Bibir tipis itu menahan isak. Dia tak menyangka rencana untuk menikah kandas karena perang yang tak berkesudahan.
"Bao, apa yang harus kita lakukan?" Ayah Hien mendekat ke pintu dan memegangi pundak calon mantunya itu. Bao tertunduk, lalu menatap pria paruh baya itu, berusaha tegar.
"Mengungsi, Pak. Vietcong akan menguasai tanah ini. Kita tidak aman. Cuma mengungsi yang akan menyelamatkan Bapak sekeluarga." Bao berusaha menyakinkan.
"Lalu kamu sendiri?"
Sorot mata Bao menumpuk sorot mata tua itu. Ada keraguan yang disalut dengan sangat rapi. Bao tidak ingin calon keluarga barunya menderita di tanah yang tak lagi aman.
"Saya akan menyusul kalian." Nada getir yang terucap cukup jelas di telinga Hien. Gadis itu merasakan keraguan itu.
"Bagaimana caranya?" desak Ayah Hien.
"Tidak banyak waktu lagi, Pak. Segera berkemas. Sejam lagi kita harus sudah sampai di pantai!"
Hien, ibu Dayen, terpisah dari ibu dan bapaknya. Mereka bahkan tidak pernah bertemu di Pulau Galang. Mungkin keduanya mati di laut. Dari foto yang dipajang, tak satu pun ada nama kakek dan nenek Dayen.
"Apa ada Bao Due di situ?" Ramon menyela dengan bahasa Vietnam yang fasih.
Dayen menoleh. Dia mengamati pria di sisinya. Entah sejak kapan dia ada di sana.