Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepucuk Surat dari Negeri Seberang

5 Januari 2021   10:38 Diperbarui: 5 Januari 2021   10:51 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segera kutancapkan kunci dan kukuakkan pintu. Ibu mungkin sudah terlelap. Aku langsung menuju kamar, menutup pintu rapat-rapat.

Aku mendekat ke jendela, menutup kelambu. Malam ini, rembulan sedang terang di angkasa. Tubuhku langsung kurebahkan di atas kasur, menatap langit-langit kamar. Aku merogoh saku jaket, mengambil sebuah amplop yang kuterima dari Fatah, temanku.

Kupandangi amplop yang kupegang lamat-lamat. Kukeluarkan isinya, secarik surat. Sejujurnya, rasa rindu sudah membuncah sebelum membaca surat ini di sebuah kedai kopi siang tadi. Kepalaku penuh dengan pikiran-pikiran yang kubuat sendiri. Aku ingin bertemu dengan Bapak.

Kemudian pikiranku mengembara oleh peristiwa tadi siang. Yang menyebabkan rasa rinduku sedikit terobati.

***

"Mereka semua punya Bapak yang setiap hari bertemu, mengajak jalan bersama." Aku menatap wajah Fatah.

"Tenanglah sedikit, Gus," kata Fatah menahan emosiku..

Seorang pelayan datang, meletakkan dua cangkir kopi hitam. Uapnya masih mengepul. Kemudian dia memberikan dua potongan kertas berisi password wi-fi. Pelayan tersebut lantas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Kau tadi tidak usah menahanku ketika aku hendak menggampar mulut mereka satu per satu," ucapku masih dengan nada suara sedikit kesal.

"Aku tidak ingin menambah masalahmu."

"Seharusnya aku tidak perlu datang ke perayaan kelulusan ini."

Fatah diam, lalu dia mengambil secangkir kopi di hadapannya, menyeruputnya. "Aku tahu apa yang kau rasakan, Gus."

"Hanya kau yang mengerti aku, Fat."

"Namun kau juga harus bisa mengontrol emosimu."

Tiga orang seumuranku datang ke kedai ini, yang kuketahui mereka termasuk orang yang menghinaku tadi. Mereka berjalan melewati tempat dudukku, menyita perhatianku, langsung mengambil posisi di sudut belakang. Ingin langsung kudamprat mereka. Tetapi Fatah lagi-lagi mengingatkan.

"Mereka semua tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya jika kedua orang tuanya berpisah dan aku harus ditinggal bapakku bekerja ke luar negeri. Sudah 6 tahun ini bapakku tidak memberikan kabar. Mereka tidak tahu rasanya menahan rindu selama itu. Aku juga ingin seperti mereka, Fat," ucapku sembari menunjuk ketiga orang yang barusan lewat.

"Aku minta maaf ...."

"Ini bukan salahmu, Fat. Mereka semua yang katanya mengaku teman-temanku malah mengolok-olok di depan mukaku. Berkata bahwa bapakku di sana bekerja tidak benar-lah, suka menghamburkan uang-lah. Seolah-olah mereka paling tahu semuanya," sejenak kuhentikan kalimat, "ingin rasanya aku bertemu dengan Bapak, melepaskan semua beban rindu yang selama ini aku pikul."

"Gus ...." Fatah menatapku. Aku terdiam.

Fatah membuka tas kecilnya, mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat dengan garis merah biru di sisinya. Menyerahkannya kepadaku.

"Apa ini, Fat?" Pandanganku langsung teralihkan.

"Maafkan aku, Gus," Fatah mengembuskan napas pelan, "kemarin seorang kurir pos datang ke rumahmu, memanggil-manggil namamu. Tidak ada jawaban, mungkin di rumahmu sedang tidak ada orang. Setelah cukup lama, akhirnya kurir pos itu hendak pergi. Kemudian aku datang dan aku mengaku sebagai sepupumu. Lantas kurir pos itu menitipkan amplop ini kepadaku."

Aku mendengarkan penjelasan dari Fatah.

"Malamnya aku datang ke rumahmu, mencarimu. Tetapi kau tidak ada di rumah. Dan baru hari ini aku bisa memberikannya kepadamu. Amplop ini belum kubuka dan aku juga tidak tahu isinya apa. Sekali lagi maaf, Gus. Aku telah lancang mengambil barang milikmu." Fatah kembali melontarkan perkataan maaf.

Aku memandang amplop yang diberikan Fatah cukup lama. Mulutku seakan-akan terkunci, aku tidak tahu apa yang yang harus kukatakan kepada Fatah. Sejurus kemudian, aku membuka amplop pelan-pelan, mengeluarkan isinya. Hanya ada secarik kertas berukuran A4 dan sebuah ATM. Aku mengernyitkan dahi, bingung. Kubuka kertas itu.

***

Untuk anakku tersayang, Gusti.

Bagaimana kabarmu, Gus? Bapak harap kamu dalam keadaan baik-baik saja. Surat ini mungkin hanya berisi beribu maaf seorang Bapak kepada anaknya, yang telah tega tidak memberikan kabar selama enam tahun lamanya. Maafkan Bapak, bukan maksud Bapak untuk melupakanmu.

Keadaan Bapak di sini tidak memungkinkan untuk terus menerus memberikan kabar kepadamu. Tetapi yang perlu kamu tahu, setiap malam sebelum tidur Bapak selalu melihat fotomu yang tertawa riang. Bapak peluk foto itu sambil membayangkan tingkah lucumu. Bapak berharap pelukanku dari jauh akan terasa juga padamu.

Bapak masih ingat ketika Bapak hendak berangkat, Bapak memutuskan berkunjung ke rumahmu untuk berpamitan dengan kamu, anakku satu-satunya. Kamu yang waktu itu baru lulus SD, menangis tak henti-henti, tak mau ditinggal pergi. Kamu merengek, tak mau dilepaskan dari gendongan Bapak. Walaupun berat, tetapi keputusan Bapak tak bisa dibendung lagi. Bapak kemudian pergi, meninggalkanmu yang kemudian menangis dalam dekapan ibumu.

Bapak akhirnya berangkat dengan menggunakan kapal laut bersama puluhan orang lain yang mempunyai tujuan sama. Jika kamu masih ingat, dulu sewaktu kamu masih berusia lima tahun, Bapak sering bercerita tentang kapal laut padamu. Bapak pernah berkata jika suatu saat kita berdua dapat mengelilingi dunia menggunakan kapal laut. Tetapi kini malah Bapak yang harus memakan perkataan sendiri. Bapak berhasil naik kapal laut namun bukan untuk berkeliling dunia tapi untuk mengantarkan mengais pundi uang.

Dalam perjalanan, Bapak tak henti-hentinya memikirkan kamu, Gus. Pikiran Bapak rasanya sesak dipenuhi kelakuanmu yang lucu, wajahmu yang menggemaskan, tawa ceriamu yang selalu membuat kangen. Bapak sempat berpikir untuk kembali karena terus-terusan kepikiran kamu. 

Yang perlu kamu tahu, Gus. Bapak di sini hanyalah sebagai tenaga kerja ilegal. Yang setiap saat harus waspada jika ada operasi dari kepolisian setempat. Dan jika ada operasi, Bapak terpaksa harus lari-larian menghindar dan mengungsi di hutan untuk beberapa saat hingga kondisi sudah normal kembali. 

Sedikit cerita, Gus. Sekitar satu minggu yang lalu ketika semua pekerja sibuk dengan pekerjaannya, ada belasan bahkan puluhan polisi yang tiba-tiba datang ke tempat kerja. Para pekerja yang kaget sontak lari tunggang-langgang mencari tempat persembunyian. Untungnya Bapak berhasil bersembunyi di toko makanan langganan Bapak. Tetapi sebelas teman Bapak berhasil ditangkap. Teman-teman Bapak itu kabarnya akan menginap dulu di kantor kepolisian dan baru akan dipulangkan ke Indonesia beberapa hari kemudian. 

Jika kamu tahu pekerjaan Bapak di sini memanglah sangat berat, Gus. Setiap pagi Bapak harus berangkat ke proyek, membakar kulit di bawah paparan sinar matahari. Yang kini kulit Bapak menjadi legam. Pasir, semen, besi, batu bata sudah menjadi makanan Bapak sehari-hari. Belum lagi kalau Bapak melakukan kesalahan, harus dimarahi bahkan dimaki oleh Tauke (sebutan untuk atasan Bapak). Kalau ada kerja lembur, pasti akan ambil sebagai tambahan.

Oh iya, Gus, kalau Bapak tidak salah berhitung, tahun ini kamu sudah lulus SMA. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Selamat ya, Gus, belajarlah yang giat. Sekolahlah setinggi mungkin mumpung usiamu masih muda. Bermimpilah setinggi mungkin hingga orang lain meremehkan mimpimu itu. Jangan jadi seperti Bapak yang luntang-lantung di negeri orang, yang hanya mengandalkan otot untuk mencari uang. Buat bangga ibumu, jadilah anak yang berbakti.

Gus, di dalam lampiran surat ini, Bapak sudah menyisipkan ATM. Isinya mungkin tidak banyak tetapi semoga bisa mencukupi kebutuhanmu. Bapak percaya bahwa kamu sudah dewasa dalam berpikir jadi gunakan seberguna mungkin. Jangan digunakan untuk keperluan yang tidak perlu.

Untuk saat ini Bapak belum bisa pulang karena pekerjaan di sini sedang banyak-banyaknya. Tetapi jangan hiraukan keadaan Bapak di sini. Bapak akan baik-baik saja. Bapak hanya butuh doamu, semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan keselamatan. Sekali lagi maafkan Bapak, Gus.

Peluk rindu dari negeri seberang, Bapak.

***

Aku lipat kembali kertas itu. Aku tercenung. Angin lembut menelisik melewati lingkar telinga. Pikiranku melayang jauh.

"Gus ...." Fatah beringsut, mendekat kepadaku.

Aku tak menghiraukan suara Fatah. Setidaknya ada kelegaan dalam hatiku ketika membaca surat dari Bapak.

"Fat ...," aku membuka suara, "kau tahu, inilah yang kutunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Penantian yang akhirnya menemukan jalannya walau hanya sebatas surat. Setidaknya ini cukup buatku untuk mengetahui kabar Bapak."

Aku memandang Fatah, dalam. Air mataku mulai berkumpul. Fatah merangkul bahuku.

"Kau juga tahu perasaanku selama ini seperti apa. Kedua orang tuaku sudah tak bersama, hanya ibuku yang selama ini membesarkanku. Tapi di balik itu, aku juga masih sangat membutuhkan sosok seorang Bapak. Yang bisa mengajariku cara untuk bangun dari segala kegagalan, yang bisa bangkit dari keterpurukan. Aku butuh itu, Fat. Aku butuh." Suaraku bergetar.

Aku mendongak, menahan air mata yang hampir jatuh.

"Jalan hidup setiap orang berbeda, Gus. Ada aku di sini yang bisa menjadi pendengar tentang semua keluh kesahmu," ucap Fatah yang semakin erat merangkul bahuku.

"Terima kasih, Fat."

Aku melihat jam tangan. Hari mulai petang. "Aku harus pulang, Fat."

"Aku antar kau, Gus," kata Fatah dengan tawarannya. Aku menolak. Lantas aku beranjak dari tempat duduk, mengambil kunci motor yang sedari tadi nyaman bersembunyi di saku celana. Pulang.

***

Aku membuka lemari, mengambil sebuah foto yang kusimpan di bawah tumpukan pakaian. Setiap rindu dengan Bapak, aku selalu pandangi foto ini. Terlihat Bapak yang sedang memangkuku sewaktu aku masih kecil. Sementara aku tersenyum sembari memamerkan gigi yang baru tumbuh.

"Ini balasan dari pelukanmu, Pak." Aku letakkan foto itu di depan dada lantas kudekap dengan menggunakan kedua tangan. Sedikit beban rinduku mulai gugur.

Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Mungkin itu Ibu. "Tidak dikunci, Bu."

Ibu membuka pintu, melihatku yang sedang memegang sebuah foto. Ibu mendekat, melihat foto yang ada di genggamanku.

"Kamu rindu dengan bapakmu?" tanya Ibu datar.

Aku mengangguk, tersenyum tipis.

"Rindu itu wajar, Gus," Ibu lalu duduk di atas kasur, "setiap orang pasti pernah merasakan kerinduan. Kamu tidak boleh menghindarinya, rindu itu pasti akan datang terus tanpa pernah tuntas."

Ibu berhenti sejenak, mengelus rambutku.

"Kamu tidak apa-apa memupuk rindu dalam dadamu. Siapa tahu rasa rindu yang kamu rasakan itu akan berbuah menjadi hal yang nyata suatu saat nanti. Rindu itu bagai rahasia, Gus. Hanya soal waktu yang akan menjawabnya."

Ibu kemudian memelukku. Pelukan dari Ibu membuat hatiku jauh lebih tenang. Ibu lantas berkata kepadaku dengan suara lembut, "Suatu hari nanti kamu pasti bertemu bapakmu kembali."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun