" ... Jauh-jauh dari Jakarta cuma mau meledek teman lamamu ini ya? Aku menikah tua deh, Jo. Kalaupun nggak bisa, ya menikah dengan karirku saja," kilah Amanda.
Amanda, pertengahan2013 .....
Aku tidak memperhatikan betul, apakah Jonathan yang menyodorkan mawar merah itu atau orang lain. Malam minggu itu aku dan beberapa orang kawan sedang bersantai setelah mengikuti workshop seharian di Wisma Kana, Megamendung, Bogor. Lagu milik Emilia Contessa "Setangkai Anggrek Bulan" mengalun dari bibir si Panda, pemuda Batak yang suaranya amat lantang.Â
Jujur saja, lagu melankolik ini kurang cocok dinyanyikan olehnya. Sampai lagu itu usai, aku masih terus menyimaknya. Bukan karena lagu itu semata-mata, tapi karena mencoba berdamai dengan ketidakcocokan suara lantang Panda dan jenis lagu mendayu-dayu yang dia nyanyikan itu.
Karena itu, aku tidak memperhatikan Jonathankah atau orang lain yang dengan malu-mau menyerahkan setangkai mawar itu ke hadapanku.Tampaknya memang Jonathan. Ya Tuhan, sampaikan maafku padanya. Pikiranku sedang kalut sebenarnya. Pada Papa yang sedang terbaring lemah menghadapi penyakit levernya nun jauh di sana. Aku tersanjung dengan mawar merah itu. Tidak sempat kuambil karena kemudian ia menariknya kembali.
Maafkan aku Jo...
Keping hati Jonathan, September 2014
Aku paling benci lagu "Tak bisa ke lain hati"nya Kla Project. Sebab, lagu ini terang-terangan menghina perasaanku. Orang yang kepadanya aku tak bisa berpindah hati itu akan pergi dari kota ini. Manda, sahabatku tersayang bulan lalu memberitahu kami akan pulang kampung. Setelah papanya meninggal, Manda meneruskan usaha yang dirintis oleh mendiang ayahnya itu.
Sampai enam tahun sejak mengenal Manda, aku belum sempat mengungkapkan perasaanku. Sejak bertemu perempuan tomboy ini, aku sudah naksir dia. Hanya saja, belum bisa langsung kuutarakan. Waktu itu aku masih jadi anak baru di sini. Sebagai juniornya, aku bakalan dianggap kurang ajar kalau belum apa-apa sudah 'nembak' orang lama. Lagipula waktu itu fans si Amanda banyak sekali. Aku sering merasa sakit hati diam-diam. Hanya karena dia sangat ramah kepadaku, perasaan sakit itu jadi terobati.
Tapi saking gengsinya, aku keenakan menunda-nunda. Amanda pun tampaknya santai-santai saja. Pikirku, masih banyak waktu. Aku sendiri heran, kenapa ya? Sampai kemudian kami mendengar bahwa sakit yang diderita ayahnya membuat beliau meninggal. Menurut Siska, Amanda amat terpukul dengan kepergian ayahnya.
Amdanda, Desember 2017
Ah, Jonathan mau datang? Ke kota kecil ini? Hmmm .... angin apa yang membawanya kemari? Setahuku, kampung halaman Jonathan di Nabire. Ah, tapi kota manakah yang terisolir saat ini? Jangankan kota, negara, bahkan duniapun sudah jadi kampung besar sekarang. Mungkin pendeta Adrie memang mengenal dia tanpa aku tahu.
Jonathan mengingatkanku pada setangkai mawar merah itu. Hahaha... aduh Jo, kamu sepertinya pria belum beruntung. Belum? Ah, bukankah Jonathan sudah menikah? Kenapa pula aku harus menyebut dia pria belum beruntung? Keterlaluan sekali aku ini ya. Yang jelas, Â Estrellah perempuan yang berutung itu.
Ketika Jontahan menikah, teman-teman ramai-ramai menggodanya bahwa bakal ada barisan patah hati yang sangat panjang. Akupun turut meramaikan  hal itu, dan tanpa basa-basai, hal ini kutarakan ketika aku bertemu dia.
Dia dan Estrella berpacara tidak lama, kalau tidak salah dua tahun saja. Waktu mereka baru jadian, seisi dunia sepertinya heboh. Jonathan, pria pujaan sejuta wanita itu akhirnya punya pacar juga. Aku sedang di  Jakarta waktu itu. Di salah satu pertemuan dimana dia hadir, aku mencarinya. "Mana Jonathan?" tanyaku pada Saleh, kawan baiknya.
"Kenapa kak? Kak Manda sudah tahu dia sudah punya pacar?"
"Itu dia, barusan ada yang bilang. Saya mau kasih selamat buat dia."
 Lalu Saleh mengarahkan telunjuknya ke dekat podium. Hmmm, Jonathan ada di sana. Aku segera menuju ke tempat dia sedang berbincang-bincang dengan pemain piano. Dari jauh aku berteriak, "Hai Jo, selamat ya?"
Yang dipanggil hanya menoleh sekilas, tersenyun tipis (tipis atau sinis ya? Aku lupa, haha), lalu melambaikan tangannya ke arahku, kemudian permisi pada si pemain piano. Pergi. Lho, kok aku dicuekin sih? Aku merasa malu ketika tiba di tempat dimana tadi Jonathan berdiri. Yang mau dihampiri malah pergi. Untunglah Mas pemain piano yang ternyata mengenalku, ramah menyambut dan menanyakan apa kabar serta basa-basi lainnya.
Kalau saja tempat itu tidak ramai dengan orang, aku mungkin  sudah gigit jari. Ih, Jonathan sombong sekali ya? Tapi aku masih penasaran. Di tempat lain, tanpa sengaja aku bertemu dia lagi. Kali ini dia dalam suasana santai, sedang mengobrol dengan Irene. Ketika kami bertemu, syukurlah dia tersenyum manis. "Hai, Manda. Apa kabar? Kapan datang?"
"Udah lama, dua mingguan Jo," kataku. Ah kamu Jo, lha di acara kemarin itu kamu lihat aku, kok nanya kabarnya sekarang? protesku dalam hati. Merasa tidak punya banyak kesempatan lagi ketemu dia, langung saja aku 'tembak' dia.
"Jo, selamat ya udah jadian sama Estrella. Tinggallah di sini para barisan patah hati, hiksss...." candaku.
"Yah, cinta kan tidak harus memiliki, kak Manda..."
Haha, lebay ah.
Dan seperti yang sudah aku duga, setelah itu dia sibuk dengan teman ngobrolnya. Sebelum air mataku tumpah, aku permisi pada mereka. Dua tahun setelah itu dia dan Estrella menikah.
Jonathan, di Jakarta ...
Akhirnya hari itu datang juga. Hfffff .... Berat sekali rasanya mau bangun. Hhhh, ayo Jo, mandi segera. Kamu naik pesawat pagi. Sejam lagi harus sudah di bandara. Untunglah rumahku dekat dengan bandara.
Seperti mimpi rasanya bisa berkunjung ke Tarakan. Kotanya si Amanda. Pdt. Adrie mengundangku membawakan ceramah natal di sana. Kupikir tak ada salahnya aku terima permintaan mereka, kebetulan aku juga belum pernah ke sana. Aneh juga, Papua yang jauhnya minta ampun saja sudah aku datangi berkali-kali. Tapi, Kalimantan baru kali ini.
Semoga aku tidak kenapa-kenapa kalau bertemu Manda nanti. Tolong aku ya Tuhan. Jangan ada yang mengganggu konsentrasiku berkhotbah nanti.
Usai ibadah Natal....
Jemaat saling bersalaman. Jonathan bangkit dari kursinya, ia menyalami semua orang yang ada di dekatnya. Belum dilihatnya Amanda. Pembawa acara melalui pengeras suara meminta kepada Jonathan dan segenap panitia berfoto bersama. Posisi Jonathan sudah diatur agar berdiri di tengah-tengah, lalu sekumpulam orang saling mencari posisinya masing-masing. Mereka berderat dua baris. Baris depan duduk, baris belakang berdiri.
Dari kejauhan Amanda berlari-lari kecil menghampiri barisan orang yang hendak berfoto lalu berdiri di samping Jonathan.
"Hai, Jo .... " sapa Amanda.
"Hai kak Manda, apa kabar?" Jonathan segera menjabat tangan Amanda kuat-kuat.
Lalu keduanya larut dalam obrolan hangat seputar bagaimana perjalanan Jonathan dan kegiatan masing-masing. Sambil belasan kamera menjepret ke sana kemari, Amanda dan Jonathan meneruskan percakapan mereka.
"Jadi, sekarang kamu Dirut ya?" tanya Jo, mengomentari perusahaan milik mendiang ayah Amanda.
"Hahaha... bisa aja. Perusahaan kecil kok."
"Nggak kebayang deh kalau akhirnya kamu yang meneruskan usaha Papa kamu. Itukah yang membuat kamu kabur dari Jakarta?"
"Ah, jangan gitu dong Jo. Kabur demi kebaikan, hehe. Kalau bukan aku, siapa lagi? Dua adikku tidak mau terlibat dalam pengelolaan perusahaan kami. Mereka maunya melangang buana ke mancanegara."
'Jadinya kamu belajar banyak ya ketika harus menjalanlan roda perusahaan. Setahuku, kamu itu kan anak rumahan banget. Kerja juga senangnya di belakang meja,"
"Yaaaah, kalo kepepet, biasanya orang jadi bia cepat belajar.  Perusaahanku sudah bersetifikat green lho. Para pekerjanya juga sebagian besar penduduk di sini, " Amanda berpromosi  alias pamer. Hmmm...
"Bagus dong... itu artinya kamu sangat total menjalankan perusahana ya. Pantas, kamu kamu tidak kawin-kawin juga. Setelah berbicara begitu, Jonathan langsung pura-pura sibuk dengan posenya berfoto. Beberapa kamera masih menjepret mereka.
"Eitsss .. nggak enak buntutnya. Sebel banget deh, datang jauh-jauh dari Jakarta cuma mau meledek teman lamamu ini ya? Aku menikah tua deh, Jo. Kalaupun nggak bisa, ya menikah dengan karirku saja," kilah Amanda.
Jonathan hanya tersenyum kecut.
Lalu mereka terdiam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya masih penasaran. Yang satu memikirkan, apakah mawar merah yang batal disodorkan itu betul-betul dari Jonathan? Yang lain bertanya-tanya, 'kenapa sih Amanda bikin aku malu waktu itu? Susah payah aku memberinya mawar, tapi dia tidak fokus.'
Tetapi sudahlah. Ini momen bahagia mereka bisa berjumpa lagi meski sejenak. Duhai Natal, bawalah (setangkai) saja mawar itu pergi ... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H