Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepucuk Surat dari Negeri Seberang

5 Januari 2021   10:38 Diperbarui: 5 Januari 2021   10:51 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fatah diam, lalu dia mengambil secangkir kopi di hadapannya, menyeruputnya. "Aku tahu apa yang kau rasakan, Gus."

"Hanya kau yang mengerti aku, Fat."

"Namun kau juga harus bisa mengontrol emosimu."

Tiga orang seumuranku datang ke kedai ini, yang kuketahui mereka termasuk orang yang menghinaku tadi. Mereka berjalan melewati tempat dudukku, menyita perhatianku, langsung mengambil posisi di sudut belakang. Ingin langsung kudamprat mereka. Tetapi Fatah lagi-lagi mengingatkan.

"Mereka semua tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya jika kedua orang tuanya berpisah dan aku harus ditinggal bapakku bekerja ke luar negeri. Sudah 6 tahun ini bapakku tidak memberikan kabar. Mereka tidak tahu rasanya menahan rindu selama itu. Aku juga ingin seperti mereka, Fat," ucapku sembari menunjuk ketiga orang yang barusan lewat.

"Aku minta maaf ...."

"Ini bukan salahmu, Fat. Mereka semua yang katanya mengaku teman-temanku malah mengolok-olok di depan mukaku. Berkata bahwa bapakku di sana bekerja tidak benar-lah, suka menghamburkan uang-lah. Seolah-olah mereka paling tahu semuanya," sejenak kuhentikan kalimat, "ingin rasanya aku bertemu dengan Bapak, melepaskan semua beban rindu yang selama ini aku pikul."

"Gus ...." Fatah menatapku. Aku terdiam.

Fatah membuka tas kecilnya, mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat dengan garis merah biru di sisinya. Menyerahkannya kepadaku.

"Apa ini, Fat?" Pandanganku langsung teralihkan.

"Maafkan aku, Gus," Fatah mengembuskan napas pelan, "kemarin seorang kurir pos datang ke rumahmu, memanggil-manggil namamu. Tidak ada jawaban, mungkin di rumahmu sedang tidak ada orang. Setelah cukup lama, akhirnya kurir pos itu hendak pergi. Kemudian aku datang dan aku mengaku sebagai sepupumu. Lantas kurir pos itu menitipkan amplop ini kepadaku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun