Tanggal 27 September 1371, terjadi perang antara tentara Utsmaniyah melawan pasukan Koalisi Salib Balkan di lokasi bernama Chernomen (kini termasuk wilayah Yunani), dekat Sungai Maritsa atau Marica. Maka, perang ini juga disebut dengan nama Pertempuran Maritsa/Maritza. Konon, jumlah prajurit Utsmaniyah yang dipimpin panglima kepercayaan Sultan Hudavendigar. Lala Sahin Pasa, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan gabungan milik Koalisi Salib Balkan (Vladislav Boskovic, King Vukasin and the Disastrous:11). Jumlah tentara yang tidak seberapa itu ternyata justru membuahkan kemenangan bagi pasukan Utsmaniyah. Mereka sebisa mungkin menghindari pertempuran terbuka dan baru melancarkan serangan pada malam harinya ke kamp tempat pasukan musuh berkemah. (Iswara N Raditya (2017), Ironi Tak Terduga Sultan Ustmaniyah, dalam Tirto.id, diakses 25 September 2021 pukul 21:56 WIT, https://tirto.id/ironi-dalam-kematian-tak-terduga-sultan-utsmaniyah-cqJJ).
Dua pemimpin asal Serbia melarikan diri, namun keduanya tenggelam di sungai Maritza. Sedangkan raja Hungaria berhasil dari selamat dari kematian. Adapun Sultan Murad sendiri saat itu sedang bersibuk berperang di Asia, dimana dia mampu menaklukan beberapa kota. Setelah itu dia kembali ke ibu kota Adrianople/Edirne untuk mengatur kembali wilayah- wilayah yang telah ditaklukan satu hal yang biasa dilakukan oleh seorang komandan yang bijak. Dari kemenangan pasukan Ustmani di Sungai Maritza itu, menghasilkan beberapa hal yang sangat penting, antara lain: Berhasil menaklukan Turaqiya dan Macedonia sampai ke selatan Bulgaria dan timur Serbia, Kota-kota yang dikuasai Byzantium (Romawi), seperti Bulgaria dan Serbia berjatuhan ke tangan tentara Ustmani laksana jatuhnya daun di musim gugur. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, op. cit, hlm. 56).
Kekalahan di pertempuran Maritza tidak menjadikan Serbia berfikir berkali-kali untuk menghentikan konfrontasi nya dengan dinasti Turki Ustmani malahan Serbia ikut menggandeng Bosnia dan Bulgaria. Ada sebuah peristiwa menarik. Waktu itu sultan Murad telah mempersiapkan pasukan yang matang dan kuat untuk menyerbu wilayah Kosovo di Balkan. Ketika itu, seorang menteri sultan, ada yang membawa kitab suci al-Qur'an. Saat membuka al-Qur'an, tanpa sengaja melihat firman Allah berikut ini: "Wahai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang sabar di antaramu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (musuh). Dan jika ada seratus orang (sabar) di antaramu, dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti". (Al-Anfal:65). Ketika mendegarkan ayat itu dibacakan, seluruh pasukan ketika itu merasakan tanda-tanda kemenangan sudah tiba. Mereka pun bersuka cita dengan "isyarat" yang ditampakkan Allah itu. Maka dalam jangka tak lama, pertempuran hebat berkecamuk antara dua pasukan yang akhirnya kemenangan yang begitu gemilang dicapai oleh kaum Muslimin, walhamdullillahi Rabbil ' alamin. (Ali, 2003, h. 58).
Sayang nya kemenangan tersebut harus ditebus dengan nyawa Sultan Murad bermula, ketika sultan Murad tengah melakukan pemeriksaan atau inspeksi korban-korban kaum Muslim serta mendoakan mereka yang syahid pada pertempuran. Ia juga mengunjungi pasukan yang terluka. Pada saat itu ada seorang pasukan Serbia yang berpura-pura mati , lalu dia segera berlari menuju kearah Sultan. Namun pengawal sultan segera menangkapnya. Si Serbia berkilah dan berpura-pura ingin berbicara dengan sultan secara langsung dan menyatakan diri akan masuk Islam di hadapannya. Mendengar alasan demikian, sultan memberi isyarat agar para pengawal itu melepaskan orang Serbia tersebut. Kemurahan hati Sultan ini dimanfaatkan oleh si Serbia. Dia berpura-pura ingin mencium tangan sultan, padahal saat itu dengan secepat kilat dia mengeluarkan pisau beracun dan menikam ke diri sultan. Akhirnya, sultan Murad syahid pada tanggal 15 Sya'ban tahun 791 H. (Ali, 2003, h. 58).
Sesaat setelah pisau beracun menusuk perutnya, Hudavendigar atau Sultan Murad I sempat mengucapkan pesan-pesan terakhirnya: "Kini, perjalananku telah mendekati akhir dan aku melihat di depan mata kemenangan tentara Islam. Janganlah kalian menyiksa para tawanan dan jangan pula kalian sakiti mereka, janganlah kalian perlakukan mereka dengan cara yang tidak baik. Aku tinggalkan kalian dan tentaraku yang menang untuk menuju rahmat Allah. Dia-lah yang akan menjaga negara kita." (Iswara N Raditya (2017), Ironi Tak Terduga Sultan Ustmaniyah, dalam Tirto.id, diakses 25 September 2021 pukul 23:07 WIT, https://tirto.id/ironi-dalam-kematian-tak-terduga-sultan-utsmaniyah-cqJJ
Anatolia ataupun Balkan. Dan dia keluar sebagai pemenang. Dia memperlakukan rakyatnya dengan penuh kasih sayang tanpa melihat adanya perbedaan ras dan agama. Sejarawan Perancis Kerynard menyebutkan, "Murad adalah salah seorang penguasa imperium Ustmani terbesar. Jika kita lakukan klasifikasi maka akan kita dapatkan dia jauh berada diatas pemimpin-pemimpin Eropa di masanya. Murad I telah mewarisi sebuah kekuasaan besar dari Bapaknya. Luasnya mencapai 95. 000 Km persegi. Pada saat syahid, puteranya Bayazid menerima kekuasaan darinya wilayah seluas 500.000 Km persegi. Itu berarti bahwa selama masa kekuasaanya yang berlangsung selama 29 tahun dia telah berhasil memperluas lima kali lipat peninggalan ayahnya, sultan Orkhan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003, h.63-64).
Sultan Bayazid I (791-805 H/1389-1402 M). Setelah syahidnya sultan Murad I. puteranya yang bernama Bayazid bangkit dan menggantikan. Dia dikenal sebagai sosok yang pemberani, cerdas, murah hati dan besar ambisinya untuk melakukan ekspansi memperluas wilayah Islam. Bayazid sangat menaruh perhatian besar kepada masalah kemiliteran dan berencana menaklukan Negara-negara Nasrani di Anatolia. Luar biasa, hanya dalam jangka waktu setahun, negeri-negeri itu telah berada di bawah kekuasaan pemerintahan Ustmani. Sosok Bayazid I ini digambarkan laksana kilat di antara dua front Balkan dan Anatolia. Karena itu pula ia diberi gelar "Sang Kilat"/ Yildirim/petir. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, op. cit. 65).
Langkah awal yang diambil Bayazid setelah memegang kekuasaan adalah melakukan hubungan kedua belah pihak/bilateral mengingat Serbia merupakan otak-otak dibalik terjadinya koalisi Salibis Balkan untuk melawan dinasti Ustmani. Dengan adanya hubungan ini Serbia diharapkan akan menjadi tameng kekuasaan Ustmani dari gangguan kerajaan Hungaria. Kesepakatan yang tercipta membuat sultan Bayazid melakukan serangan pada tahun 797 H/1393 M ke Bulgaria. Sultan Bayazid berhasil menundukkan warga nya secara tidak langsung eksistensi politik Bulgaria telah jatuh. Kejatuhan Bulgaria menimbulkan gaung keras di Eropa dan memancing pasukan Nasrani Salibis menyongsong ekspansi pemerintahan Ustmani di Balkan. Dari berbagai Negara (Jerman, Perancis, Inggris, Skotlandia, Swiss, Luxemburg, wilayah- wilayah dataran rendah bagian selatan, serta beberapa Negara kecil di Italia). Bayazid hanya mempunyai 100.000 pasukan secara kuantitas Bayazid kalah namun dari segi kualitas pasukan Bayazid lebih unggul dalam kedisiplinan dan persenjataan. Jelaslah kemenangan berada di pihak Bayazid, binasalah aliansi Nasrani-Salibi Eropa banyak pembesar Perancis yang tertawan dalam peperangan ini. Sedangkan Raja Hungaria berhasil juga melarikan diri, kekalahan Hungaria dalam perang Nicopolis, menjadikan posisi Negara itu terpuruk di mata masyarakat Eropa dan wibawanya langsung ambruk. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah, Pustaka Al-Kautsar, 2003. h. 66-67).
Kemenangan ini memili dampak positif yang sangat kuat bagi Bayazid dan Masyarakat Islam. Ia mengirimkan surat kepada kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Timur terkait kemenagannya atas pasukan Nasrani itu. Tak lupa dikirimkannya juga budak laki-laki tawanan perang kepada raja-raja Islam sebagai hadiah dari seorang Sultan. Serta sebagai bukti material kemenangannya. Bayazid sendiri menggelari dirinya sebagai "Sultan Romawi". Karena dia telah mewarisi pemerintahan Saljuk dan menguasai kepulauan Anatolia. Setelah meraih kemenangan pada perang Nicopolis sultan Bayazid bergerak sendiri memimpin pasukan Ustmani dan mengepung Konstantinopel dengan ketat rapih hingga hanya menunggu waktu kota tersebut akan runtuh, tatkala Eropa menunggu hari-hari kejatuhan ibu kota Byzantium, tiba-tiba sultan memalingkan perhatiannya kearah lain, karena dia melihat ada bahaya baru yang tengah mengancam kekuasaan Ustmani. (Ali, 2003. h. 69).
Sultan Bayazid memang dikenal dengan semangat yang begitu menggebu-gebu dalam jihad sayangnya semangat tersebut membuat ia kurang perhatian terhadap kondisi internal pemerintahannya dan ancaman eksternal sangat mungkin muncul. Ketika intensitas pengepungan Konstantinopel hampir menginjak kejatuhannya, muncul ancaman serangan dari kerajaan Muslim, yakni Timur Lenk. Timur Lenk lahir dari keluarga terhormat di wilayah Turkistan. Timur Lenk adalah keturunan Mongol dan didukung oleh banyak kaum Mongol yang kemudian masuk Islam setelah penaklukan Baghdad. (Ali, 2003. h.69). Pada 10 April 1370 M dengan dukungan yang diberikan para Qurultay, orang-orang kerajaan berkumpul di Balkh termasuk bangsawan pada masa dinasti Chagtay, untuk menyaksikan penobatan Timur Lenk sebagai penguasa tunggal atas daerah kekuasaan dinasti Chagtay, sekaligus menandai berdirinya dinasti Timuriyah. (Rohendi "Invasi Timur Lenk Terhadap Wilayah Islam (1370- 1405 M)". Skripsi Sarjana Humaniora, Perpustakan Digital IAIN Syekh Nurjati Cirebon, h. 21)
Terdapat empat faktor yang menimbulkan pertempuran antara Timur Lenk dan Bayazid I, diantaranya: Para pemimpin di wilayah Irak yang negerinya tunduk di bawah kekuasaan Timur Lenk meminta perlindungan kepada Bayazid. Sebaliknya, para penguasa wilayah di Asia Kecil meminta perlindungan kepada Timur Lenk. Kedua pihak yang meminta perlindungan itu akhirnya membenturkan kekuasaan Bayazid I dan Timur Lenk. Negara- negara Nasrani Eropa memprovokasi Timur Lenk agar menyerang, menumpas, dan mengalahkan pemerintahan Bayazid. Adanya surat-surat/korespondensi kedua belah pihak. Dalam salah satu surat Timur Lenk kepada Bayazid I, dia menyatakan penghinaan sangat pedas kepada Bayazid, tatkala dia mempertanyakan ketidakjelasan asal-usul garis keturunan Bayazid I. Dia menawarkan pengampunan kepada Bayazid, karena dia telah mengklaim bahwa Bani Ustmani telah banyak membaktikan diri untuk kepentingan Islam. Dia mengakhiri suratnya dengan mengecilkan posisi Bayazid. Di sisi lain, Bayazid terang-terangan mengatakan bahwa dia siap melawan Timur Lenk yang berambisi merampas kesultananya. Kedua pemimpin ini, Timur Lenk dan Bayazid, sama-sama berusaha untuk meluaskan wilayah kekuasaan. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Bangit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003. h. 70-71