Mohon tunggu...
Rinda IsninaWK
Rinda IsninaWK Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa yang mencoba menulis

Enjoy it😉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Diceritakan Orang

20 April 2020   09:29 Diperbarui: 20 April 2020   09:28 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekarang  aku tahu, yang diceritakan orang-orang bukan hanya cerita. Sebenarnya itu adalah sebuah fakta.

"Ibu, memang benar ya rumah kosong di ujung sana itu angker?" Mitha bertanya ketika membantu ibunya di dapur.

"Hmm? Kata siapa?" Sang ibu menjawab sembari memasukan adonan kue ke oven.

"Kata Reika, dia bilang tahu dari ibunya,"

Sang ibu menatap Mitha dengan kening berkerut.

"Tidak usah didengar, itu hanya gosip," kemudian menasehati.

"Tapi penasaran ibu," Mitha masih kekeuh meminta penjelasan sang ibu.

"Penasaran tentang apa? Itu cuma cerita, bukan kebenarannya," setelahnya sang ibu berlalu tak acuh.

Mitha mengerucutkan bibirnya dan mendengus kesal.
.
.
Sore ini, sesuai kesepakatan mereka kemarin, Reika dan Mitha bertemu di taman komplek.

Mereka ingin observasi rumah kosong yang tadi Mitha ceritakan pada ibunya, rencananya begitu.

Tapi sayangnya, Reika sedang sakit jadi rencana mereka harus batal dan hanya duduk santai di taman.

"Sudah minum obat? Istirahat saja di rumah, kalau sudah sembuh baru main," Mitha menatap temannya yang tampak pucat.

"Sudah, habis ini pulang istirahat. Maaf ya karena aku sakit kita nggak jadi ke rumah kosong," Reika terlihat penuh sesal.

"Masih ada besok dan besoknya lagi, ya sudah..sekarang kita pulang saja. Mau kuantar ke rumah?" Mitha menawari.

Reika menggeleng lalu tersenyum.

"Rumah kita beda arah, toh juga rumahku dekat, nggak perlu diantar," Mitha mengangguk sebagai tanggapan.

"Baiklah, ayo pulang sekarang. Biar kamu cepat istirahat jadi cepat sembuh," mereka berdiri dan mulai berjalan ke arah rumah masing-masing.
.
.
Mitha sampai di rumah bertepatan dengan sang ayah yang baru saja pulang kerja.

"Ayah baru pulang?" Sang ayah menoleh menatap sang anak.

"Darimana? Tumben sore-sore keluyuran?" bukannya menjawab sang ayah justru bertanya.

"Taman komplek, bertemu Reika. Ayah..tahu tidak cerita tentang rumah kosong ujung sana itu?" Mitha dan keingintahuannya.

Sang ayah hanya menggeleng.

"Kenapa ingin tahu sekali sih, lebih baik belajar daripada cari hal aneh-aneh," sang ayah berakhir dengan menasehati.

Mitha cemberut, melangkahkan kakinya mendahului sang ayah untuk memasuki rumah. Ayah hanya terkekeh melihat kelakuan putrinya itu.
.
.
.
Makan malam terlaksana dengan cukup hening, Mitha dan kedua orang tuanya hanya sibuk mengunyah tanpa bersuara yang lain.

Baru setelah makanan telah habis dan piring telah kosong, percakapan mulai terjadi.

"Setelah ini belajar, jangan lupa," perkataan ayah membuat Mitha menoleh, menatapnya.

"Iya ayah, jika mengantuk aku akan tidur," Mitha terkekeh saat sang ayah memelototinya.

"Kemarikan piringnya, biar aku cucikan," setelah tawanya reda, Mitha beranjak dari kursinya, membawa serta piring orang tuanya untuk dicuci.

"Aku akan ke kamar, selamat malam ibu, ayah," Mitha berucap sembari mengecup pipi kedua orang tuanya.

Ibu dan ayah hanya tersenyum dan mengusap rambutnya sayang.

"Seharusnya jangan biarkan Mitha bermain dengan Reika," sang ayah mulai bersuara.

Ibu yang mendengar tersenyum kalem.

"Tidak apa, mereka hanya bermain saja,"

"Tapi mainnya aneh-aneh, itu tidak baik untuk perkembangan Mitha," sang ayah mulai bicara menggebu.

"Ayah masih sama, selalu khawatir berlebih pada Mitha. Ibu juga menjaganya ayah, tenang saja," ibu berucap sembari mengusap pelan lengan suaminya.

"Aku hanya ingin putriku baik-baik saja, tidak ingin dia ketakutan," Ayah kembali berkeluh kesah dan hanya ditanggapi dengan usapan ibu yang sekarang berpindah ke punggung lebarnya.
.
.
.
Hari terasa begitu cepat, rasanya jarak antara senin ke minggu layaknya hitungan detik, benar-benar tak terasa.

Reika juga sudah sembuh, jadi hari minggu ini mereka berdua berencana untuk pergi ke rumah kosong.

Dengan atribut layaknya seorang detektif, mereka sepakat bertemu di taman seperti tempo hari.

"Wah..wah, bagusnya jaketmu," Reika bertepuk tangan heboh menatap Mitha.

"Dasar norak, sudah..ayo berangkat," Mitha berjalan mendahului Reika.
.
.

"Wah! Ternyata rumahnya benar-benar besar, lebih besar jika dilihat sedekat ini!" Mitha terkagum-kagum.

Reika mengangguk mengiyakan. Menatap bangunan di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan.

" Ayo masuk," Mitha dengan semangat menyerukan ajakan.

"Kita lihat dulu sekitaran rumah ini, baru masuk, bagaimana?" Reika tidak mengiyakan tetapi memberikan saran.

Mitha tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk.

Mereka mulai melihat-lihat sekitar rumah dengan tingkat keingintahuan tinggi.

"Wah, indahnya mawar- mawar ini. Mereka terlihat sangat terawat, bukan begitu?" Reika tersenyum lalu mengangguk.

"Cantik, pemiliknya dulu pasti benar-benar menyukai mawar," Reika memandang mawar itu sendu.

Setelah berkeliling, mereka memutuskan untuk masuk.

"Wah, untuk ukuran rumah kosong, ini benar-benar rapi," Mitha kembali berujar kagum.

Reika hanya terdiam tapi matanya terus bergulir menatap semua hal yang ada di lantai dasar rumah itu.

"Benar, ini sangat rapi. Seseorang mungkin selalu datang merapikannya," Reika menatapi dengan cermat.

"Eh, ada figura foto," Mitha yang tertarik pada obyek tatapannya mendekat. Menatap dalam diam figura yang ia lihat.

"Kenapa..kenapa ada fotomu disini?"

Reika mendekat setelah mendengar Mitha berkata demikian. Ikut menatap figura yang ada.

"Aku terlihat bahagia di foto itu," setelah mengucapkan hal itu, Reika menatap Mitha dalam.

Dan entah mengapa, Mitha rasanya ketakutan. Tubuhnya tiba-tiba gemetar.

"Ja..jangan bilang rumah ini adalah milikmu, kau menakutiku Reika," dengan gagap Mitha bersuara.

"Bukan, ini terlalu mewah untuk jadi rumahku. Ini bukan rumahku, lupakan saja fotoku itu. Ayo lihat yang lain," Reika bahkan langsung berjalan menjauh setelah mengucapkan hal itu.

Mitha walau masih sedikit ketakutan, tetap melangkah mengikuti Reika.

Mereka sampai di lantai atas, menelusuri lorong dengan beberapa kamar berada di kanan dan kiri.

"Rasanya, aku seperti pernah kemari," Mitha melirik kamar-kamar yang diyakininya sebuah kamar.

Reika hanya terdiam sembari membuka sebuah pintu di ujung lorong.

"Kemarilah, kamar ini cukup luas untuk dikelilingi,"

Mitha menghampiri Reika, memasuki kamar yang dimaksud.

"Wah, ini benar-benar luas! kenapa setiap tempat di rumah ini benar-benar rapi?" Mitha tetap berkeliling di sela tanyanya yang menguap begitu saja.

"Sepertinya ini kamar utama," Mitha kembali berujar dengan dirinya yang mulai mengamati barang- barang disana.

"Ya..sepertinya begitu," Reika menyentuh setangkai mawar yang diawetkan dalam sebuah botol.

"Eh, ini sebuah lukisan. Tapi kenapa memajangnya terbalik?" Mitha menyentuh sebuah lukisan yang terpajang di samping almari. Cukup terpojok.

"Jangan dibalik, biarkan saja seperti itu," Reika berucap pelan setelahnya memberi kode pada Mitha untuk keluar dari sana.

"Pintu itu memiliki warna yang berbeda dari yang lain. Bagaimana jika kesana?" ajakan Mitha tak mendapat tanggapan dari Reika beberapa detik.

"Baiklah," jawaban singkat Reika setelah sebelumnya terdiam.

Mereka berjalan, menggapai pintu berwarna putih itu. Membukanya perlahan.

"Wah..kurasa ini kamar anak perempuan," Mitha berkomentar sesaat setelah memasuki kamar.

Reika terdiam, menatap sekitar sebelum akhirnya menekan sebuah pajangan kaca disana.

Mitha menoleh dan terkejut saat dinding di samping kaca mulai bergerak. Ada sebuah ruang tersembunyi disana.

"Wah..tempat ini menakjubkan," terkagum-kagum Mitha menatap ruang tersembunyi di depannya.

"Apakah masih belum ingat?" Reika bersuara.

Mitha menoleh dan menatapnya bingung.

"Bahkan setelah aku memperlihatkan ruangan ini?" Reika menatap tajam Mitha.

"Rei..jangan seperti ini. Kau membuatku takut,"

Tangan Reika terkepal, ia benar-benar kesal sekarang.

"Kau yang seharusnya jangan seperti ini! Kenapa masih berkeliaran bahkan membuat ibu ayah juga tidak tenang!"

"Istirahatlah di tempatmu dengan tenang, jangan menjadi bodoh hanya karena rasa bersalahmu bahkan saat kau tak lagi hidup di dunia ini!"

Dua kali Reika berteriak, membuat Mitha terdiam sebelum akhirnya tubuhnya mulai gemetar.

"Ap..apa maksudmu?!" Mitha bertanya dengan kedua tangan yang mulai menarik rambutnya sendiri.

" Aku memaafkanmu, jadi beristirahatlah dengan tenang. Ibu dan ayah juga sudah di sisimu, jadi tolong jangan buat mereka kesusahan," Reika berujar pelan.

"Argghh!" Mitha berteriak kesakitan.

"Kalian sudah meninggal, kamu, ibu dan ayah. Kalian semua telah pergi meninggalkanku sendiri," Reika mulai menangis.

"Kamu membunuh ayah dan ibu, setelahnya bunuh diri di ruangan ini, apa kamu masih tak ingat?" Reika kembali berbicara.

"Kamu sakit, kepribadian gandamu membuatmu menjadi seorang yang kejam dan tega membunuh orang tuamu sendiri,"

Mitha menatap Reika yang kini telah menangis tersedu.

"Ini rumah kita dulu, juga tempat dimana kenangan indah berubah menjadi kenangan kelam dalam semalam,"

Sekelebat ingatan muncul bagai kaset rusak. Mitha seperti melihat film yang terputar, perasaan menyesal dan kecewa memenuhi dirinya.

Ia mengingatnya..

Dirinya yang memegang pisau bak orang kesetanan menyakiti ibu dan ayahnya. Walau ia yakin itu dirinya yang lain, rasa sakit itu benar terasa.

Saat ia tersadar, hanya tubuh kaku ayah dan ibu yang penuh darah serta wajah penuh air mata sang kakak yang terlihat.

Ia ingat sekarang, Reika..ia adalah kakaknya. Orang yang selama ini bermain bersamanya adalah satu-satunya manusia hidup yang dapat melihatnya.

"Aku tidak bermaksud menyuruhmu mengakhiri hidup saat itu, hanya saja..dua tahun lalu aku benar-benar terguncang melihat ayah dan ibu dalam keadaan semengerikan itu,"

"Benar aku sempat membencimu, tapi sekarang, istirahatlah dengan tenang," Reika mengusap air matanya. Menatap Mitha yang kini hanya diam mematung.

Ia menatap dua jiwa yang berjalan perlahan ke arahnya.

"Kami tahu itu bukan dirimu yang sebenarnya, tidak apa-apa. Ibu dan ayah tidak marah padamu," sang ibu tersenyum lembut.

Ayah menatap Reika yang terdiam menatap keluarganya yang tak lagi memiliki raga.

"Anak ayah...jangan menangis, terima kasih karena telah memaafkan adikmu. Kami akan berpulang dengan tenang. Tetaplah kuat dan tegar, maaf ayah tidak dapat menjagamu lebih lama,"

Reika hanya mengangguk dan sekuat tenaga menahan air matanya.

"Hiduplah dengan baik anakku...ibu dan ayah sangat menyayangimu," sang ibu menatap sedih.

Reika hanya mengangguk. Tepat hari mengerikan itu, hari dimana dirinya menjadi seorang indigo karena rasa frustasi berlebih. Ia dapat melihat mereka yang tak kasat mata. Termasuk keluarganya yang telah tiada dua tahun lalu.

Mitha menatap sang kakak sendu, jadi benar apa yang mereka katakan selama ini.

Gosip di wilayah rumahnya. Rumah kosong ini angker, karena satu keluarga terbunuh di dalamnya. Dan pembunuhnya adalah dirinya sendiri. Mitha.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun