Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekadar Bicara atau Mengalami Spiritualitas?

4 Maret 2017   19:48 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:59 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I

Eliza memenangi perlombaan mengeja (spelling) mulai dari tingkat distrik sampai menjelang tingkat nasional. Perlombaan mengeja adalah salah satu tradisi masyarakat Amerika. Para peserta lomba diharuskan mengeja dengan tepat kata-kata yang diberikan oleh para juri. Perlombaan dilakukan secara rolling.Pemenangnya adalah yang mampu bertahan mengeja sampai akhir tanpa melakukan kesalahan. Eliza tampak selalu menikmati ketika ia harus mengeja kata-kata yang diberikan oleh para juri. 

Matanya tertutup kemudian di dalam imajinasinya, kata-kata yang semula berupa bunyi tersebut mewujud menjadi huruf-huruf yang bergerak, menari di sekitar kepalanya, dan bahkan bersuara. Sehingga Eliza tidak pernah menemui kesulitan ketika ia harus mengeja. Huruf-huruf yang menyusun kata yang sedang diejanya selalu membimbingnya agar bisa mengeja dengan tepat. Eliza mampu masuk kedalam kehidupankata-kata yang sedang ia eja.

Pada saat perlombaan tingkat nasional sedang dijalaninya, Eliza mengingat ucapan ayahnya bahwa huruf dan kata yang ada di dunia ini menyimpan atau memegang rahasia alam semesta. Di dalam bentuk dan bunyinya ia bisa melihat sesuatu di balik diri; sesuatu yang agung. Ayahnya pun berucap bahwa Eliza bisa berbicara kepada Tuhan dan sebaliknya, Tuhan berbicara kepadanya.

Ayahnya, Saul, adalah seorang profesor Kajian Agama-Agama (Religious Studies professor). Salah satu yang diajarkannya yaitu Tikkun Olam, pemahaman bahwa di dalam alam semesta ini, segala sesuatu yang rusak bisa kembali diperbaiki. Saul menjelaskan sebagai berikut: “Jadi, sebuah paradoks. Tuhan adalah segalanya, intisari yang sempurna, bercahaya. Tapi bahkan Tuhan ingin lebih untuk merasakan lebih, memberi. Maka Tuhan menciptakan sebuah kapal, sebuah kontainer yang bisa menerima hadiah dari cahaya murni Tuhan. Cahaya indahnya tersebut dicurahkan kepada kapal. Kapal itu, tentunya tidak bisa memuat ukuran dari cahaya ini, dan hancur. Cahaya itu menghancurkan kapal, dan menghamburkannya menjadi bagian kecil dalam ledakan besar (big bang) penciptaan. 

Sekarang tugas manusia adalah mencari dan mengumpulkan pecahan ini dan membuat kapal dunia kita ini utuh kembali. Orang Kabalis menyebut ini, perbaikan ini, sebagai Tikkun Olam (Memperbaiki Dunia). Kini, perbuatan baik apa pun, mementingkan orang lain, merupakan kebaikan yang dianggap sebagai Tikkun Olam. Ide yang luar biasa…bahwa kita bisa memperbaiki apa yang sudah hancur. Dalam kenyataannya, ini merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk mencoba memperbaiki kembali (Tikkun Olam). Di luar setiap bagian yang hancur tersebut Tuhan memberikan harapan.“ Berharap dan berbicara kepada Tuhan adalah kunci terbaik untuk melakukan Tikkun Olam.

Saul pun sedang terlibat kedalam sebuah riset disertasi mengenai cara untuk berbicara kepada Tuhan, sesuai dengan agama yang ia percayai, yaitu Yahudi. Saul menjelaskan kepada Eliza bahwa untuk berbicara kepada Tuhan bisa digunakan metode Kaballah, mistisisme Yahudi. Mistikusnya adalah Abraham Abulafia. Kemampuan Eliza dalam mengeja, merupakan salah satu daya tarik bagi Saul untuk memperkenalkan dan mempercobakan metode mistisisme yang sedang ditelitinya. 

Eliza yang masih berusia 11 tahun ternyata antusias dengan tawaran Saul. Di dalam sebuah ruangan tertutup Eliza mengikuti metode yang dikemukakan oleh Abulafia, yaitu dengan berkonsentrasi pada kata atau huruf agar bisa membuka pikiran untuk mencapai shefa atau jalan untuk dekat kepada Tuhan. Tradisi tersebut bisa dikomparasikan kedalam ritual-ritual agama seperti dzikir (ingat), atau Mantra agar mencapai kondisi tertentu, atau mendekati Tuhan.

Tikkun Olam,di dalam keluarga Saul Naumann menjadi salah satu isu sentral yang seringkali dibahas, bukan saja kepada Eliza yang masih berusia 11 tahun, tetapi kepada istri Saul, yaitu Miriam atau Mimi, dan putra Saul, Aaron. Saul, biasanya membicarakan Tikkun Olamkepada istrinya di saat mereka sedang berbicara berdua atau bahkan ketika sedang melakukan hubungan intim. Saul dan Miriam selalu mengulang-ulang Tikkum Olamdi dalam percakapan intim mereka. 

Hal tersebut dilakukan Saul untuk memberi pemahaman kepada Mimi bahwa di dunia ini manusia tidak sendirian, mereka bisa menghubungkan diri dengan orang lain, salah satunya adalah melalui hubungan di antara mereka berdua. Sedangkan Aaron, juga Eliza mendapatkan pemahaman mengenai Tikkun Olamketika mereka sedang menghampiri Saul di kelas, ketika Saul sedang memberi kuliah kepada mahasiswanya.

Cerita mengenai keluarga Saul di atas terdapat di dalam film yang berjudul Bee Season.Ceritanya menarik karena persoalan spiritualitas dikemukakan dengan cara yang unik, yaitu melalui persoalan mengeja, kemudian pada akhirnya, melalui Kaballah. Bee Seasonpun mengusung persoalan antara spiritualitas sebagai kualitas yang dibutuhkan oleh manusia, dan persoalan konflik kehidupan. Bee Seasonbisa menjadi salah satu contoh untuk pertanyaan, apakah spiritualitas merupakan pelarian dari manusia. Ataukah spiritualitas adalah hasil dari konflik yang dialami oleh manusia. 

Pertanyaan tersebut muncul dari alur yang terdapat di dalam Bee Season,ketika persoalan spiritualitas muncul ke permukaan pada saat semua anggota keluarga Saul mengalami stres yang memuncak akibat dari persoalan keluarga, yang tampak halus tapi sebenarnya membuat mereka tidak bahagia.

Persoalan keluarga terbuka ketika Eliza mulai terus menerus memenangi perlombaan mengeja. Perhatian Saul secara drastis beralih hanya kepada Eliza. Mimi, sang istri, yang wataknya cenderung diam dan bahkan kompulsif memperlihatkan gejala yang tidak sehat. Mimi, yang memiliki latar belakang kurang menyenangkan karena ayah dan ibunya tewas dalam kecelakaan mobil, seringkali keluyuran di luar rumah serta memasuki rumah-rumah orang lain untuk mengambil benda-benda yang ia inginkan. 

Benda-benda tersebut disusunnya menjadi gantungan panjang yang akan berbunyi dan berkilau ketika digerakkan oleh tangan. Mimi tidak pernah bisa berbicara banyak kepada anggota keluarganya, sehingga ia hanya bisa diam tertekan. Di bawah tekanan tersebut, sesuai dengan ucapan yang diajarkan oleh Saul, Mimi merindukan cahaya. Cahaya yang ia peroleh dari pendaran dan kilauan benda-benda yang dikoleksinya.

Sedangkan Aaron, diam-diam berusaha untuk mengalihkan kekecewaannya terhadap Saul, yang semakin tidak peduli kepadanya, dengan menjalani ritual-ritual agama yang berbeda. Ia mencoba mengikuti Misa, tetapi ia masih gelisah. Kemudian Aaron pun membaca literatur mengenai ajaran Hindu. Aaron secara mudah bisa masuk kedalam perkumpulan penganut Hindu dan mengikuti ritual mereka dengan menjadi (Hare Krishna). Setelah melakukan beberapa ritual Hindu, seperti Mantra,Aaron menjadi lebih tenang dan tak lagi terjebak ke dalam ritual yang kosong tanpa makna. Tapi seiring dengan itu, Aaron menyadari bahwa Saul adalah seorang ayah yang terlalu memaksakan kehendaknya kepada semua anggota keluarganya, yaitu kepada Mimi dan Eliza. Apalagi setelah Saul mengetahui Aaron mengikuti perkumpulan Hindu, sehingga Saul murka dan menyeretnya untuk keluar dari perkumpulan itu. Aaron semakin yakin bahwa dirinya, Mimi dan Eliza sedang dibersihkan otaknya oleh Saul.

Sementara itu, Eliza adalah satu-satunya anggota keluarga Saul yang menghadapi persoalan dengan kepala dingin. Ia menerima dan menikmati ajaran yang sedang diberikan oleh Saul kepada dirinya. Eliza bahkan ketagihan dalam melakukan ritual untuk mencapai Shefa.Sebelum pelombaan tingkat nasional dimulai, Eliza diam-diam mengikuti kelanjutan ritual yang diajarkan ayahnya sendirian. Hasilnya adalah ia menggelepar-gelepar dan pingsan. Tampaknya kata-kata yang ia ucapkan berulangkali tersebut telah membuatnya tak mampu mengontrol kesadaran dirinya. Ia bisa memasuki alam psikisnya dan memandang kehidupannya sendiri secara lebih jelas.

Sedangkan sang pewarta Tikkun Olam itu sendiri, yaitu Saul ternyata hanya mampu berbicara mengenai wacananya saja. Spiritualitas dan mistisisme yang ia kemukakan hanya berhenti pada pembicaraan saja. Seperti yang dikatakan oleh Mimi kepadanya ketika ia berada dalam perawatan rumah sakit, “Kau hanya mampu bicara dan bicara dan bicara dan bicara. Tetapi kata-katamu itu sebenarnya adalah kata-kata yang kosong. Itu semua tidak keluar dari hatimu, bukan?” Memang bila dibandingkan dengan keluarganya, Saul tidak pernah terjun langsung kedalam mistisisme tersebut kecuali sebagai dosen dan peneliti. 

Saul hanya larut dalam pembicaraan mengenai mistisisme yang ia agung-agungkan tanpa pernah mengalaminya sendiri. Bahkan Eliza-lah yang mengecapnya. Namun demikian, konflik yang terjadi di antara dirinya dan keluarganya mampu melemparkannya kedalam jalan untuk menuju spiritualitas yang bukan hanya di bibir saja. Bahkan Eliza tampak memiliki rencana terselubung dengan perlombaan mengejanya. Ia melihat bahwa Saul sedang terbuai dengan kemenangan-kemenangan yang diperolehnya, sehingga Saul malah mengabaikan kehangatan dan perhatian kepada keluarganya. Eliza tampak secara sengaja untuk kalah. 

Ketika ia sedang berada pada penentuan kemenangan, yaitu ketika ia harus mengeja kata “origami”, padahal kata tersebut sempat diberikan oleh ayahnya sebagai latihan mengeja sebelum perlombaan dimulai. Di dalam imajinasi Eliza muncul seekor burung yang terbuat dari kertas, origami, yang menunjukkannya untuk mengucapkan huruf demi huruf. Tetapi ketika satu huruf terakhir akan diucapkannya, yaitu huruf “i”, sementara burung di dalam imajinasinya sudah menunjukkan secara jelas huruf tersebut, Eliza malah mengucapkan huruf “Y”. sudah jelas pengucapan itu salah sehingga membuatnya kalah. 

Tetapi kekalahan tersebut adalah kebahagiaan Eliza terutama setelah melihat Saul yang kontan memeluk Aaron sambil menangis terluka karena kesalahan yang dilakukan Eliza. Mimi yang melihat kekalahan tersebut dari layar televisi pun merasa lega dan bahkan malah bangga terhadap Eliza. Kemenangan adalah kehancuran bagi diri Saul. Eliza telah berhasil mengajak ayahnya kepada kegagalan yang pada akhirnya meruntuhkan obsesinya yang membuatnya mengabaikan banyak hal, terutama keluarganya sendiri. 

Dalam hal ini, Saul mengajak Eliza untuk mengecap keindahan spiritualitas. Sedangkan Eliza-lah yang mengajak Saul untuk turut mengecap kegagalan tapi pada akhirnya mampu membuat Saul mengalami sesuatu yang lebih dalam. Sikap Eliza tersebut terinspirasi oleh kata-kata Aaron, “Kamu harus melupakan ayah karena ia hanya memanfaatkan kita.” Aaron pun menyadari bahwa ayahnya terbuai oleh kata-katanya sendiri. Dalam hal ini di dalam keluarga Saul memperlihatkan secara lengkap proses untuk mencapai spiritualitasnya, mulai dari pembicaraan hingga mengalaminya.

II

Apakah spiritualitas merupakan pelarian ketika manusia mengalami tekanan hidup? Ataukah hidup merupakan jalan untuk mencapai tingkatan spiritulitas lebih tinggi? Bagaimanapun, kehidupan yang dijalani oleh manusia akan menemui pasang surut. Tak masalah apakah kelihatannya sepele atau berat menurut orang lain. Tetapi kehidupan bagi setiap manusia tidak melulu stabil. Tokoh utama di dalam film Before Sunset,Jesse, menjawab pertanyaan seorang wartawan mengenai latar belakang pembuatan novel yang saat itu sedang diluncurkan: kita memang tidak sedang berada dalam kancah perang, atau kita juga tidak sedang dalam suasana percobaan nuklir, tetapi kehidupan bagi setiap pribadi merupakan sebuah tragedi.

Cara setiap manusia dalam menghadapi tragedi di dalam hidupnya tidaklah sama. Cara Mimi dalam berusaha untuk keluar dari konflik batinnya adalah salah satu cara yang unik sekaligus tidak bisa dibenarkan bila dilihat dari sudut pandang moral, karena ia telah mengambil benda-benda yang bukan miliknya. Tetapi niatnya tak bisa dipungkiri merupakan niat yang tulus, yaitu agar ia bisa memperoleh dan melihat cahaya, seperti yang sering dibicarakan oleh Saul. 

Cahaya yang disinyalir Saul sebagai metafor dipandang sebagai wujud oleh Mimi, sekaligus juga disinyalir Mimi sebagai puisi. Kerinduan seseorang terhadap sesuatu yang bersifat abstrak bisa dilekatkan kedalam wujud-wujud tertentu. Sebagaimana juga Aaron yang melekatkan kerinduannya kedalam ritual Hindu yang ia anggap mempunyai isi atau makna untuk hatinya. Sedangkan bagi Eliza, huruf dan kata adalah jalan untuk berbicara kepada Tuhan. Cahaya, makna ritual, dan Tuhan memiliki kesamaan esensi, yaitu, Yang Tinggi dan Agung.

Dari sisi Eliza, kita bisa mendapatkan jawaban sementara untuk pertanyaan bahwa spiritualitas bukan merupakan pelarian, karena bagi Eliza apa yang diajarkan oleh ayahnya bukanlah sesuatu yang ia rasakan sebagai paksaan, atau merupakan pencucian otak seperti anggapan Aaron. Eliza memang menginginkan untuk berbicara kepada Tuhan, meskipun ketika konflik keluarga memuncak, Eliza tampak semakin tertekan dan ingin berbicara kepada Tuhan.

Dalam berbagai cerita yang ada, persoalan atau konflik yang dialami oleh seseorang bisa menjadi penghantar dirinya ke pemahaman akan diri yang lebih tinggi secara bertahap. Susanna Tamaro, di dalam novelnya yang berjudul Pergilah Kemana Angin Membawamu menulis: Siapapun yang meninggalkan usia remaja tanpa terluka tak pernah menjadi orang dewasa yang sempurna. Luka, konflik atau masalah dalam hidup seringkali dipandang secara berbeda oleh yang mengalaminya.

Tak sedikit yang menganggap bahwa kesemua hal tersebut adalah bagian dari kegagalan dalam hidup yang tak menghasilkan apa-apa selain luka itu sendiri. Atau dianggap sebagai nasib sial yang sedang mampir di dalam kehidupannya. Dalam keluarga, tak jarang terdapat orangtua yang sangat menjaga anaknya agar tidak terjatuh kedalam konflik yang menurut mereka akan membuat anaknya jatuh kedalam luka tak terobati, sehingga mereka menjadi sangat protektif dan steril dalam membesarkan anaknya. Luka karena kehidupan, merujuk pada pernyataan Susanna Tamaro, adalah sebagai jalan untuk mendewasakan diri, memahami kehidupan itu sendiri agar ia secara individu bisa lebih kuat.

Siddharta Gautama adalah salah satu contoh yang menarik dari overprotectingorangtuanya. Ia dijaga di dalam istana yang dikelilingi oleh dinding-dinding yang tinggi, sehingga ia tak bisa melihat dunia di sekitarnya. Dia hanya dikelilingi oleh orang-orang muda, sehat lagi bahagia. Rupanya hal itu tidak bisa membuat Siddharta bisa berdiam di dalam istana yang tertutup seperti itu. 

Maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk bisa keluar istana melihat kehidupan di luar sana. Hasilnya adalah lukaringan yang ada di dalam pikirannya, yaitu bahwa betapa kehidupan tak seperti yang selama ini dibayangkannya. Dengan melihat kondisi penduduk di luar istananya, Siddharta mulai belajar bahwa penderitaan akan kemiskinan itu ada. Kemudian Siddharta pun semakin tersedot kedalam wajah asli kehidupan yang keras, tapi membuatnya dirinya tertempa dan kuat. Ia mencari dan terus mencari jawaban atas haus spiritual yang dideritanya ketika berada di dalam kungkungan istana.

Pandangan terhadap masalah kehidupan memang banyak termaktub di dalam cerita-cerita yang ada di sekitar kita. Di dalam roman legendaris yang ditulis Margaret Mitchell, Gone With The Wind, terdapat cerita yang dengan bagus memperlihatkan perubahan watak Scarlett. Tempaan demi tempaan hidup harus dialaminya seiring dengan pecahnya perang saudara di Amerika. 

Situasi perang tak bisa ia hindarkan, tetapi untuk terpuruk kedalam kesedihan dan kemenyesalan diri pun sama tak menguntungkannya, sehingga Scarlett dengan sekian kekurangan watak yang dimilikinya, seperti egois, manja, dan keras kepala, sedikit demi sedikit tertempa. Maka sosoknya pun menjadi berubah. Perubahan itu sendiri tidaklah harus drastis terjadi, karena persoalan di dalam diri seseorang demikian kompleks, sehingga secara perlahan pula ia harus berusaha untuk menata diri seiring dengan timbulnya kekacauan yang menghampirinya.

Di dalam resensi buku Kimyayang ditulis oleh Himawijaya, terdapat kalimat yang pas berkaitan dengan proses penempaan diri seseorang dan spiritualitasnya: “Transformasi batin demi pengenalan akan Dia yang Mahaindah hanya terjadi pada hati yang terbolak-balik menerima tempaan-Nya, mengalami fase-fase dualitas sampai akhirnya bisa lepas darinya, dan tinggal satu rasa saja yang ada, yaitu, mensyukuri apa yang hadir di hadapannya. Di dalam reruntuhan hatilah terdapat harta karun yang terkubur, karena dalam hati yang berdarah-darahlah akan kau temukan Tuhan.” Masalah, apabila dipandang dengan benar, dalam artian tidak dipandang sebagai sebuah kegagalan dalam hidup, akan berubah menjadi pengalaman yang teramat berharga, bahkan menjadi jalan untuk mencapai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Eliza, yaitu untuk berbicara dengan Tuhan.

III

Martin Heidegger, seorang filsuf terkemuka pada abad 20 ini pernah mengatakan: “Jika badai menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat.” Badai menimpa, salju turun adalah indikasi bahwa kehidupan sedang terganggu atau tertimpa bencana. Dalam pandangan masyarakat umum, hadirnya bencana, atau masalah berarti banyak hal tak bisa berjalan dengan semestinya. Misalnya bekerja seperti biasa, makan seperti hari-hari biasanya, dan melakukan aktivitas lainnya sewajarnya. Datangnya bencana atau konflik kehidupan yang keras memang akan memungkinkan terhentinya sebagian besar aktivitas rutin. 

Tetapi bagi Heidegger, luka dan bencana atas hidup merupakan jalan untuk mencapai sesuatu yang lebih dalam. Pengalaman akan hal tersebut pun secara nyata sudah dialami oleh Heidegger. Pada saat perang dunia, ia pun terkena wajib militer. Pengalaman perang adalah masa-masa krisis yang tidak mudah untuk dilalui. Perang mengubah seseorang menjadi kerumunan yang kehilangan orientasi, misalnya pengangguran meningkat sehingga harga manusia semakin murah, dan lebih daripada itu, militerisasi Jerman mewajibkan warga negaranya untuk wajib militer. Heidegger sungguh-sungguh merasakan pengalaman perang ini karena selama 1915-1918 ia terkena wajib militer. 

Di medan laga, seseorang bukanlah apa-apa; seolah terlempar tanpa tahu darimana asal dan ke mana tujuannya. Pengalaman negatif akan kecemasan dan keterlemparan inilah yang dianggap paling nyata oleh Heidegger, yang lalu menempatkannya sebagai motif utama filsafatnya.[1] Pengalaman semasa wajib militer ini membuat Heidegger mencapai filsafatnya. Dari hal tersebut, bencana bisa jadi merupakan jalan untuk mencapai pemahaman akan hidup secara lebih mendalam.

Seorang filsuf lainnya, yang juga terinspirasi oleh Heidegger adalah Jean Paul Sartre. Ia pun sama-sama mengalami peperangan. Sartre, seperti halnya Heidegger, menelurkan sebuah karya filsafat yang menjadi inspirasi banyak orang pada zamannya. Dengan kata lain peristiwa yang buruk atau bencana menghantarkan seseorang kepada tingkat kehidupan yang lebih dalam. Perspektif seperti ini, kiranya lebih bermanfaat dibandingkan terpuruk kedalam konflik serta menjadi putus asa, meskipun pasti akan sangat sulit untuk mencapainya.

Heidegger, telah memberikan semacam pemikiran yang bisa digunakan untuk menyikapi kesulitan di dalam hidup. Metode tersebut bernama fenomenologi. Fenomenologi adalah metode untuk melihat fenomen secara apa adanya, secara ontologis. Fenomenologi sebelumnya dirumuskan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Kata ‘fenomenologi’ berarti ilmu (logos)tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon).Dalam bahasa Yunani phanesthaiberarti ‘yang menampakkan diri’, seperti benda, perasaan, peristiwa, pikiran, lembaga sosial dan lain sebagainya. Segala yang terlihat oleh kesadaran kita bisa disebut fenomen.[2]

Seperti juga yang dikatakan oleh Heidegger, bahwasanya ketika badai menimpa pondok, dan salju turun, maka itulah momen yang tepat untuk berfilsafat. Konflik di dalam hidup adalah jalan yang tepat untuk keluar dari rutinitas yang seringkali menutup manusia dari perhatian terhadap dirinya sendiri atau bahkan orang-orang terdekat, seperti keluarga, seperti yang dialami oleh Saul. Tanpa konflik yang muncul di dalam keluarga mereka, mungkin mereka akan tenang-tenang saja sampai ajal menjemput. Konflik menjadi sangat berharga apabila disikapi untuk membaca diri sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa yang seringkali ditemui, misalnya, ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Pengalaman tersebut pun pernah dialami oleh penulis besar seperti Paulo Coelho. 

Semula ia adalah pejabat eksekutif pada perusahaan rekaman multinasional terkemuka. Pada suatu hari, ketika ia justru sedang menyangka akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, tiba-tiba harus mati kutu karena ternyata ia malah dipecat. Pemecatan itu pun tak pernah diketahui penyebabnya. Setelah kehilangan pekerjaan, Paulo mulai memikirkan kembali apa yang sebenarnya ingin ia lakukan di dalam hidupnya. Ia pun berkata, “Ketika kita punya sebuah keinginan, alam semesta pun bergotong royong untuk mewujudkannya.” Paulo langsung melaksanakan keinginannya itu. Kita pun bisa melihat kepiawaiannya dalam menulis novel-novel yang bertema spiritual. Momen ketika kehilangan pekerjaan dijadikan momen yang berharga untuk meneliti diri secara lebih dalam, melihat keinginan yang paling tulus untuk diri.

Seperti halnya ketika keluarga Saul yang sama-sama tertarik pada ritual keagamaan, untuk mendekati Tuhan. Tuhan tampaknya hanya bisa dicapai ketika kehidupan telah menyedot dan menempa diri untuk merasakan kebuntuan. Setiap kejatuhan merupakan momen paling tepat untuk mengenal kehidupan secara lebih dalam, membiarkannya memperlihatkan fenomennya. Kesulitan seseorang untuk memahami dan menerima beban berat di pundaknya adalah karena ia memiliki logika kausalitas. 

Misalnya ketika seseorang memutuskan untuk menikah maka ia berharap akan mendapatkan keturunan. Tetapi ketika ternyata keturunan itu sulit untuk diperoleh, maka ia harus siap-siap untuk mengubah logikanya, bahwasanya mendapatkan keturunan bukanlah takdir setiap manusia yang menikah. Apalagi setelah ia melakukan banyak pengobatan agar memiliki anak, namun tak berhasil juga. Hampir setiap hal yang ada di dalam pikiran manusia merupakan hubungan timbal balik kausalitas. Misalnya, seseorang yang telah mati-matian merawat anaknya, tetapi ketika anaknya beranjak dewasa, malah menjadi anak yang tak berbakti. Ia pun harus bisa menerima bahwa tidak setiap sebab mendapatkan akibat yang setimbang.

Pendeknya, kehidupan setiap orang merupakan sarana yang paling dekat untuk mempelajari dan membaca diri, karena yang mengetahui dirinya secara utuh bukanlah psikiater, ustadz, atau pastor. Seperti juga yang dikatakan oleh Saul: Tikkun Olam; sesuatu yang hancur bisa kembali menjadi baik-baik saja. 

Konflik ataupun beban hidup mungkin pada awalnya begitu meluluhlantakan. Tetapi dengan harapan, beban tersebut mampu menjadi sesuatu yang sangat berarti untuk yang mengalami dan menanggungnya. Seperti analogi mengenai cahaya putih yang “dirusak” kesimetriannya tatkala dipantulkan kedalam prisma segitiga. Cahaya putih itu menjadi terurai, tidak utuh, pecah. Ternyata dari ketidakutuhan tersebut tampak keindahan warna-warni yang kaya. Kerusakan pada akhirnya tak melulu sebagai kegagalan total yang tak termaafkan. Namun ia adalah sarana untuk mengurai dan melihat warna-warni kehidupan yang indah, untuk melihat fenomen secara lebih jujur, terbuka.[]

[1] Heidegger dan Mistik Keseharian; Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, F. Budi Hardiman, Penerbit KPG, Cetakan Pertama, September 2003, hlm. 16.

[2] Ibid., hlm. 21

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun