Mohon tunggu...
Rizieq Ramadhan
Rizieq Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Trilogi; Baca-Diskusi-Nulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Asal Usul Perkembangan Dinasti Turki Ustmani

1 Februari 2023   21:45 Diperbarui: 1 Februari 2023   21:48 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Latar Belakang

Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia. (QS; Ali Imran; 140).

Masa kejayaan dan kemunduran dalam suatu peradaban atau kepemimpinan kerap kali dipergilirkan. Tentu saja kejayaan dan kemunduran tersebut tidak berlangsung secara tiba-tiba melainkan terdapat sebab, faktor yang turut mempengaruhi. Dalam perang Uhud umat Islam harus menelan kekalahan pahit, di awal peperangan umat Islam mampu mendominasi kancah perang. Sayangnya dominasi tersebut membuat para pemanah tidak mentaati perintah Nabi Muhammad yang berujung pada kekalahan kaum Muslim. Kesalahan para pemanah telah menjadikan manuver penguasaan perang berubah secara drastic. Selain itu dalam masa kejayaan dan kehancuran sarat akan nilai yang bisa dipetik. Kemenangan/kejayaan mengajarkan umat Islam agar banyak bersyukur atas apa yang telah diraih adapun kemunduran/kehancuran mengajarkan betapa vitalnya sikap sabar ditengah kondisi demikian.

Menyitir singkat pidato Abu Bakar Ash-Shiddiq "tidak suatu kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan meliputi mereka dengan kehinaan. Tidak ada perbuatan keji yang menyebar ditengah-tengah suatu kaum kecuali Allah akan menimpakan bala."((Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2013, hlm. 238).

Pemaparan singkat diatas menggambarkan kondisi umat Islam selepas kehancuran Dinasti Abbasiyah di Baghdad hingga akhirnya tampillah Dinasti Ustmani yang berusaha melanjutkan estafet kejayaan Islam dibawah pionir Ustman bin Erthugrul. Berangkat dari ulasan diatas penulis mencoba mengulas beberapa point penting mengenai berdirinya Dinasti Turki Ustmani diantaranya; Bagaimana sejarah terbentuknya Dinasti Ustmani kemudian dilanjutkan dengan Bagaimana sejarah perkembangan Dinasti Ustmani.

Sejarah Terbentuknya Dinasti Turki Ustmani

Sejak zaman dahulu kala di sebelah barat gurun pasir Gobi ada suku yang bernama Turki. Mereka hidup secara nomaden. Pada saat perkembangan periode Islam mereka dikalahkan oleh bangsa Tartar, maka mereka pindah ke barat sampai ke tepi Laut Tengah (kini dikenal dengan sebutan Anatolia), yang sebelah selatannya terdapat bangsa Arab. Mereka bersentuhan dengan orang Arab yang telah beragama Islam. Dengan komunikasi tersebut mereka mulai banyak yang memeluk agama Islam. Bangsa Turki tersebut rajin dan ahli perang, pintar berdiplomasi, dan akhirnya dengan waktu yang relatif singkat menjadi sebuah kekuatan politik yang besar. (Muhammad Abdul Karim, Sejarah dan Peradaban Islam. Bagaskara, Yogyakarta, 2019, hlm. 310).

Bangsa Turki terbagi ke dalam berbagai suku, diantaranya yang terkenal adalah suku Ughuj/Oghuz. Suku ini terbagi menjadi 24 sub-suku. Dalam satu sub suku tersebut lahirlah sultan pertama dari dinasti Turki Ustmani yang bernama Ustman. Pada saat Bangsa Mongol (Sebelum Islam) dan orang Kristen, ingin menghapuskan Islam dari peta bumi, orang Turki Ustmani muncul sebagai pelindung Islam, bahkan mereka membawa panji Islam sampai ke tengah-tengah daratan Eropa (Ahmed, 2003: 174-190).

Garis keturunan Bani Ustmani bersambung pada kabilah Turkmaniyah/Turki yang mendiami Kurdistan, pada awal abad ke 7 H (abad ke 13 M). Mereka berprofesi sebagai pengembala. Akibat serangan orang-orang Mongolia/Mongol dibawah pimpinan Jenghis Khan ke Irak dan wilayah-wilayah Asia Kecil; Sulaiman, kakek dari Ustman melakukan hijrah tahun 617H/1220 M untuk menyelamatkan diri. Bersama kabilahnya, dia meninggalkan Kurdistan menuju Anatolia dan menetap di kota Aklath. Sulaiman sendiri meninggal tahun 628 H/1230 M. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. 36).

