"Gimana menurutmu Kak Ardan?" tanya Haidar yang menyentuh tangannya,
"Kita bahas nanti saja, lebih baik kita bantu Putri dulu bersih-bersih," Kata Ardan yang tersadar dari lamunannya kemudian keluar dari kamar, dan diikuti oleh Selvi.
Haidar tersenyum gembira, mungkin memang belum bisa sepenuhnya membuat pertemuan itu gagal, tetapi setidaknya alasan yang disampaikannya memberikan bahan pertimbangan bagi kedua kakaknya, agar bersedia mundur.
Ardan mulai membantu Putri yang sedang mencuci semua gelas dan piring di dapur. Keduanya tidak berbicara apa-apa, sejak dulu memang begitu. Berbeda kalau ada Widya, pasti dirinya yang menjadi penghubung.
"Kalau kita seperti ini ada kak Widya, pasti kita dimarahi ya Kak, karena diem-dieman, nggak ngobrol." kata Ardan.
"Iya, sekarang beliau sudah tenang di alam sana, tinggal kita yang masih hidup melanjutkan impiannya," ucap Putri.
Mendengar kata itu, Ardan seperti kembali ke masa saat Widya memberikannya amanat untuk melanjutkan pertemuan keluarga itu. Karena, dia adalah lelaki tertua yang punya kewajiban untuk meneruskan cita-cita kedua orang tuanya sekaligus menyampaikan sebuah amanat..
Matahari pagi mulai menyinari, tetapi awan mendung masih belum keluar dari keluarga Widya. Mereka masih belum bisa menerima kepergian yang menurutnya sangat mendadak.Â
Haidar terbangun dari mimpi indahnya, pagi itu dirinya yakin pertemuan keluarga ini akan batal. Lelaki itu terbangun, kemudian membuka pintu dan berjalan menuju dapur, belum sampai di tujuan dirinya melihat Putri yang sedang mempersiapkan makanan.
Dalam pikirannya, inilah kesempatan emas untuk melaksanakan rencana selanjutnya. Akhirnya, dia mempercepat langkahnya karena situasinya sepi, sangat mendukung menjalankan aksinya
"Masak apa, Kak?" tanya Haidar