Aku memandang Fatah, dalam. Air mataku mulai berkumpul. Fatah merangkul bahuku.
"Kau juga tahu perasaanku selama ini seperti apa. Kedua orang tuaku sudah tak bersama, hanya ibuku yang selama ini membesarkanku. Tapi di balik itu, aku juga masih sangat membutuhkan sosok seorang Bapak. Yang bisa mengajariku cara untuk bangun dari segala kegagalan, yang bisa bangkit dari keterpurukan. Aku butuh itu, Fat. Aku butuh." Suaraku bergetar.
Aku mendongak, menahan air mata yang hampir jatuh.
"Jalan hidup setiap orang berbeda, Gus. Ada aku di sini yang bisa menjadi pendengar tentang semua keluh kesahmu," ucap Fatah yang semakin erat merangkul bahuku.
"Terima kasih, Fat."
Aku melihat jam tangan. Hari mulai petang. "Aku harus pulang, Fat."
"Aku antar kau, Gus," kata Fatah dengan tawarannya. Aku menolak. Lantas aku beranjak dari tempat duduk, mengambil kunci motor yang sedari tadi nyaman bersembunyi di saku celana. Pulang.
***
Aku membuka lemari, mengambil sebuah foto yang kusimpan di bawah tumpukan pakaian. Setiap rindu dengan Bapak, aku selalu pandangi foto ini. Terlihat Bapak yang sedang memangkuku sewaktu aku masih kecil. Sementara aku tersenyum sembari memamerkan gigi yang baru tumbuh.
"Ini balasan dari pelukanmu, Pak." Aku letakkan foto itu di depan dada lantas kudekap dengan menggunakan kedua tangan. Sedikit beban rinduku mulai gugur.
Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Mungkin itu Ibu. "Tidak dikunci, Bu."