Distingsi opini sejarawan telah menjadi perkara lazim dalam historiografi sejarah, hal ini akan kita temui mengenai kematian Sulaiman kakek dari Ustman. Dalam buku Sejarah Peradaban Islam karya Muhammad Abdul Karim dinyatakan bahwa Sulaiman meninggal ketika ia tengah menyebrangi sungai Eufrat (dekat Allepo). Sedangkan dalam buku Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah karya Ali Muhammad Ash-Shallabi Sulaiman dikatakan meninggal di kota Akhlath.

Dia digantikan salah seorang putranya bernama Ertugrul yang terus bergerak mencapai Barat Laut Anatolia. Bersamanya terdapat sekitar 100 kepala keluarga yang di kawal lebih dari 400 penunggang kuda. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, loc. cit, hlm. 36).

Tatkala Ertugrul, ayah Ustman melarikan diri bersama keluarganya yang berjumlah sekitar 100 keluarga menghindari serangan orang-orang Mongolia, tiba-tiba dia melihat dengan jelas sebuah keributan. Tatkala mendekati lokasi keributan itu, disana dia mendapati satu pertempuran sengit antara kaum Muslimin dan orang-orang Nasrani. Ketika itu, pendulum kemenangan berada di pihak orang-orang Byzantium. Melihat kenyataan tersebut, hati Ertugrul terdorong untuk menolong saudara-saudaranya kaum Muslimin. Bantuan ini ternyata menjadi penyebab kemenangan di pihak kaum Muslimin atas orang-orang Nasrani. Seusai pertempuran, komandan pasukan Seljuk memberi penghargaan atas sikap dan bantuan Ertugrul bersama rombongan. Dia memberikan sebidang tanah di perbatasan Anatolia, di dekat perbatasan Romawi. Selain itu dia diberikan wewenang menaklukan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Dengan demikian, pemerintah Saljuk telah berhasil membentuk sekutu baru, dalam berjihad melawan orang-orang Romawi. Persekutuan antara Saljuk dan negeri baru itu terjalin kuat, karena adanya satu musuh bersama (common enemy). (Ali Muhammad Ash-Shallabi, loc. cit, hlm. 36).

Ertugrul meninggal dunia tahun 1289 M. Kepemimpinannya dilanjutkan puteranya, Ustman. Putera Ertugrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Ustmani. Ustman memerintah antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sebagaimana ayahnya, ia banyak berjasa kepada sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng Byzantium yang berdekatan dengan kota Burusah/Broessa. Pada tahun 1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan sultan Alauddin terbunuh. Kerajaan Seljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Ustman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang di dudukinya. Sejak itulah kerajaan Ustmani/Dinasti Ustmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Ustman yang sering disebut Ustman I. (Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 130).

Sejarah Perkembangan Dinasti Turki Ustmani

Terkait pengembangan dinasti Turki Ustmani akan penulis uraikan perjalanan dinasti Turki Ustmani dari masa Ustman bin Ertugrul sampai Bayazid bin Murad I. Tentunya dengan relevansi ekspansi wilayah, karakter kepemimpinan, serta pencapaian di setiap kepemimpinan para Sultan.

Pertama, sultan Ustman bin Ertugrul. Setelah Ustman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Ustman (raja besar keluarga Ustman). Tahun 699 H/1300 M setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Byzantium dan menaklukkan kota Burusah/Broessa tahun 1317 M, kemudian pada tahun 1326 M, kota Burusah dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. (Badri Yatim, loc. cit, hlm. 130).

Ustman dikenal dengan sikapnya yang bijaksana, setelah menerima estafet kepemimpinan dari pendahulunya, Ustman melihat bahwa merupakan sebuah tindakan yang bijaksana jika dia bergabung bersama sultan Alauddin untuk menggempur orang-orang Nasrani. Hal ini di dukung oleh adanya suatu penaklukan-penaklukan beberapa kota pertahanan dan benteng-benteng musuh. Oleh sebab itu dia mendapat kepercayaan dari sultan Saljuk Romawi, sultan Alauddin untuk menjadi Amir. Sultan mengizinkan dirinya membuat mata uang dengan melukiskan namanya sendiri. Di samping itu namanya disebutkan di khutbah-khutbah Jum'at di wilayah yang menjadi kekuasaanya. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. 40).

Sabar, sifat sabarnya tampak saat melakukan penaklukan benteng dan negeri-negeri. Dia mampu membuka benteng Katah, benteng Lafkah, Aaq Hishar, dan Qauj Hishar pada tahun 707 H. Sedangkan pada tahun 712 H, dia mampu membuka benteng Kabwah, Yakijah, Tharaqulah, Takrar Bikari dan lainnya. Penaklukan benteng-benteng tersebut, besar pengaruhnya dalam menaklukan Burusah/Broessa pada tahun 717 H/1317 M. Dimana, penaklukan kota itu bukanlah hal gampang. Untuk menaklukan kota Burusah/Broessa diperlukan waktu cukup panjang dan pertempuran yang bertahun-tahun. Bahkan penaklukan kota Burusah, merupakan penaklukan paling sulit yang pernah dilakukan Ustman. Dimana, dia terlibat pertempuran sengit dengan pemimpin kota itu yang bernama Ikrinus bertahun-tahun lamanya. Hingga akhirnya Ikrinus menyerah dan menyerahkan kota Burusah kepada Ustman. (Ibid, hlm. 40).

Adil, sebagian besar referensi yang berasal dari Turki menyebutkan, bahwa Ertugrul mengangkat anaknya Ustman menjadi qadhi di kota Qarahjah Hisha, setelah dia mampu mengambil alih wilayah itu dari tangan orang-orang Byazantium pada tahun 684 H/1285 M. Suatu saat Ustman memenangan perkara orang Byzantium Turki. Maka orang itu pun sangat heran dan bertanya kepada  Ustman; "Bagaimana mungkin engkau memberi keputusan hukum yang mendatangkan maslahat kepadaku, sedangkan saya sendiri tidak seagama denganmu?".

Lalu Ustman menjawab, "Bagaimana mungkin saya tidak memutuskan perkara yang mendatangkan maslahat padamu padahal, Allah Tuhan yang saya sembah berfirman, 'Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, supaya kamu menetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat." (An-Nisa:58). Keadilan inilah yang telah membuat orang tadi mendapat hidayah dan masuk Islam. Alhamdulilllah. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka Al-Kautsar, hlm. 42).

Menjelang wafatnya Ustman bin Ertugrul mewasiatkan kepada anaknya, wasiat Ustman ini kelak akan menjadi pedoman bagi pemerintahan dinasti Ustmani; "Wahai anakku, janganlah kamu menyibukkan dirimu dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Rabb Alam semesta. Jika kamu menghadapi kesulitan dalam masalah hukum, maka bermusyawaralah dengan ulama-ulama yang mengerti agama.

Wahai anakku, hormatilah orang yang taat kepadamu dengan penuh bangga, dan berbuat baiklah kepada para tentara, dan janganlah seta memperdayakanmu karena banyaknya tentara dan harta. Janganlah engkau menjauhu ahli Syariah.

Wahai anakku, sesungguhnya kau tahu tujuan kita semua adalah mencari ridha Allah, Rabb alam semesta; dan sesungguhnya jihad meliputi semua cahaya agama kita di seluruh cakrawala sehingga ridha Allah akan turun kepada kita.

Wahai anakku, kita bukanlah golongan manusia yang berperang karena dorongan nafsu untuk menguasai. Kita ini hidup diatas Islam dan untuk Islam pula kita mati. Inilah anakku apa-apa yang mesti kamu perhatikan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka Al-Kautsar, 2003, hlm. 44-45).

Saat Ustman I meninggal, dia telah mewariskan Kekhalifahan Ustmani dengan luas 16.000 Km persegi. Dengan Negara yang baru lahir, dia telah bisa menembus laut Marmara, dengan bala tentaranya dia telah berhasil mengancam dua kota utama Byzantium kala itu, yakni Azniq dan Burusah. (Ibid, hlm. 46)

Setelah wafatnya Ustman, puteranya bernama Orkhan (726-761H/ 1327-1360 M). Segera memangku kekuasaan. Dia melakukan kebijakan sebagaimana yang dilakukan ayahanya dalam administrasi Negara dan penaklukan-penaklukan negeri. Pada 727 H/ 1327 M, Nicomedia/Izmit (Sekarang) jatuh ketangannya. Kota itu kini dikenal dengan sebutan Azmiyet. Di tempat inilah, Orkhan mendirikan sebuah universitas untuk pertama kalinya. Dia menyerahkan urusan administrasi kepada Daud Al-Qaishari, salah seorang ulama Ustmani yang pernah belajar di Mesir. Orkhan sangat memperhatikan struktur tentara sesuai dengan masanya dan menjadikannya sebagai tentara yang terorganisir. (Ibid, hlm. 47).

Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam bukunya yang berjudul "Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah" mengatakan bahwa, sultan Orkhan begitu terobsesi untuk merealisasikan apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah Saw diatas, menjadikan sultan Orkhan sangat bersemangat untuk segera mewujudkannya. Langkah pertama siap dilakukannya ialah membangun dan membentuk sebuah pasukan yang kuat, yang siap bertempur kapan saja. Langkah kedua, meletakkan sebuah usaha-usaha yang strategis untuk melakukan pengepungan terhadap ibu kota Byazantium tersebut. Usaha pengepungan tersebut dilakukan baik dari arah barat maupun timur sekaligus. Guna merealisasikan tujuan itu, sultan Orkhan mengirim putera mahkotanya yang bernama Sulaiman bin Orkhan untuk melintasi selat Dardanil. Misinya ialah agar secepatnya dapat menguasai beberapa wilayah di sebelah barat ibu kota Byazantium. Sucipto, "Kebijakan Militer Sultan Orkhan Pada Masa Dinasti Turki Ustmani". Thesis Magister Humaniora, Perpustakaan Digital UIN Suka, hlm. 6)

Pada tahun 758 H, Sulaiman berhasil menyebrangi Selat Dardanil pada malam hari bersama 40 orang tentara penunggang kuda. Tatkala sampai di tepi barat, maka mereka mengambil-alih beberapa kapal milik tentara Romawi yang sedang berada di tempat itu, lalu mereka kembali membawa perahu-perahu tersebut ke tepi timur, mengingat tentara Ustmani tidak memiliki armada laut saat itu. Perlu dipahami, kerajaan Ustmani waktu itu baru saja berdiri. Di tepi timur inilah, Sulaiman memerintahkan pasukannya untuk menaiki perahu-perahu itu yang akan membawa mereka ke pantai Eropa, dimana mereka akhirnya mampu menaklukkan benteng Tarnab, Ghalmabulli, yang didalamnya ada benteng Jana, Aspala, dan Rodestu. Semuanya berada di selat Dardanil yang membentang dari utara ke selatan. Dengan ini sultan Orkhan telah melakukan sebuah langkah penting dan membuka jalan bagi penguasa yang datang setelahnya, untuk menaklukan Konstantinopel. Namun hal itu juga ditebus dengan wafatnya Sulaiman, sang putra mahkota sultan Orkhan kelak, ketika sultan Orkhan wafat, kekuasaan dilanjutkan oleh adik Sulaiman yaitu Murad bin Orkhan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. 2003. Pustaka Al-Kautsar, hlm. 48).

Orkhan berhasil mereformasi dan membentuk tiga pasukan utama tentara. Pertama, tentara Sipahi (tentara regular) yang mendapatkan gaji pada tiap bulannya. Kedua, tentara Hazeb (tentara ireguler) yang digaji pada saat mendapatkan harta rampasan perang (Mal al- Ghanimah). Ketiga tentara Jenisari direkrut pada saat berumur dua belas tahun, kebanyakan adalah anak-anak Kristen yang dibimbing Islam dan disiplin yang kuat. (Muhammad Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Bagaskara, Yogyakarta, 2019, hlm. 31).

Penamaan tentara baru tersebut berawal ketika sultan Orkhan menemui ulama yang takwa yaitu Haji Baktasy, sultan Orkhan meminta doa kepadanya, agar Allah SWT senantiasa melimpahkan kebaikan kepada pasukannya. Haji Baktasy melihat pasukan dengan penuh antusias, lalu meletakkan tangannya di atas kepala seorang tentara, kemudian berdoa kepada Allah agar mukanya menjadi bersih bersinar dan menjadikan pedangnya demikian tajam dan semoga Allah memenangkan mereka dalam setiap kali peperangan. Kemudian dia melihat kepada pada Orkhan dan bertanya, "Sudahkah kau beri nama tentara ini ?" sultan Orkhan menjawab belum! Haji Baktasy pun berkata, "Jika belum, namailah Yani Tasyri yang berarti 'tentara baru'. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, op. cit, hlm. 51).

Tentara tersebut dibagi dalam, sepuluh, seratus dan seribu setiap kelompoknya. Mereka diasingkan dari keluarga. Mereka membawa kejayaan Ustman. Pasukan elit ini dikeluarkan saat tentara reguler dan tentara ireguler sudah lelah dalam pertempuran. Dengan cepat dan sigap pasukan ini menyerbu setiap musuh yang datang melawan. Dalam perluasan wilayah Ustmani, mereka paling besar jasa. (Muhammad Abdul Karim, op. cit, hlm. 311-312).

Pada tahun 1358 M, terjadi sebuah gempa besar di kota-kota Turaqiya sehingga menyebabkan ambruknya benteng-benteng Gallipoli. Peristiwa ini melicinkan jalan bagi kaum Muslimin untuk memasukinya. Kaisar Byazantium melayangkan protes terhadap apa yang dilakukan oleh tentara Orkhan itu. Namun tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Jawaban Orkhan saat itu adalah, kekuasaan Ilahi telah membuka pintu-pintu kota di depan kekuatan pasukannya. Dengan demikian maka jadilah Galipolli sebagai basis pertama kesultanan Ustmani di Eropa. Dari sinilah kemudian bergerak pasukan Islam pertama yang akhirnya mampu menguasai Balkan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, op. cit, hlm. 53).

Setelah sultan Orkhan wafat, dia diganti oleh putranya, Murad bin Orkhan (761-791 H/1360-1389 M). Atau juga dikenal sebagai Murad I. Dia adalah sosok yang sangat pemberani, dermawan, dan agamis. Dia demikian kokoh berpegang teguh kepada syariat Islam dan sangat mencintainya. Dia berlaku adil kepada rakyat dan tentaranya, mencintai jihad, membangun masjid, sekolah-sekolah, dan tempat berlindung. Selain itu, dia dikelilingi sejumlah orang yang karakter baik, dari golongan para komandan, para ahli dan teknisi, serta militer. Bersama mereka itulah Murad I selalu bermusyawarah dalam masalah-masalah Negara. Dia telah mampu meluaskan wilayah di Asia Kecil dan Eropa sekaligus.21 Di Eropa, tentara kesultanan Ustmani menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai kekaaisaran Byzantium. Pada tahun 762 H/1360 M, dia menguasai Adrianapole (Edirne); dikenal sebagai sebuah kota yang sangat strategis di Balkan dan dianggap sebagai ibu kota Byzantium kedua. Sultan Murad menjadikan kota ini sebagai ibu kota pemerintahannya sejak tahun 768 H/1366 M. Dengan demikian, maka ibu kota pemerintahan Ustmani berpindah ke Eropa dan Adrianapole (Edirne) sebagai ibu kota pemerintahan Islam. (Ibid, hlm. 55).

Tanggal 27 September 1371, terjadi perang antara tentara Utsmaniyah melawan pasukan Koalisi Salib Balkan di lokasi bernama Chernomen (kini termasuk wilayah Yunani), dekat Sungai Maritsa atau Marica. Maka, perang ini juga disebut dengan nama Pertempuran Maritsa/Maritza. Konon, jumlah prajurit Utsmaniyah yang dipimpin panglima kepercayaan Sultan Hudavendigar. Lala Sahin Pasa, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan gabungan milik Koalisi Salib Balkan (Vladislav Boskovic, King Vukasin and the Disastrous:11). Jumlah tentara yang tidak seberapa itu ternyata justru membuahkan kemenangan bagi pasukan Utsmaniyah. Mereka sebisa mungkin menghindari pertempuran terbuka dan baru melancarkan serangan pada malam harinya ke kamp tempat pasukan musuh berkemah. (Iswara N Raditya (2017), Ironi Tak Terduga Sultan Ustmaniyah, dalam Tirto.id, diakses 25 September 2021 pukul 21:56 WIT, https://tirto.id/ironi-dalam-kematian-tak-terduga-sultan-utsmaniyah-cqJJ).

Dua pemimpin asal Serbia melarikan diri, namun keduanya tenggelam di sungai Maritza. Sedangkan raja Hungaria berhasil dari selamat dari kematian. Adapun Sultan Murad sendiri saat itu sedang bersibuk berperang di Asia, dimana dia mampu menaklukan beberapa kota. Setelah itu dia kembali ke ibu kota Adrianople/Edirne untuk mengatur kembali wilayah- wilayah yang telah ditaklukan satu hal yang biasa dilakukan oleh seorang komandan yang bijak. Dari kemenangan pasukan Ustmani di Sungai Maritza itu, menghasilkan beberapa hal yang sangat penting, antara lain: Berhasil menaklukan Turaqiya dan Macedonia sampai ke selatan Bulgaria dan timur Serbia, Kota-kota yang dikuasai Byzantium (Romawi), seperti Bulgaria dan Serbia berjatuhan ke tangan tentara Ustmani laksana jatuhnya daun di musim gugur. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, op. cit, hlm. 56).

Kekalahan di pertempuran Maritza tidak menjadikan Serbia berfikir berkali-kali untuk menghentikan konfrontasi nya dengan dinasti Turki Ustmani malahan Serbia ikut menggandeng Bosnia dan Bulgaria. Ada sebuah peristiwa menarik. Waktu itu sultan Murad telah mempersiapkan pasukan yang matang dan kuat untuk menyerbu wilayah Kosovo di Balkan. Ketika itu, seorang menteri sultan, ada yang membawa kitab suci al-Qur'an. Saat membuka al-Qur'an, tanpa sengaja melihat firman Allah berikut ini: "Wahai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang sabar di antaramu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (musuh). Dan jika ada seratus orang (sabar) di antaramu, dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti". (Al-Anfal:65). Ketika mendegarkan ayat itu dibacakan, seluruh pasukan ketika itu merasakan tanda-tanda kemenangan sudah tiba. Mereka pun bersuka cita dengan "isyarat" yang ditampakkan Allah itu. Maka dalam jangka tak lama, pertempuran hebat berkecamuk antara dua pasukan yang akhirnya kemenangan yang begitu gemilang dicapai oleh kaum Muslimin, walhamdullillahi Rabbil ' alamin. (Ali, 2003, h. 58).

Sayang nya kemenangan tersebut harus ditebus dengan nyawa Sultan Murad bermula, ketika sultan Murad tengah melakukan pemeriksaan atau inspeksi korban-korban kaum Muslim serta mendoakan mereka yang syahid pada pertempuran. Ia juga mengunjungi pasukan yang terluka. Pada saat itu ada seorang pasukan Serbia yang berpura-pura mati , lalu dia segera berlari menuju kearah Sultan. Namun pengawal sultan segera menangkapnya. Si Serbia berkilah dan berpura-pura ingin berbicara dengan sultan secara langsung dan menyatakan diri akan masuk Islam di hadapannya. Mendengar alasan demikian, sultan memberi isyarat agar para pengawal itu melepaskan orang Serbia tersebut. Kemurahan hati Sultan ini dimanfaatkan oleh si Serbia. Dia berpura-pura ingin mencium tangan sultan, padahal saat itu dengan secepat kilat dia mengeluarkan pisau beracun dan menikam ke diri sultan. Akhirnya, sultan Murad syahid pada tanggal 15 Sya'ban tahun 791 H. (Ali, 2003, h. 58).

Sesaat setelah pisau beracun menusuk perutnya, Hudavendigar atau Sultan Murad I sempat mengucapkan pesan-pesan terakhirnya: "Kini, perjalananku telah mendekati akhir dan aku melihat di depan mata kemenangan tentara Islam. Janganlah kalian menyiksa para tawanan dan jangan pula kalian sakiti mereka, janganlah kalian perlakukan mereka dengan cara yang tidak baik. Aku tinggalkan kalian dan tentaraku yang menang untuk menuju rahmat Allah. Dia-lah yang akan menjaga negara kita." (Iswara N Raditya (2017), Ironi Tak Terduga Sultan Ustmaniyah, dalam Tirto.id, diakses 25 September 2021 pukul 23:07 WIT, https://tirto.id/ironi-dalam-kematian-tak-terduga-sultan-utsmaniyah-cqJJ

Anatolia ataupun Balkan. Dan dia keluar sebagai pemenang. Dia memperlakukan rakyatnya dengan penuh kasih sayang tanpa melihat adanya perbedaan ras dan agama. Sejarawan Perancis Kerynard menyebutkan, "Murad adalah salah seorang penguasa imperium Ustmani terbesar. Jika kita lakukan klasifikasi maka akan kita dapatkan dia jauh berada diatas pemimpin-pemimpin Eropa di masanya. Murad I telah mewarisi sebuah kekuasaan besar dari Bapaknya. Luasnya mencapai 95. 000 Km persegi. Pada saat syahid, puteranya Bayazid menerima kekuasaan darinya wilayah seluas 500.000 Km persegi. Itu berarti bahwa selama masa kekuasaanya yang berlangsung selama 29 tahun dia telah berhasil memperluas lima kali lipat peninggalan ayahnya, sultan Orkhan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003, h.63-64).

Sultan Bayazid I (791-805 H/1389-1402 M). Setelah syahidnya sultan Murad I. puteranya yang bernama Bayazid bangkit dan menggantikan. Dia dikenal sebagai sosok yang pemberani, cerdas, murah hati dan besar ambisinya untuk melakukan ekspansi memperluas wilayah Islam. Bayazid sangat menaruh perhatian besar kepada masalah kemiliteran dan berencana menaklukan Negara-negara Nasrani di Anatolia. Luar biasa, hanya dalam jangka waktu setahun, negeri-negeri itu telah berada di bawah kekuasaan pemerintahan Ustmani. Sosok Bayazid I ini digambarkan laksana kilat di antara dua front Balkan dan Anatolia. Karena itu pula ia diberi gelar "Sang Kilat"/ Yildirim/petir. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, op. cit. 65).

Langkah awal yang diambil Bayazid setelah memegang kekuasaan adalah melakukan hubungan kedua belah pihak/bilateral mengingat Serbia merupakan otak-otak dibalik terjadinya koalisi Salibis Balkan untuk melawan dinasti Ustmani. Dengan adanya hubungan ini Serbia diharapkan akan menjadi tameng kekuasaan Ustmani dari gangguan kerajaan Hungaria. Kesepakatan yang tercipta membuat sultan Bayazid melakukan serangan pada tahun 797 H/1393 M ke Bulgaria. Sultan Bayazid berhasil menundukkan warga nya secara tidak langsung eksistensi politik Bulgaria telah jatuh. Kejatuhan Bulgaria menimbulkan gaung keras di Eropa dan memancing pasukan Nasrani Salibis menyongsong ekspansi pemerintahan Ustmani di Balkan. Dari berbagai Negara (Jerman, Perancis, Inggris, Skotlandia, Swiss, Luxemburg, wilayah- wilayah dataran rendah bagian selatan, serta beberapa Negara kecil di Italia). Bayazid hanya mempunyai 100.000 pasukan secara kuantitas Bayazid kalah namun dari segi kualitas pasukan Bayazid lebih unggul dalam kedisiplinan dan persenjataan. Jelaslah kemenangan berada di pihak Bayazid, binasalah aliansi Nasrani-Salibi Eropa banyak pembesar Perancis yang tertawan dalam peperangan ini. Sedangkan Raja Hungaria berhasil juga melarikan diri, kekalahan Hungaria dalam perang Nicopolis, menjadikan posisi Negara itu terpuruk di mata masyarakat Eropa dan wibawanya langsung ambruk. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah, Pustaka Al-Kautsar, 2003. h. 66-67).

Kemenangan ini memili dampak positif yang sangat kuat bagi Bayazid dan Masyarakat Islam. Ia mengirimkan surat kepada kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Timur terkait kemenagannya atas pasukan Nasrani itu. Tak lupa dikirimkannya juga budak laki-laki tawanan perang kepada raja-raja Islam sebagai hadiah dari seorang Sultan. Serta sebagai bukti material kemenangannya. Bayazid sendiri menggelari dirinya sebagai "Sultan Romawi". Karena dia telah mewarisi pemerintahan Saljuk dan menguasai kepulauan Anatolia. Setelah meraih kemenangan pada perang Nicopolis sultan Bayazid bergerak sendiri memimpin pasukan Ustmani dan mengepung Konstantinopel dengan ketat rapih hingga hanya menunggu waktu kota tersebut akan runtuh, tatkala Eropa menunggu hari-hari kejatuhan ibu kota Byzantium, tiba-tiba sultan memalingkan perhatiannya kearah lain, karena dia melihat ada bahaya baru yang tengah mengancam kekuasaan Ustmani. (Ali, 2003. h. 69).

Sultan Bayazid memang dikenal dengan semangat yang begitu menggebu-gebu dalam jihad sayangnya semangat tersebut membuat ia kurang perhatian terhadap kondisi internal pemerintahannya dan ancaman eksternal sangat mungkin muncul. Ketika intensitas pengepungan Konstantinopel hampir menginjak kejatuhannya, muncul ancaman serangan dari kerajaan Muslim, yakni Timur Lenk. Timur Lenk lahir dari keluarga terhormat di wilayah Turkistan. Timur Lenk adalah keturunan Mongol dan didukung oleh banyak kaum Mongol yang kemudian masuk Islam setelah penaklukan Baghdad. (Ali, 2003. h.69). Pada 10 April 1370 M dengan dukungan yang diberikan para Qurultay, orang-orang kerajaan berkumpul di Balkh termasuk bangsawan pada masa dinasti Chagtay, untuk menyaksikan penobatan Timur Lenk sebagai penguasa tunggal atas daerah kekuasaan dinasti Chagtay, sekaligus menandai berdirinya dinasti Timuriyah. (Rohendi "Invasi Timur Lenk Terhadap Wilayah Islam (1370- 1405 M)". Skripsi Sarjana Humaniora, Perpustakan Digital IAIN Syekh Nurjati Cirebon, h. 21)

Terdapat empat faktor yang menimbulkan pertempuran antara Timur Lenk dan Bayazid I, diantaranya: Para pemimpin di wilayah Irak yang negerinya tunduk di bawah kekuasaan Timur Lenk meminta perlindungan kepada Bayazid. Sebaliknya, para penguasa wilayah di Asia Kecil meminta perlindungan kepada Timur Lenk. Kedua pihak yang meminta perlindungan itu akhirnya membenturkan kekuasaan Bayazid I dan Timur Lenk. Negara- negara Nasrani Eropa memprovokasi Timur Lenk agar menyerang, menumpas, dan mengalahkan pemerintahan Bayazid. Adanya surat-surat/korespondensi kedua belah pihak. Dalam salah satu surat Timur Lenk kepada Bayazid I, dia menyatakan penghinaan sangat pedas kepada Bayazid, tatkala dia mempertanyakan ketidakjelasan asal-usul garis keturunan Bayazid I. Dia menawarkan pengampunan kepada Bayazid, karena dia telah mengklaim bahwa Bani Ustmani telah banyak membaktikan diri untuk kepentingan Islam. Dia mengakhiri suratnya dengan mengecilkan posisi Bayazid. Di sisi lain, Bayazid terang-terangan mengatakan bahwa dia siap melawan Timur Lenk yang berambisi merampas kesultananya. Kedua pemimpin ini, Timur Lenk dan Bayazid, sama-sama berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003. h. 70-71

Hingga akhirnya peperangan pun sudah tak mampu dielakan, kedua pasukan bertemu di dekat Ankara pada tahun 804 H/1402 M. kekuatan tentara Bayazid 120.000 orang mujahid yang siap menghadapi musuh. Sedangkan Timur Lenk 800.000 tentara. Pada tanggal 20 Juli 1402 M/804 H. Dalam peperangan ini anak buah Timur Lenk berhasil mengalahkan tentara Ustmani dan Bayazid sendiri berhasil ditangkap. Bayazid berada dalam tahanan Timur Lenk, sampai wafat satu tahun kemudian. Setelah wafatnya Bayazid Timur Lenk menciptakan konflik diantara putra Bayazid, perlu diketahui Bayazid mempunyai lima orang putra semuanya pernah terlibat pertempuran. Putranya yang bernama Musthafa diperkiran telah terbunuh pada peperangan. Musa ditawan bersama Bayazid di penjara Timur Lenk. Sedangkan tiga putera lainnya berhasil selamat dan dalam pelarian. Putera terbesarnya Sulaiman, melarikan diri ke Adrianopel. Disana ia mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan. Sedangkan puteranya yang bernama Isa pergi ke Bursa dan mengumumkan kepada rakyat, bahwa dia adalah pengganti ayahnya. Adapun Muhammad putra bungsu Bayazid dengan beberapa tentara, menarik diri ke Amasia Timur Laut Asia Kecil. Tanpa membutuhkan waktu panjang sengketa politik ini jelas merebak diantara ketiga putra Bayazid tersebut. Saat konflik antar putra Bayazid tengah sengit, Timur Lenk dengan perasaan "sangat menikmati" konflik itu, sengaja melepaskan Musa, putra Bayazid lain, yang sebelumnya ditahan bersama Ayahnya. 

Tentu tujuan Timur Lenk disini agar konflik internal antar pewaris kekuasaan itu semakin sengit dan lebih "nikmat di tonton". (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka Al-Kautsar, 2003. h. 73-74

Konflik antar putra-putra Bayazid sekitar 10 tahun (806-816 H/1403-1413 M). Timur Lenk sendiri hanya setahun menduduki wilayah itu, lalu meninggalkan wilayah Ustmani dalam keadaan Negara itu penuh dengan konflik.

Alhasil, Dimulai dari asal-usul sampai perkembangannya dinasti Turki Ustmani (periode pertama) dengan empat orang Sultan dan masa total masa pemerintahan 102-103 thn telah menuai segudang hasil pada ekspansi wilayah, reformasi militer. Tentunya pencapaian tersebut didukung kuat dengan karakter para pemimpin yang telah ditempa oleh pendidik atau sultan sebelumnya. Hingga menjadikan para pelanjut nya tidak menjadi pemimpin/sultan yang lemah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun