Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Ho Chi Minh

22 Maret 2022   00:06 Diperbarui: 22 Maret 2022   14:52 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matanya menyisir area kedatangan bandara. Mengalihkan pandangan ke arloji di tangannya, kembali ke barisan penjemput. Menyelisik satu per satu. Seseorang mengacungkan kertas bertulis nama, Duyen. 

Ya, itu namanya, singkat dan unik. Duyen dalam bahasa Vietnam, artinya perempuan yang kharismatik.

Pria yang menggunakan masker dan kepalanya tertutup topi itu, lalu bertanya dengan bahasa Inggris yang baik saat gadis itu mendekatinya.

"Please ...."

Duyen mengikutinya ke luar area kedatangan bandara. Tanpa sengaja mata sipitnya tiba-tiba menangkap pergerakan makhluk berjakun lain tengah berjalan menyeberang. Dari samping postur tubuhnya mengingatkan pada seseorang yang sejak lama dia cari. Sontak mata Duyen melebar.

"Bao Due ...," bisiknya lirih. Dia berusaha mengejar dan mulutnya terus meneriakinya. Pria itu tak bergeming, namun Duyen terus mengejar. Sayangnya, pria itu berjalan lebih cepat darinya. Langkah gadis itu terhalang taksi yang lewat. Duyen mengutuk. Dia terus mengejar, lalu tiba-tiba berhenti di parkiran blok 2. Matanya berkeliling memindai mobil-mobil yang terparkir. Nihil. Dia kehilangan jejak.

"Miss ...." Tiba-tiba pria bertopi yang tadi menjemput berlari mendekat. Napasnya naik turun. Dia terlihat panik. "Mbak kok lari?"

"Oh, maaf. Saya melihat Bao, tadi." Gadis itu memberi alasan.

"Bao? Who?"

Duyen tersadar. Menceritakan siapa pria itu saat ini, di area parkir yang terbuka dari paparan matahari, bukan waktu yang tepat. Panas. Ya, Batam memang panas. Dan Duyen tidak ingin kulitnya menggelap.

"Let's, go." Duyen menghela napas. "To Galang Island."

Pria yang kemudian mengenalkan dirinya bernama Rustam itu, hanya melirik sekilas, lalu mengiakan. Duyen berjalan menuju mobil dengan langkah gontai. Dia mengutuk dirinya yang tak berhasil mengejar pria yang dia yakin itu Bao. Entah dari mana keyakinan itu datang.

"Siapa yang Mbak kejar tadi?" tanya Rustam memecah kesunyian perjalanan. Dayen memperhatikan Rustam yang terlihat dari spion depan. "Maaf kalau saya cerewet." Pria itu kembali fokus ke jalan beraspal menuju Pulau Galang.

Seratus meter lagi memasuki jembatan, Barelang 2. Masih ada Barelang 3, 4, 5, dan 6. Dan tujuan Dayen adalah Jembatan Barelang, Batam-Rempang-Galang, 5.

Dayen menikmati perjalanan dengan memanjakan mata menikmati tumbuhan liar di kiri kanan jalan. Pemandangan yang hampir tidak pernah dia jumpai lagi semenjak tinggal dan menetap di Australia. Tepatnya di Kedutaan Vietnam di Sidney. Sementara itu, Rustam menaikkan volume tape di mobilnya. Dendangan lagu Melayu terdengar ramah memasuki telinga.

"Mas orang mana?" Dayen bertanya, kali ini dengan bahasa Indonesia yang lumayan lancar.

"Loh, bise cakap Indonesia? Ngomonglah dari tadi," ucapnya dengan nada gemas. "Saye orang Melayu, Miss."

Dayen mengangguk. Gadis itu lalu bercerita tentang tujuannya ke Galang tanpa Rustam bertanya. Menurutnya, dia ingin menyusuri jejak keluarganya di sana.

Mobil memasuki Jembatan Barelang 5. Tidak lama kemudian memasuki sebuah wilayah kamp pengungsian Vietnam. Bagi Rustam hal biasa jika dia mengantar turis mengunjungi bekas kamp ini. Namun, tidak tujuannya kali ini. 

Penumpang yang menyewa jasanya ingin mencari jejak keluarganya yang mungkin tertinggal di sini. Padahal menurut Rustam, sejak 1996, para pengungsi sudah meninggalkan Pulau Galang. Sebagian kembali ke Vietnam atau tinggal dan menetap di negara ketiga setelah memperoleh suaka, seperti orang tua Dayen.

Mobil berhenti mendadak ketika Dayen dengan tiba-tiba berseru melihat sebuah perahu. Dayen terpana melihat replika perahu yang dulu dipakai leluhurnya untuk mencapai daratan. Manusia-manusia kapal yang bertahan hidup di tengah ganasnya gelombang Laut China Selatan.

Dayen mendekat. Perlahan dia menyentuh bagian buritan kapal itu. Potongan-potongan cerita itu kembali muncul, hingga air matanya mengalir.

"Hien! Cepat!" Seseorang memanggilnya. Mata gadis itu mencari sumber suara. Teriakan orang-orang di sekitarnya mengaburkan panggilan itu. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hien!"

Dari kejauhan terlihat lambaian tangan kedua orang tuanya sambil meneriaki namanya.

"Bapak! Ibu! Tunggu aku!" teriaknya. Dia berlari berusaha mengejar ke tengah laut. Namun, gelombang menerjangnya hingga dia pun terjatuh. Hien bangkit dan bergabung dengan pengungsi lain yang sedang menaiki perahu lain.

"Hien! Cepat!" Tangan seseorang terulur di pinggir kapal. Hien menoleh dan meraih tangan yang menolongnya naik ke atas kapal.

Gelombang Laut China Selatan membawa kapal ke tengah dan semakin ke tengah menjauhi pantai. Menjauhi Bao. Meninggalkan jejak cintanya.

Punggung tangan kanan Dayen mengusap pipinya. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke samping kanan kapal. Seseorang berjalan ke belakang kapal. Dayen mengikutinya berputar mengelilingi kapal. Perlahan dia berjalan mendekati pria yang sedang membidik kameranya ke arah kapal.

"Bao Due ...."

Mendengar seseorang berbicara di belakangnya, Si pria pun balik badan. Dia tersenyum, lalu beranjak pergi.

"Hei! Tunggu!" Dayen kembali mengejarnya.

Pria itu berhenti. "Ya?" Tatapannya mengandung kebingungan.

"Kamu ... Bao Due."

"Kamu salah orang kali. Saya Ramon Prawiratama." Pria itu mengulurkan tangannya.

Namun, sekali lagi Dayen membantahnya. Dia tetap yakin pria di depannya adalah Bao Due. Tinggi badan, bentuk mata, belahan rambut semuanya sama. Buru-buru gadis itu mengeluarkan foto dari dalam tasnya.

"Look at this!"

Pria yang mengaku bernama Ramon itu mengambil foto dari tangan gadis berkepang dua ini. Matanya terbelalak. Dia melirik Dayen sebentar, lalu beralih lagi ke foto. Dia tak menyangka foto itu mirip sekali dengan dirinya. Ramon seperti sedang becermin.

"Bukan saya. Cuma mirip," ucapnya ketus.

"Ini kamu!"

"Foto tahun berapa?" Mata Ramon menatap tajam.

Melihat gelagat tidak baik, Rustam berlari melerai. Dia lalu menjelaskan maksud Dayen.

"Kenapa nggak ke museum? Di sana ada banyak foto seluruh pengungsi Vietnam. Barangkali orang yang kamu cari ada di sana."

Rustam mengangguk, lalu mengajak Dayen menuju museum. Dalam mobil, air mata Dayen terus mengalir. Bahkan sampai museum, air matanya tak surut saat satu per satu foto yang dipajang tak juga menemukan nama Bao Due. Dia mulai frustrasi. Namun, saat tangannya menunjuk sebuah foto, tangisnya pecah. Lan Hien. Kedua tangannya menutup wajah. Dia teringat cerita ibunya, 26 tahun lalu.

Waktu itu, bulan Juni 1976.

Bao Due berlari mengalahkan anak panah yang melesat dari busur. Tujuannya satu, rumah Hien. Kekasihnya yang baru semalam dilamarnya. Bao tidak ingin menunda niat baiknya di tengah carut marut negerinya saat ini.

Sebagai tentara The Army of The Republic of Vietnam (ARVN), Bao tidak tahu nyawanya sampai kapan. Namun, dengan memburuknya kondisi perang saudara ini, apalagi Saigon semakin terdesak, dia harus membuat keputusan.

Melewati perkampungan yang sunyi. Warga yang bersembunyi termasuk keluarga calon istrinya. Saat pintu terbuka, Hien menatap Bao dengan wajah panik.

"Ada apa?"

"Kita kalah. Saigon kalah."

Hien dan keluarga di dalam rumah berkumpul di ruang tengah. Mereka saling berpelukan.

"Thn mn, kamu dan keluargamu harus mengungsi." Getar nada terdengar cukup jelas di telinga Hien. "Kamu harus dapatkan suaka di Australia."

"Lalu kamu?"

"Jangan khawatirkan aku. Sebagai tentara sejati, aku berjuang dulu di sini."

Hien menggeleng berulang kali. Air matanya membasahi pipinya yang mulus. Dia menolak pergi tanpa Bao. Namun, sekuat tenaga pria itu meyakinkan Hien.

"Tunggu aku. Percayalah."

Bibir tipis itu menahan isak. Dia tak menyangka rencana untuk menikah kandas karena perang yang tak berkesudahan.

"Bao, apa yang harus kita lakukan?" Ayah Hien mendekat ke pintu dan memegangi pundak calon mantunya itu. Bao tertunduk, lalu menatap pria paruh baya itu, berusaha tegar.

"Mengungsi, Pak. Vietcong akan menguasai tanah ini. Kita tidak aman. Cuma mengungsi yang akan menyelamatkan Bapak sekeluarga." Bao berusaha menyakinkan.

"Lalu kamu sendiri?"

Sorot mata Bao menumpuk sorot mata tua itu. Ada keraguan yang disalut dengan sangat rapi. Bao tidak ingin calon keluarga barunya menderita di tanah yang tak lagi aman.

"Saya akan menyusul kalian." Nada getir yang terucap cukup jelas di telinga Hien. Gadis itu merasakan keraguan itu.

"Bagaimana caranya?" desak Ayah Hien.

"Tidak banyak waktu lagi, Pak. Segera berkemas. Sejam lagi kita harus sudah sampai di pantai!"

Hien, ibu Dayen, terpisah dari ibu dan bapaknya. Mereka bahkan tidak pernah bertemu di Pulau Galang. Mungkin keduanya mati di laut. Dari foto yang dipajang, tak satu pun ada nama kakek dan nenek Dayen.

"Apa ada Bao Due di situ?" Ramon menyela dengan bahasa Vietnam yang fasih.

Dayen menoleh. Dia mengamati pria di sisinya. Entah sejak kapan dia ada di sana.

"Kamu sedang apa di sini?"

"Aku ... aku mencari penjaga museum. Kamu melihatnya?" Ramon terlihat kikuk, matanya beralih pada deretan foto di hadapannya.

Dayen bergeming.

"Jadi bagaimana dengan orang yang kamu cari itu? Ada?" Ramon kembali melempar pertanyaan.

Tidak ada jawaban. Dayen tertunduk. Dia tampak putus asa mencari pria itu. Hien menunggunya di Australia, seperti janji pria itu sebelum berangkat. 

Namun, jejak Bao Due tak pernah terendus. Apa dia mati bertempur setelah kemenangan Ho Chi Minh? Atau dia mati dalam penjara di negerinya sendiri?

Airmolek, 17 Maret 2022

Catatan Kaki:

[1] Pada 1 Mei 1975, setelah jatuhnya Vietnam Selatan, pemerintah komunis yang kini berkuasa mengganti nama kota ini dengan menggunakan nama samaran pemimpin mereka H Ch Minh.

2 Sayang (bahasa Vietnam)

3 Vit Cng (VC), Front Pembebasan Nasional (FPN), dan Front National de Libert (FNL), adalah organisasi utama pemberontak (partisan) yang berjuang melawan Vietnam Selatan, Amerika Serikat dan sekutu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun