Keluar dari gerbang kampus, Genta baru menyadari betapa dinginnya udara dini hari. Mungkin karena tadi ia terlalu antusias dengan leluconnya, sampai-sampai tidak sadar dengan suhu udara yang rendah ini. Ia berjalan menyebrangi jalan raya yang kosong, tak ada satu pun kendaraan yang melintas, bahkan manusia pun tidak. Sudah tentu tak akan ada kendaraan umum pada jam selarut ini, jadi ia memutuskan untuk jalan kaki hingga tempat kosnya, untunglah letaknya tak begitu jauh. Kalau ia beruntung, mungkin ia bisa bertemu dengan Ori dan Jati, lalu dengan sangat puasnya menertawai mereka berdua. Ia tertawa sendiri ketika memikirkan kemungkinan itu.
Di pertigaan jalan, tiba-tiba Genta menyadari sesuatu. Ternyata ada seorang lelaki bertopi yang berdiri di pinggir jalan, di sampingnya ada sebuah gerobak. Sambil berjalan melewati laki-laki itu, Genta memperhatikan gerobaknya, dan ia menyadari bahwa laki-laki itu adalah tukang cilok. Dengan jantung yang berdebar-debar, Genta melirik ke arah jam tangannya. Jam satu malam. Dari sudut matanya ia melihat ke arah panci yang terbuka di atas gerobak itu, melihat benda-benda bulat yang memenuhi panci itu, sampai salah satu benda bulat itu berputar pelan dengan sendirinya, lalu menatap ke arahnya.
“Ciloknya, Dek?” tukang cilok menengadah, memperlihatkan lubang matanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H