Tepat pukul 21.00 Putra menyetir dengan penuh hati-hati dan sesekali melihat Sisi yang dari tadi hanya diam entah apa yang difikirkannya.
"Dik."
"Ya?" Sisi memperbaiki duduknya agar lebih sopan bicara dengan Putra.
"Mau apa-apa bilang ya. Biar Mas tau. Kita masih lama lagi nyampenya."
"Iya Mas."
"Kamu ngantuk tidur aja Dik."
"Terus kalo Mas ngantuk gimana?"
"Ntar berhenti dulu cari minuman dan cemilan. Kamu jangan khawatir ya Dik."
"Iya deh." Sisi malas untuk bicara lagi.
"Dik."
"Ya?"
"Mas boleh nanya gak?"
"Tentang?"
"Cowok tadi waktu di jembatan tu siapa?"
"Penting buat Mas?"
"Penting."
"Kenapa?"
"Mas takut jika dia juga sama dengan Mas."
"Sama? Bisa lebih dijelaskan?"
"Sama-sama sedang memperjuangkan kamu."
Sisi terdiam beberapa detik.
"Tapi kenapa Mas lakukan itu? Aku bukan perempuan baik. Masih banyak kekurangan. Mas bisa cari perempuan yang lebih baik dariku."
"Aku tau. Tapi ibuku sudah memilihmu."
"Aku belum pernah ketemu ibunya Mas. Dan aku harap jangan, karena tak ingin menyakitinya. Maafin aku Mas."
"Mas tau kamu akan menolak Mas, tapi Mas berhak perjuangkan kamu Dik."
"Terserah Mas kalau gitu."
***
"Paman, Surya mau bicara serius."
"Ha, bicaralah."
"Aku akan melamar seorang gadis Paman."
"Baguslah itu, tunggu apalagi?"
"Kawaninlah Paman, dia berada di kota tempatku kuliah. Paman bisa bantu kan?"
"Insyaa Allah Paman bantu, Paman memang harus mengurus kamu hingga kamu naik ke pelaminan. Itu pesan mendiang Ibu kamu."
"Alhamdulillah Paman, makasih banyak paman."
Surya merasa tenang mendapat dukungan dari Pamannya.
"Masalah hal-hal lain yang harus disediakan nanti kita bicara lagi dengan Bibi kamu."
"Iya Paman. Surya percayakan dengan Paman dan Bibi ya."
***
"Si, kamu setuju kan Nak?" Ibu bertanya karena ternyata keluarga Putra sudah meminta izin untuk melamar Sisi.
"Sisi mohon beri waktu ya Bu. Sisi masih ragu Bu."
"Apalagi sayang, orang tua Putra sudah mendesak Bapak. Bapak bilang tinggal persetujuan kamu."
Sisi menangis bingung harus menjawab apa. Zikir terus berulang di lubuk hatinya terdalam. Memohon petunjuk terbaik dan tak ingin menyakiti banyak hati. Sungguh tak ingin mengecewakan Bapak dan Ibu yang sudah banyak membantunya sejak dulu dia masih hidup susah dulu. Jangan sampai dia dikatakan kacang lupa kulitnya dan tak tahu balas budi. Apa Putra yang lebih dulu melamarnya. Kemana Surya. Saat ini dia butuh sosok yang menenangkan itu. Sosok yang membuatnya damai dan nyaman.Â
***
"Bagaimana Pak Arif? Anak saya sudah tak sabar sepertinya."Â
Dengan senyum ramah Pak Hendru orang tua Putra bertanya kepada Pak Arif saat di mengunjunginya di kantor.
"Sayapun tak sabar Pak, namun belum dapat persetujuannya. Saya tak bisa memaksanya karena yang menjalani dia. Tak ingin ada penyesalan di akhir. Jikapun dia belum mau kita sabar saja dulu ya Pak."
"Sejak kepulangan mereka kemarin dari kampung, Putra itu jadi semakin rajin di rumah, semakin perhatian terhadap saya dan ibunya. Biasanya cuek dan jarang mau di rumah. Makanya ibunya pun sudah tak sabar Pak."
"Nanti saya coba bicara lagi dengan dia Pak."
"Okelah Pak, saya permisi dulu ya. Assalamualaikum."Â
"Waalaikumsalam." Pak Hendru segera keluar dari ruangan kerja Pak Arif.
***
"Ibu bilang kamu belum bisa nerima Putra, kenapa Nak. Beri bapak alasan akurat biar bapak tidak memberi harapan pada orang tuanya Putra." Sisi dan Bapak duduk di ruang tamu. Sisi belum mampu menjawab bapak. Sisi bingung. Separuh hatinya ingin melihat senyum mereka, separuh hatinya penuh senyum bang Surya.Â
"Si, bicara saja, bapak gak akan marah. Kamu jangan takut Nak."
"Sisi bingung Pak. Maafin Sisi ya Pak."
"Kamu tak salah Nak. Bapak hanya ingin tahu isi hati kamu."
Tiba-tiba terdengar suara dari pintu depan. Sisi bergegas mengambil cadar dan berlari kecil untuk membuka pintu. Alangkah kagetnya dia. Bang Surya dan seorang lelaki seusia Pak Arif berdiri di hadapan Sisi. Sisipun mempersilahkan mereka berdua masuk.
"Siapa Si?"
"Ini Bang Surya yang dulu pernah Sisi ceritain ke Bapak."
"Oh baik, silahkan duduk Pak." Sisi segera ke belakang bersiap membuatkan air teh. Tangannya menjadi dingin dan bergetar ada rasa tak tenang menyelinap di hatinya.
"Begini Pak, ini keponakan saya, dia seorang yatim piatu, saat ini sedang menjalani perkuliahan, niat ke sini untuk melamar ananda Sisi."
"Masya Allah, apakah pemuda ini sudah mengenal Sisi sebelumnya?"
"Sudah Pak, kami berasal dari kampung yang sama dengan almarhum orang tua Sisi."
"Saya tak bisa mengatakan iya atau tidak, semua keputusan ada di Sisi Pak. Tunggu sebentar saya ke dalam dulu ya."
"Silahkan Pak."
Pak Arif ke belakang menuju dapur di mana Sisi berada.
"Si, kamu kenal dengan mereka?"
"Kenal Pak."
"Pemuda itu siapa? Dia datang untuk melamar kamu Nak."
"Benar Pak? Ya Allah.."
"Bapak ke sini mau nanya kamu, kamu terima atau tidak niat baik mereka terhadap kamu? Putra gimana Nak?"
Sisi terduduk memegang kaki Pak Arif.
"Sisi minta maaf Pak, Sisi gak bisa dengan Mas Putra. Sisi gak bisa pak."
"Berdiri nak, berdiri. Kamu jangan seperti ini."
"Sisi benar-benar minta maaf sama Bapak dan Ibu."
"Hapus air mata kamu, cukuplah air mata kamu selama ini yang penuh kesedihan. Saatnya kamu bahagia sekarang ya." Bapak mengusap kepala Sisi.
"Bapak restui kami? Bapak setuju?" Sisi bertanya seolah tak percaya.
"Demi kebahagiaan kamu, ridho bapak untuk kamu Nak."
"Terima kasih Pak. Terima kasih."
***
Perjuangan tetaplah suatu hal yang harus dilalui. Sisi begitu yakin segala tantangan dan cobaan akan berbuah manis pada akhirnya. Keyakinannya kepada Allah membuat Surya datang tepat waktu. Cita-cita Emaknya agar Sisi menjadi guru tercapai meski penuh perjuangan bertahun-bertahun, pernikahannya pun terjadi dengan sederhana dan khidmat bersama keluarga dua belah pihak. Hanya mengundang masyarakat sekitar saja. Putra ikhlas tak berjodoh dengan Sisi. Semua perjuangan akan terus dilanjutkan. Hidup harus terus berjalan. Sedih dan senang hanya mainan dunia, kuatnya iman yang menentukan kemana tujuan akhirnya.Â
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H