kesedihan yang dia alami beberapa bulan lalu, saat Aji meninggal di hadapannya. Dia ingin mengenyahkan kesedihan itu, ingin mengubur luka itu, ingin melupakan kehilangan itu.

"Ternyata saya tidak benar-benar bisa menghilangkan Aji, Rus. Saya minta maaf sudah menyakiti perasaan kamu. Kita sama-sama kehilangan Aji, tapi saya merasa diri saya yang paling hancur di sini," sesal Iman. "Tapi tenang, Rus... kamu, saya, kita, enggak benar-benar kehilangan Aji."

Setelah memeluk istrinya, Iman mengambil tangga di samping rumah. Dia membawa tangga itu ke sudut ruang makan, dari sana Iman mengambil dus berisi semua foto Aji yang pernah dipajang di rumah mereka.

Melihat itu Rus menangis, dia salah mengira. Dia pikir beberapa bulan lalu, Iman membakar semua hal tentang Aji.[]

Jakarta, 10 November 2023

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun