"Ada apa sih, Pak? Bapak jangan nakut-nakutin gitu dong!" resah Bu Kades yang langsung merinding sendiri.
"Bapak lihat Bu Ceri tadi ada di depan pintu, Bu. Seluruh badannya... berlumuran darah." lirih Pak Kades yang langsung membuat ketiganya terlonjak kaget.
"Apaan sih, Pak. Dia kan sudah meninggal. Jangan gitu lah." ucap Bu Kades tetap positif thinking walau dalam hatinya ikut merinding.
"Nggak, Bu. Bapa jelas-jelas melihatnya sendiri." sangkal Pak Kades kembali dengan penuh keyakinan.
"Nak Langit, bisa doain suami saya? Sepertinya, dia sedang berhalusinasi." pinta Bu Kades pada Gus Muda itu sambil menyodorkan botol air minum yang tersimpan di samping nakas.
"InsyaAllaah, Bu. Saya akan membacakan do'a ruqiyahnya ke dalam botol." ucap Langit yang langsung merealisasikan perkataanya dan segera merapal do'a ruqiyah yang sering ia rutinkan untuk dirinya sendiri setiap akan tidur.
"Istighfar, Pak. Mungkin benar itu Bu Ceri, tapi qorinnya. Ehm, apa dia bilang sesuatu padamu?" tanya Bu Kades penasaran. Sementara Bunga semakin merinding dan merapatkan tubuhnya ke samping Bu Kades, sedangkan Langit masih fokus membaca do'a ruqiyah.
"Iya, Bu. Dia bilang ingin meminta maaf pada Nak Bunga. Gitu..." jawab Pak Kades yang masih agak gemeteran.
"Ya Allah...." Bunga pun spontan merasa sedih, karena rupanya qorin Bu Ceri sampai bergentayangan seperti itu.
"Silahkan Pak, di minum dulu air do'anya." ucap Langit, mempersilahkan Pak Kades agar segera meminum air yang sudah ia do'akan.
"Terimakasih, Nak Langit." Pak Kades pun langsung meneguk air putih itu hingga tandas tak tersisa.