Kereta Api Bogowonto jurusan Surabaya--Senen sudah sampai di Wates. Itu berarti satu persinggahan lagi aku sampai ke Jenar. Kecamatan di tenggara Sragen itu menyimpan sebagian dari masa kanakku yang hilang dari ingatan. Tidak ada yang membekas dalam memoriku tentang tempat yang lebih tepat aku sebut desa ini. Konon, aku kecil gemar main di sawah, gobak sodor, egrang, atau betengan.
Ah, permainan anak yang makin lenyap ditelan kemajuan zaman, kalah oleh gempuran gawai yang tak tertandingkan. Aku hampir tak pernah melihat anak sekarang bermain gobak sodor di lapangan. Aku justru kerap melihat anak-anak asyik dengan ponselnya. Mengabaikan lingkungan dan hidup di dunianya sendiri.
Badanku bergerak pelan mengikuti jalannya kereta di atas bantalan relnya. Aku membuka robekan kertas bertuliskan alamat rumah yang akan aku kunjungi.
"Bu, apa sebenarnya yang pernah terjadi? Apa ada yang Ibu sembunyikan dari May?" tanyaku malam itu.
Aku mendesak Ibu. Entah sudah berapa kali aku terbangun di malam hari sambil berteriak. Keringat dingin yang mengucur membawa serta ketakutanku. Mimpi menyeramkan itu hadir lagi. Hampir setiap malam aku bertemu mimpi tentang rumah tua yang menurutku aneh. Aku tak mampu mengurai pesan dalam mimpi itu. Sampai akhirnya aku bertanya pada Ibu.
Ibu masih berusaha menghindar dan mengalihkan pertanyaanku. Aku tak jera.
"Ada apa dengan rumah itu, Bu!"
"Turuti perintah Ibu, May."
Aku bergeming. "May, nggak akan pergi ke sana kalau Ibu tidak mau menjelaskan."
"Menjelaskan apa? Mimpi hanya bunga tidur, May. Nggak lebih."
"Tidak, Bu. Mimpi May ada kaitannya dengan tugas dari Ibu." Aku mengacungkan robekan kertas itu.
Usai berdebat, Ibu pun memilih duduk. Dalah helaan napasnya aku mendengar suara Ibu yang berubah parau. Ibu lalu bercerita tentang sebuah koper. Koper di sebuah rumah tua di Jenar. Tidak detail Ibu menjelaskan untuk apa aku harus mengambil koper itu. Ibu hanya memberikan sebuah alamat yang harus aku cari di sana. Barangkali ini bisa memberikan jawaban tentang mimpi aneh yang aku alami.
Warna langit mulai menguning, pertanda senja segera hadir. Langit jingganya terlukis begitu indah di angkasa. Kereta api berhenti di Stasiun Jenar. Stasiun kecil yang lengang. Aku menyusuri pinggiran rel kereta dan mencari pintu keluar. Seorang Bapak paruh baya menawariku jasa pengantaran. Aku lalu mengeluarkan kertas kecil dan menyerahkannya.
Bapak itu menautkan kedua alisnya, lalu memandangku lekat-lekat. "Putrinya Sari?" tanyanya sambil memandangku tak berkedip.
Aku mengangguk sedikit ragu. "Bapak kenal Ibu saya?" tanyaku lagi.
"Kenal. Semua orang di sini kenal ibumu," jawabnya semangat. "Tapi setelah peristiwa itu, tidak ada kabar lagi dari ibumu," jelasnya.
Peristiwa? Peristiwa apa yang menyebabkan Ibu dan aku pindah? Seingatku Ibu pernah bercerita aku lahir di Jenar, lalu pindah dari Jenas 24 tahun lalu.
"Alamat yang diberikan Ibu saya itu, alamat siapa ya, Pak?"
Bapak tua itu mendongak. Kedua matanya seakan menumbuk mataku yang menunggu jawaban.
"Rumah kosong," jawabnya datar.
"Apa? Enggak salah, Pak? Tidak mungkin Ibu memberikan alamat sebuah rumah kosong?"
"Rumah itu telah kosong sejak Sari pindah ke Surabaya membawa kamu pergi."
Aku tertegun hampir tak percaya mendengar penjelasan Bapak tua itu. Namun, terlihat dia bicara jujur. Beberapa kali dia menghela napas yang terdengar berat. Sepertinya tak ada pilihan selain mengunjungi rumah kosong itu. Apalagi senja sudah berubah menjadi gelap. Temaram lampu stasiun mulai terlihat mengiringi kepergianku bersama bapak tua.
"Mari, Pak. Antar saya ke alamat itu."
Bapak itu mengangguk dan membantuku membawakan tas ranselku. Sepanjang jalan kebisuan menyergap. Entah apa yang dipikirkan si bapak tentang aku, Ibu, juga peristiwa yang pernah terjadi. Aku mengeluh. Tidak ada yang bisa kunikmati pada perjalanan ini. Sebelum akhirnya pandanganku beralih ke jalan desa yang lebih sempit dari jalan yang baru saja kulalui. Semacam gang kecil. Mobil berhenti di depan sebuah rumah gaya lama dengan cat tembok yang telah memudar. Tanpa sinar lampu rumah ini terkesan menyeramkan dan membuat perasaanku kembali diliputi ketakutan.
"Mbak yakin mau tinggal di sini malam ini?" tanyanya.
Aku menarik napas dan menghelanya pelan. Tidak ada pilihan lagi. Ini rumahku juga karena ini peninggalan satu-satunya dari Ayah. Aku mengangguk yakin. Setelah mengambil tas dari dalam bagasi, aku membayarnya dan melangkah membuka pagar.
"Kalau perlu apa-apa, jangan segan. Rumah saya di ujung sana." Jempol keriputnya menunjuk rumahnya sekitar empat rumah dari rumahku.
"Terima kasih, Pak."
Aku berjalan masuk dan merogoh saku tas mencari kunci rumah. Sebelum berangkat Ibu memberiku beberapa kunci. Aku mencoba membuka pintu depan. Dua kali dicoba pintu pun terbuka. Pertama yang terlihat adalah kegelapan. Setelah bertahun-tahun ditinggalkan, kurasa penerangan rumah ini tidak lagi bisa mengandalkan PLN.
Pelan-pelan aku masuk. Mataku mencoba memindai ruangan dengan mengandalkan cahaya bulan yang menerobos masuk. Sepertinya perkakas rumah masih lengkap. Masih di posisi semula. Jaring laba-laba sudah menguasai ruangan. Beberapa kali wajahku harus menabrak jaring-jaring itu.
Aku meletakkan tas dan berjalan ke kamar pertama. Kamar yang kuingat paling luas. Perlahan aku membuka pintu yang tak dikunci itu. Sama saja, aku tak cukup jelas melihat dalam kamar ini. Gelap. Samar-samar aku melihat tempat tidur kayu beralas sprei lengkap dengan bantal dan gulingnya.
Malam makin pekat. Kelelahan juga menyerang tubuhku. Rasanya aku tidak sanggup untuk membersihkan kamar ini sekarang. Aku butuh istirahat setelah menempuh perjalanan dari Surabaya pagi tadi. Akan tetapi di sini tidak ada hotel untuk menginap.
Saat aku bimbang, aku merasakan tanganku ada yang menyentuh. Aku terkesiap. Bola mataku membulat karena terkejut. Aku yakin ada yang menyentuh tanganku, tetapi aku tak melihat jelas ada manusia di sampingku. Sekalipun dalam keremangan aku pastikan saat ini sedang sendirian.
Tiba-tiba pintu depan diketuk beruntun. Jantungku makin berdebar kuat. Peluh mulai membasahi kening. Aku masih bergeming dan mencoba mengamati pintu depan dengan mata yang kubuka lebar. Siapa gerangan bertamu di saat rumah dalam kondisi gelap gulita. Pintu depan kembali diketuk, tetapi kali ini ada suara memanggil namaku. Aku sedikit lega. Minimal aku mendengar suara seseorang yang mengenaliku. Aku berjalan cepat membuka pintu.
"Mbak Mayang ...."
Dengan napas memburu aku mendapati Bapak yang tadi mengantarku. Aku berusaha mengatur napas. Tanpa bicara lagi, aku masuk ke dalam untuk mengambil tasku dan keluar.
"Pak, boleh saya menginap di rumah Bapak malam ini?" pintaku.
"Mbak Mayang kenapa?"
"Ayo, Pak. Nanti saya ceritakan."
***
Surya menunjukkan wajahnya beserta sinarnya yang menghangatkan. Melalui celah sempit sinarnya menerobos masuk ke kamar. Aku terbangun, memicingkan kedua mataku yang mengenai wajahku. Aku menggeliat dan mengumpulkan kesadaranku. Kembali aku mengingat apa yang telah terjadi malam tadi. Sentuhan itu ... ah, itu nyata sekali.
Aku bangun dari kasur. Membuka jendela dan mengirup udara segar. Otakku kembali mengingat kejadian semalam. Bulu kudukku meremang. Mendadak dingin menjalari seluruh tubuhku hingga aku mematung tak sanggup menoleh. Kembali aku merasakan seseorang sedang berdiri di belakangku.
Aku sering mendengar, jika rumah dibiarkan kosong terlalu lama akan menjadi tempat berkumpulnya makhluk kasat mata. Apakah itu juga yang sedang terjadi di rumahku itu?
"Mbak Mayang ...," panggil seorang perempuan desa yang sederhana, Bu Marni.
"Ya, Bu."
Aku beranjak berjalan menuju pintu. Pintu terkuak dan Bu Marni memasang senyumnya.
"Jadi bersihkan rumah, Mbak?"
"Ya, ya. Jadi, Bu." Aku mengambil hijabku dan berjalan mengikuti Bu Marni yang sudah membawa alat-alat.
"Bu, boleh saya tahu kenapa Ibu saya meninggalkan rumah ini?" tanyaku tanpa basa-basi sesampai di pintu depan.
"Eeem ... apa Ibu enggak ada cerita?"
Aku terdiam sesaat, sambil mengingat cerita Ibu tentang alasannya meninggalkan Jenar.
"Ibu hanya cerita untuk menjauhkan saya dengan Bapak, Bu."
Bu Marni menatapku, sepertinya ada yang ingin diceritakannya.
***
Rumah sudah bersih dari debu dan jaring laba-laba. Sprei sudah kutukar dengan yang baru. Beberapa perkakas yang sudah usang dan rusak kuganti dengan yang baru. Aku duduk di sofa menghadap kamarku dengan menyandarkan punggung melepas penat. Mataku sempat terpejam entah berapa lama, lalu terbangun saat aku mendengar suara berisik dari arah kamarku.
Aku memanggil Bu marni. “Bu ... Bu Marni!” panggilku, tetapi tak ada jawaban. Apa mungkin perempuan itu pulang saat aku tertidur barusan?
Aku bangkit dari duduk dan berjalan pelan menghampiri sumber suara dalam kamar. Aku berangsur melangkah masuk ke kamar. Keningku berkerut saat mendapati sebuah koper tua tergeletak di lantai. Setahuku Bu Marni tadi sudah membereskan kamar, tetapi mengapa koper ini justru tergeletak di lantai?
Kepalaku bergerak ke kanan mengamati benda usang dekat kakiku. Sepertinya aku ingat sesuatu. Ya, aku teringat cerita Ibu tentang koper tua. Barangkali ini koper yang dimaksud Ibu, pikirku. Aku jongkok dan membuka perlahan kait pengunci koper dan menarik retsletingnya. Koper terbuka bersama debu yang beterbangan. Aku terbatuk. Kedua tanganku mengibas cepat. Sepertinya aku mencium aroma yang membuatku mendadak lemas.
Dadaku terasa sakit. Aku mengerang, tapi percuma sepertinya aku sendirian dan tak seorang pun mendengar. Aku memejam menahan sakit. Saat koper terbuka aku melihat gadis kecil berambut cokelat berjalan ke arahku. Kakiku berangsur mundur.
Gadis kecil itu berjalan ke arah koper, lalu duduk di dalamnya. Aku terus memperhatikan gerakannya. Kakinya dibiarkan menjuntai ke luar koper. Dia mengambil sebuah buku usang dari dalam koper dan mulai membacanya. Dia bahkan tak acuh dengan keberadaanku di sampingnya. Dia terus membaca. Sesekali gadis itu mendongak dan tersenyum manis. Aku merasa familier dengan tingkah gadis kecil ini. Caranya duduk, membaca buku misteri di tangannya, aku seperti sedang becermin.
Tanganku terulur hendak menyentuh gadis kecil itu. Aku hendak bertanya. Namun, tertahan suara keras dari arah luar kamar.
“Kamu harus nurut!”
“Kamu kejam, Mas. Aku tidak akan melepaskan anakku!”
“Harus mau!”
“Tidak!”
Suara selanjutnya adalah barang-barang yang berjatuhan dan menimbulkan suara berdentang.
“Jangan kamu sentuh Mayang! Dia anak kita satu-satunya yang tersisa. Iblis kamu, Mas!”
“Kalau sudah tahu aku iblis, cepat serahkan anak itu sebelum kesabaranku habis!”
“Tidak akan! Cukup, Mas. Tindakan kamu ini sia-sia. Kamu tidak akan pernah kaya. Bukan begini, Mas!”
“Cukup! Aku bosan melarat!”
Kembali terdengar benda kaca pecah. Bukan satu dua, bukan cuma benda, tetapi juga teriakan. Entah apa yang dilakukan pria di luar hingga wanita itu berteriak histeris.
Setiap mendengar teriakan itu, si gadis kecil berlari dan masuk dalam koper, lalu bersembunyi di sana. Badannya yang mungil memungkinkan ia–aku saat itu–bersembunyi di sana beberapa saat.
“Aku butuh tumbal malam ini! Bawa anak itu sekarang!”
“Ti-tidak, Mas. Jangan!”
Suara Ibu melemah. Setelah pertengkaran reda, aku keluar dari koper, lalu duduk menjuntai sambil melanjutkan membaca buku misteri kegemaranku.
[Cerpen telah mengalami pengembangan, pernah diikutsertakan pada Tantangan Lokit 2, tahun 2018]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H