"Apa ada pembullyan lain yang belum aku tahu?" Jakob memasang muka penasaran.
"Dasar sialan. Kau menebak saja."
"Dia tidak suka padamu karena kau payah? Hal yang sangat biasa bukan."
"Bukan hanya itu." Aku menyela. Aku ragu dan kata-kataku agak gagap dan bertanya pada diri, apakah pantas untuk dibicarakan lagi, meski sudah berpuluh-puluh tahun?
"Apa maksudmu?" Jakob bertanya dengan heran.
Hujan makin deras. Kita seolah membiarkan rasa trauma itu kembali muncul dalam diri dengan membaginya ke orang lain, dan orang lain mempunyai peluang untuk menghakimi dari segala pandangan. Aku keceplosan soal Mr. Harry itu, sekarang aku ragu untuk menceritakan pada Jakob lebih merasa tak pantas untuk membahasnya lagi. Hal itu semestinya sudah terkubur dan mati sejak bertahun-tahun lalu. Aku diam, Jakob menekanku untuk bercerita.
"Come on Chris. Apa yang perlu aku tahu?"
"CUKUP JAKOB!!!" aku menggertak. Aku emosi bukan pada Jakob, melainkan dengan diri sendiri. Lalu aku langsung meminta  maaf. "I'm so sorry, aku kesal pada diriku sendiri.
"Tidak apa-apa jika kau tidak ingin cerita."
"Aku...."
"It's okay." Jakob menepuk-nepuk bahuku.