Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Waktu yang Kembali

27 Januari 2021   07:24 Diperbarui: 29 Januari 2021   12:47 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rumah itu telah kosong sejak Sari pindah ke Surabaya membawa kamu pergi."

Aku tertegun hampir tak percaya mendengar penjelasan Bapak tua itu. Namun, terlihat dia bicara jujur. Beberapa kali dia menghela napas yang terdengar berat. Sepertinya tak ada pilihan selain mengunjungi rumah kosong itu. Apalagi senja sudah berubah menjadi gelap. Temaram lampu stasiun mulai terlihat mengiringi kepergianku bersama bapak tua.

"Mari, Pak. Antar saya ke alamat itu."

Bapak itu mengangguk dan membantuku membawakan tas ranselku. Sepanjang jalan kebisuan menyergap. Entah apa yang dipikirkan si bapak tentang aku, Ibu, juga peristiwa yang pernah terjadi. Aku mengeluh. Tidak ada yang bisa kunikmati pada perjalanan ini. Sebelum akhirnya pandanganku beralih ke jalan desa yang lebih sempit dari jalan yang baru saja kulalui. Semacam gang kecil. Mobil berhenti di depan sebuah rumah gaya lama dengan cat tembok yang telah memudar. Tanpa sinar lampu rumah ini terkesan menyeramkan dan membuat perasaanku kembali diliputi ketakutan.

"Mbak yakin mau tinggal di sini malam ini?" tanyanya.

Aku menarik napas dan menghelanya pelan. Tidak ada pilihan lagi. Ini rumahku juga karena ini peninggalan satu-satunya dari Ayah. Aku mengangguk yakin. Setelah mengambil tas dari dalam bagasi, aku membayarnya dan melangkah membuka pagar.

"Kalau perlu apa-apa, jangan segan. Rumah saya di ujung sana." Jempol keriputnya menunjuk rumahnya sekitar empat rumah dari rumahku.

"Terima kasih, Pak."

Aku berjalan masuk dan merogoh saku tas mencari kunci rumah. Sebelum berangkat Ibu memberiku beberapa kunci. Aku mencoba membuka pintu depan. Dua kali dicoba pintu pun terbuka. Pertama yang terlihat adalah kegelapan. Setelah bertahun-tahun ditinggalkan, kurasa penerangan rumah ini tidak lagi bisa mengandalkan PLN.

Pelan-pelan aku masuk. Mataku mencoba memindai ruangan dengan mengandalkan cahaya bulan yang menerobos masuk. Sepertinya perkakas rumah masih lengkap. Masih di posisi semula. Jaring laba-laba sudah menguasai ruangan. Beberapa kali wajahku harus menabrak jaring-jaring itu.

Aku meletakkan tas dan berjalan ke kamar pertama. Kamar yang kuingat paling luas. Perlahan aku membuka pintu yang tak dikunci itu. Sama saja, aku tak cukup jelas melihat dalam kamar ini. Gelap. Samar-samar aku melihat tempat tidur kayu beralas sprei lengkap dengan bantal dan gulingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun