Amdanda, Desember 2017
Ah, Jonathan mau datang? Ke kota kecil ini? Hmmm .... angin apa yang membawanya kemari? Setahuku, kampung halaman Jonathan di Nabire. Ah, tapi kota manakah yang terisolir saat ini? Jangankan kota, negara, bahkan duniapun sudah jadi kampung besar sekarang. Mungkin pendeta Adrie memang mengenal dia tanpa aku tahu.
Jonathan mengingatkanku pada setangkai mawar merah itu. Hahaha... aduh Jo, kamu sepertinya pria belum beruntung. Belum? Ah, bukankah Jonathan sudah menikah? Kenapa pula aku harus menyebut dia pria belum beruntung? Keterlaluan sekali aku ini ya. Yang jelas, Â Estrellah perempuan yang berutung itu.
Ketika Jontahan menikah, teman-teman ramai-ramai menggodanya bahwa bakal ada barisan patah hati yang sangat panjang. Akupun turut meramaikan  hal itu, dan tanpa basa-basai, hal ini kutarakan ketika aku bertemu dia.
Dia dan Estrella berpacara tidak lama, kalau tidak salah dua tahun saja. Waktu mereka baru jadian, seisi dunia sepertinya heboh. Jonathan, pria pujaan sejuta wanita itu akhirnya punya pacar juga. Aku sedang di  Jakarta waktu itu. Di salah satu pertemuan dimana dia hadir, aku mencarinya. "Mana Jonathan?" tanyaku pada Saleh, kawan baiknya.
"Kenapa kak? Kak Manda sudah tahu dia sudah punya pacar?"
"Itu dia, barusan ada yang bilang. Saya mau kasih selamat buat dia."
 Lalu Saleh mengarahkan telunjuknya ke dekat podium. Hmmm, Jonathan ada di sana. Aku segera menuju ke tempat dia sedang berbincang-bincang dengan pemain piano. Dari jauh aku berteriak, "Hai Jo, selamat ya?"
Yang dipanggil hanya menoleh sekilas, tersenyun tipis (tipis atau sinis ya? Aku lupa, haha), lalu melambaikan tangannya ke arahku, kemudian permisi pada si pemain piano. Pergi. Lho, kok aku dicuekin sih? Aku merasa malu ketika tiba di tempat dimana tadi Jonathan berdiri. Yang mau dihampiri malah pergi. Untunglah Mas pemain piano yang ternyata mengenalku, ramah menyambut dan menanyakan apa kabar serta basa-basi lainnya.
Kalau saja tempat itu tidak ramai dengan orang, aku mungkin  sudah gigit jari. Ih, Jonathan sombong sekali ya? Tapi aku masih penasaran. Di tempat lain, tanpa sengaja aku bertemu dia lagi. Kali ini dia dalam suasana santai, sedang mengobrol dengan Irene. Ketika kami bertemu, syukurlah dia tersenyum manis. "Hai, Manda. Apa kabar? Kapan datang?"
"Udah lama, dua mingguan Jo," kataku. Ah kamu Jo, lha di acara kemarin itu kamu lihat aku, kok nanya kabarnya sekarang? protesku dalam hati. Merasa tidak punya banyak kesempatan lagi ketemu dia, langung saja aku 'tembak' dia.