Fatah diam, lalu dia mengambil secangkir kopi di hadapannya, menyeruputnya. "Aku tahu apa yang kau rasakan, Gus."
"Hanya kau yang mengerti aku, Fat."
"Namun kau juga harus bisa mengontrol emosimu."
Tiga orang seumuranku datang ke kedai ini, yang kuketahui mereka termasuk orang yang menghinaku tadi. Mereka berjalan melewati tempat dudukku, menyita perhatianku, langsung mengambil posisi di sudut belakang. Ingin langsung kudamprat mereka. Tetapi Fatah lagi-lagi mengingatkan.
"Mereka semua tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya jika kedua orang tuanya berpisah dan aku harus ditinggal bapakku bekerja ke luar negeri. Sudah 6 tahun ini bapakku tidak memberikan kabar. Mereka tidak tahu rasanya menahan rindu selama itu. Aku juga ingin seperti mereka, Fat," ucapku sembari menunjuk ketiga orang yang barusan lewat.
"Aku minta maaf ...."
"Ini bukan salahmu, Fat. Mereka semua yang katanya mengaku teman-temanku malah mengolok-olok di depan mukaku. Berkata bahwa bapakku di sana bekerja tidak benar-lah, suka menghamburkan uang-lah. Seolah-olah mereka paling tahu semuanya," sejenak kuhentikan kalimat, "ingin rasanya aku bertemu dengan Bapak, melepaskan semua beban rindu yang selama ini aku pikul."
"Gus ...." Fatah menatapku. Aku terdiam.
Fatah membuka tas kecilnya, mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat dengan garis merah biru di sisinya. Menyerahkannya kepadaku.
"Apa ini, Fat?" Pandanganku langsung teralihkan.
"Maafkan aku, Gus," Fatah mengembuskan napas pelan, "kemarin seorang kurir pos datang ke rumahmu, memanggil-manggil namamu. Tidak ada jawaban, mungkin di rumahmu sedang tidak ada orang. Setelah cukup lama, akhirnya kurir pos itu hendak pergi. Kemudian aku datang dan aku mengaku sebagai sepupumu. Lantas kurir pos itu menitipkan amplop ini kepadaku."