Mohon tunggu...
Riski Ramadan RR
Riski Ramadan RR Mohon Tunggu... Wiraswasta - I love imagination

Pekerja Serabutan [ kerjaannya banyak, bayarannya sedikit ]

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

It's Raining Heavily

21 November 2022   19:35 Diperbarui: 21 November 2022   19:39 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

I want to tell you about memories. About my childhood when I was in elementary school.

Setelah beberapa kali melewatinya. (sebuah sekolah dasar di ujung jalan sebuah kota kecil). Aku melihat banyak perubahan yang terjadi pada tempat itu. Dari tiap ruangan kelas yang biasa saja menjadi beberapa lantai dengan koridor yang modern dan agak klasik, tetapi wah.

Aku ingat sekali di bagian belakang ada sebuah perpustakaan. Dulu aku sangat rajin mengunjungi tempat itu dan meminjam minimal dua buku setiap harinya untuk dibaca di rumah. Aku lebih sering membaca buku ensiklopedia atau hal-hal yang berbau ilmu pengetahuan alam.

Persis di belakang kelas 4 dan 5 berjejer pohon Nangka yang amat rimbun, ternyata setelah 20 tahun pohon-pohon itu masih berdiri kokoh. Tempat itu menjadi sangat memorable ketika aku mengingat seorang teman Bernama Jakob. Dulu badannya gemuk dan tak heran selalu menjadi korban bullying dan body shaming. Honestly, aku tidak pernah membully dia. Karena aku tahu, kami sama. Yeah.you know. Korban bully paling bisa berteman dengan sesama korban bully. Aku memang korban, tapi setelah puluhan tahun aku berpikir kalau dirikulah penyebab semua ini,penampilan, gestur, cara bicara dan lain-lain yang memancing perhatian besar para  pelaku bully atau orang-orang yang merasa paling pintar yang punya kuasa, sangat kuat di dalam lingkungan sekolah. Hanya opini pribadi, namun stay strong. Bukan kah setiap anak memiliki keunikan masing-masing? Dulu aku bangga diberikan hukuman bernyanyi di depan teman-teman walaupun semuanya menertawakanku. Aku menganggapnya sebuah keunikan, tapi malah menjadi boomerang. But, I still gorgeous, right. I have brave and shine, haha, I guess. Ini hanya segelintir cerita, kenyataannya lebih banyak dan sulit dilupakan juga sulit untuk diungkap kejujurannya.

I love my life. Walaupun terkesan tak punya apa-apa. Tapi menjadi bagian penting dalam operation sebuah restoran ternama di seluruh dunia adalah sebuah hal yang patut disyukuri. Namun, malam hari pukul 21.00, hujan deras ditambah angin kencang membuatku berhenti di sebuah toko yang sudah tutup. Tempat berteduhku saat ini tak jauh dari fast food restaurant tempatku bekerja. Ugh, seharusnya aku tetap stay di sana sebelum akhirnya turun air dari langit menyerbu bumi. Setelah kemudian aku menggerutu diri, kulihat seseorang berhenti tepat di jarak satu meter dan masih di depan toko yang sama keluar dari mobilnya.

Seorang pria yang tak jauh usianya dariku sedang berdiri sambil mendobeli pakaiannya dengan jaket. Aku duduk di depan toko dan memerhatikannya beberapa detik dan pria itu balik memandangku setelah merasa diperhatikan. Dia menghambur ke arahku dengan wajah yang tak enak. Dan,

"Ada apa?"

"Tidak ada." Kataku. Aku masih bersikap tenang.

"Kau memandangku?"

"Yeah, merasa heran. Seseorang keluar dari mobilnya untuk berteduh?" jawabku.

"Boleh ikut duduk di sampingmu?"

"This is your place, sir. Please," aku dari tadi menjawab meremeh.

"Thank you."

"No problem."

Hening sesaat, aku sudah ingin memulai pembicaraan.

"Jadi apa yang membuatmu berhenti di sini?"

Dia menoleh ke arahku dengan senyum malu.

"Aku tidak biasa berkendara di tengah hujan deras."

"Good!" aku mengacungkan jempol padanya. Dia langsung nyerocos.

"Kau sangat keren dengan sepedamu itu."

"Aku tahu ini payah, jadi jangan coba untuk mengejekku, oke?"

"Bersepeda mengurangi polusi, bukan? Juga menyehatkan."

"Aku tahu aku cukup kurus atas semua ini. Rumahku tak jauh dari tempat bekerjaku dan aku sangat menyukai sepeda itu."

Dia masih bersikap ramah dan kemudian mengulurkan tangannya lalu menyebutkan nama.

"I'm Jakob."

"Chris." Tanganku terpaksa menyalaminya karena dia kelihatan cukup baik.

"Are you?" kataku kaget.

Pertemuan yang tak terduga. Aku baru saja membahasnya.

"Sejak kapan kau kembali? Maksudku, aku tak pernah melihatmu lagi setelah umur 13 tahun." Tanyaku langsung memeluknya.

"Complicated."

Aku pangling. Dulu, dia cupu, gendut. Menyedihkan. Tapi sekarang, dia tinggi besar. Dan keren. Bohong kalau aku tak iri dengannya.

"Sampai sekarang pun aku tetap menyedihkan." Katanya menyela pujianku terhadapnya.

"I definitely not..."

"Kau berbelebihan. Ingat kau menangis karena si brengsek itu? Kau sangat drama queen." dia mencoba mengejekku lagi.

"Sudahlah, itu mengerikan sekali."

Kami diam sejenak, berusaha mengasah kembali kenangan-kenangan buruk. Lalu aku ingat pada suatu waktu di bully oleh salah satu guru yang kupikir dia tidak suka dengan performance ku di mata pelajarannya.

"Lempar bolanya, bocah payah!"

"Tidak semengerikan dikunci di toilet rusak oleh si perundung itu," dia mengatakan itu.  Aku kaget di tengah memikirkan hal itu.

"I'm so sorry, kamu masih ingat?"

"Beberapa. Tapi ketakutannya masih terasa abadi."

Aku menyentuh bahunya dan berkata,

"Kini kita jauh lebih dewasa, bisa melindungi diri sendiri."

"Aku tak percaya padamu." Dia malah bercanda seolah menutupi kesedihannya.

"Masih ingat Mr. Harry? Guru olahraga?"

"Apa ada pembullyan lain yang belum aku tahu?" Jakob memasang muka penasaran.

"Dasar sialan. Kau menebak saja."

"Dia tidak suka padamu karena kau payah? Hal yang sangat biasa bukan."

"Bukan hanya itu." Aku menyela. Aku ragu dan kata-kataku agak gagap dan bertanya pada diri, apakah pantas untuk dibicarakan lagi, meski sudah berpuluh-puluh tahun?

"Apa maksudmu?" Jakob bertanya dengan heran.

Hujan makin deras. Kita seolah membiarkan rasa trauma itu kembali muncul dalam diri dengan membaginya ke orang lain, dan orang lain mempunyai peluang untuk menghakimi dari segala pandangan. Aku keceplosan soal Mr. Harry itu, sekarang aku ragu untuk menceritakan pada Jakob lebih merasa tak pantas untuk membahasnya lagi. Hal itu semestinya sudah terkubur dan mati sejak bertahun-tahun lalu. Aku diam, Jakob menekanku untuk bercerita.

"Come on Chris. Apa yang perlu aku tahu?"

"CUKUP JAKOB!!!" aku menggertak. Aku emosi bukan pada Jakob, melainkan dengan diri sendiri. Lalu aku langsung meminta  maaf. "I'm so sorry, aku kesal pada diriku sendiri.

"Tidak apa-apa jika kau tidak ingin cerita."

"Aku...."

"It's okay." Jakob menepuk-nepuk bahuku.

"Aku pernah dilecehkan oleh si brengsek itu." Mataku berkaca-kaca dan merasa cukup untuk mengungkap kalimat  itu sekali. Jakob yang terkejut langsung memelukku erat. Mungkin dia merasa sangat empati. Hujan mulai reda kami bersiap untuk pergi.

Pada akhirnya pertemuan kecil membangkitkan banyak memori. Menyimpan rasa trauma sendirian membuat siapa pun tak bisa lepas dari jeratan mengerikan itu. Aku pikir tidak ada hal baik selain memulai mencintai diri sendiri setelah merasa di fase depresi karena peristiwa traumatis. Aku di sini, masih bisa merasa gembira bersama orang terdekat, melakukan berbagai hal yang aku sukai dan membiarkan ceritaku di dengar, dibaca oleh orang banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun