Aku mendengarkan penjelasan dari Fatah.
"Malamnya aku datang ke rumahmu, mencarimu. Tetapi kau tidak ada di rumah. Dan baru hari ini aku bisa memberikannya kepadamu. Amplop ini belum kubuka dan aku juga tidak tahu isinya apa. Sekali lagi maaf, Gus. Aku telah lancang mengambil barang milikmu." Fatah kembali melontarkan perkataan maaf.
Aku memandang amplop yang diberikan Fatah cukup lama. Mulutku seakan-akan terkunci, aku tidak tahu apa yang yang harus kukatakan kepada Fatah. Sejurus kemudian, aku membuka amplop pelan-pelan, mengeluarkan isinya. Hanya ada secarik kertas berukuran A4 dan sebuah ATM. Aku mengernyitkan dahi, bingung. Kubuka kertas itu.
***
Untuk anakku tersayang, Gusti.
Bagaimana kabarmu, Gus? Bapak harap kamu dalam keadaan baik-baik saja. Surat ini mungkin hanya berisi beribu maaf seorang Bapak kepada anaknya, yang telah tega tidak memberikan kabar selama enam tahun lamanya. Maafkan Bapak, bukan maksud Bapak untuk melupakanmu.
Keadaan Bapak di sini tidak memungkinkan untuk terus menerus memberikan kabar kepadamu. Tetapi yang perlu kamu tahu, setiap malam sebelum tidur Bapak selalu melihat fotomu yang tertawa riang. Bapak peluk foto itu sambil membayangkan tingkah lucumu. Bapak berharap pelukanku dari jauh akan terasa juga padamu.
Bapak masih ingat ketika Bapak hendak berangkat, Bapak memutuskan berkunjung ke rumahmu untuk berpamitan dengan kamu, anakku satu-satunya. Kamu yang waktu itu baru lulus SD, menangis tak henti-henti, tak mau ditinggal pergi. Kamu merengek, tak mau dilepaskan dari gendongan Bapak. Walaupun berat, tetapi keputusan Bapak tak bisa dibendung lagi. Bapak kemudian pergi, meninggalkanmu yang kemudian menangis dalam dekapan ibumu.
Bapak akhirnya berangkat dengan menggunakan kapal laut bersama puluhan orang lain yang mempunyai tujuan sama. Jika kamu masih ingat, dulu sewaktu kamu masih berusia lima tahun, Bapak sering bercerita tentang kapal laut padamu. Bapak pernah berkata jika suatu saat kita berdua dapat mengelilingi dunia menggunakan kapal laut. Tetapi kini malah Bapak yang harus memakan perkataan sendiri. Bapak berhasil naik kapal laut namun bukan untuk berkeliling dunia tapi untuk mengantarkan mengais pundi uang.
Dalam perjalanan, Bapak tak henti-hentinya memikirkan kamu, Gus. Pikiran Bapak rasanya sesak dipenuhi kelakuanmu yang lucu, wajahmu yang menggemaskan, tawa ceriamu yang selalu membuat kangen. Bapak sempat berpikir untuk kembali karena terus-terusan kepikiran kamu.Â
Yang perlu kamu tahu, Gus. Bapak di sini hanyalah sebagai tenaga kerja ilegal. Yang setiap saat harus waspada jika ada operasi dari kepolisian setempat. Dan jika ada operasi, Bapak terpaksa harus lari-larian menghindar dan mengungsi di hutan untuk beberapa saat hingga kondisi sudah normal kembali.Â