Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekadar Bicara atau Mengalami Spiritualitas?

4 Maret 2017   19:48 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:59 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah spiritualitas merupakan pelarian ketika manusia mengalami tekanan hidup? Ataukah hidup merupakan jalan untuk mencapai tingkatan spiritulitas lebih tinggi? Bagaimanapun, kehidupan yang dijalani oleh manusia akan menemui pasang surut. Tak masalah apakah kelihatannya sepele atau berat menurut orang lain. Tetapi kehidupan bagi setiap manusia tidak melulu stabil. Tokoh utama di dalam film Before Sunset,Jesse, menjawab pertanyaan seorang wartawan mengenai latar belakang pembuatan novel yang saat itu sedang diluncurkan: kita memang tidak sedang berada dalam kancah perang, atau kita juga tidak sedang dalam suasana percobaan nuklir, tetapi kehidupan bagi setiap pribadi merupakan sebuah tragedi.

Cara setiap manusia dalam menghadapi tragedi di dalam hidupnya tidaklah sama. Cara Mimi dalam berusaha untuk keluar dari konflik batinnya adalah salah satu cara yang unik sekaligus tidak bisa dibenarkan bila dilihat dari sudut pandang moral, karena ia telah mengambil benda-benda yang bukan miliknya. Tetapi niatnya tak bisa dipungkiri merupakan niat yang tulus, yaitu agar ia bisa memperoleh dan melihat cahaya, seperti yang sering dibicarakan oleh Saul. 

Cahaya yang disinyalir Saul sebagai metafor dipandang sebagai wujud oleh Mimi, sekaligus juga disinyalir Mimi sebagai puisi. Kerinduan seseorang terhadap sesuatu yang bersifat abstrak bisa dilekatkan kedalam wujud-wujud tertentu. Sebagaimana juga Aaron yang melekatkan kerinduannya kedalam ritual Hindu yang ia anggap mempunyai isi atau makna untuk hatinya. Sedangkan bagi Eliza, huruf dan kata adalah jalan untuk berbicara kepada Tuhan. Cahaya, makna ritual, dan Tuhan memiliki kesamaan esensi, yaitu, Yang Tinggi dan Agung.

Dari sisi Eliza, kita bisa mendapatkan jawaban sementara untuk pertanyaan bahwa spiritualitas bukan merupakan pelarian, karena bagi Eliza apa yang diajarkan oleh ayahnya bukanlah sesuatu yang ia rasakan sebagai paksaan, atau merupakan pencucian otak seperti anggapan Aaron. Eliza memang menginginkan untuk berbicara kepada Tuhan, meskipun ketika konflik keluarga memuncak, Eliza tampak semakin tertekan dan ingin berbicara kepada Tuhan.

Dalam berbagai cerita yang ada, persoalan atau konflik yang dialami oleh seseorang bisa menjadi penghantar dirinya ke pemahaman akan diri yang lebih tinggi secara bertahap. Susanna Tamaro, di dalam novelnya yang berjudul Pergilah Kemana Angin Membawamu menulis: Siapapun yang meninggalkan usia remaja tanpa terluka tak pernah menjadi orang dewasa yang sempurna. Luka, konflik atau masalah dalam hidup seringkali dipandang secara berbeda oleh yang mengalaminya.

Tak sedikit yang menganggap bahwa kesemua hal tersebut adalah bagian dari kegagalan dalam hidup yang tak menghasilkan apa-apa selain luka itu sendiri. Atau dianggap sebagai nasib sial yang sedang mampir di dalam kehidupannya. Dalam keluarga, tak jarang terdapat orangtua yang sangat menjaga anaknya agar tidak terjatuh kedalam konflik yang menurut mereka akan membuat anaknya jatuh kedalam luka tak terobati, sehingga mereka menjadi sangat protektif dan steril dalam membesarkan anaknya. Luka karena kehidupan, merujuk pada pernyataan Susanna Tamaro, adalah sebagai jalan untuk mendewasakan diri, memahami kehidupan itu sendiri agar ia secara individu bisa lebih kuat.

Siddharta Gautama adalah salah satu contoh yang menarik dari overprotectingorangtuanya. Ia dijaga di dalam istana yang dikelilingi oleh dinding-dinding yang tinggi, sehingga ia tak bisa melihat dunia di sekitarnya. Dia hanya dikelilingi oleh orang-orang muda, sehat lagi bahagia. Rupanya hal itu tidak bisa membuat Siddharta bisa berdiam di dalam istana yang tertutup seperti itu. 

Maka ia pun meminta kepada ayahnya untuk bisa keluar istana melihat kehidupan di luar sana. Hasilnya adalah lukaringan yang ada di dalam pikirannya, yaitu bahwa betapa kehidupan tak seperti yang selama ini dibayangkannya. Dengan melihat kondisi penduduk di luar istananya, Siddharta mulai belajar bahwa penderitaan akan kemiskinan itu ada. Kemudian Siddharta pun semakin tersedot kedalam wajah asli kehidupan yang keras, tapi membuatnya dirinya tertempa dan kuat. Ia mencari dan terus mencari jawaban atas haus spiritual yang dideritanya ketika berada di dalam kungkungan istana.

Pandangan terhadap masalah kehidupan memang banyak termaktub di dalam cerita-cerita yang ada di sekitar kita. Di dalam roman legendaris yang ditulis Margaret Mitchell, Gone With The Wind, terdapat cerita yang dengan bagus memperlihatkan perubahan watak Scarlett. Tempaan demi tempaan hidup harus dialaminya seiring dengan pecahnya perang saudara di Amerika. 

Situasi perang tak bisa ia hindarkan, tetapi untuk terpuruk kedalam kesedihan dan kemenyesalan diri pun sama tak menguntungkannya, sehingga Scarlett dengan sekian kekurangan watak yang dimilikinya, seperti egois, manja, dan keras kepala, sedikit demi sedikit tertempa. Maka sosoknya pun menjadi berubah. Perubahan itu sendiri tidaklah harus drastis terjadi, karena persoalan di dalam diri seseorang demikian kompleks, sehingga secara perlahan pula ia harus berusaha untuk menata diri seiring dengan timbulnya kekacauan yang menghampirinya.

Di dalam resensi buku Kimyayang ditulis oleh Himawijaya, terdapat kalimat yang pas berkaitan dengan proses penempaan diri seseorang dan spiritualitasnya: “Transformasi batin demi pengenalan akan Dia yang Mahaindah hanya terjadi pada hati yang terbolak-balik menerima tempaan-Nya, mengalami fase-fase dualitas sampai akhirnya bisa lepas darinya, dan tinggal satu rasa saja yang ada, yaitu, mensyukuri apa yang hadir di hadapannya. Di dalam reruntuhan hatilah terdapat harta karun yang terkubur, karena dalam hati yang berdarah-darahlah akan kau temukan Tuhan.” Masalah, apabila dipandang dengan benar, dalam artian tidak dipandang sebagai sebuah kegagalan dalam hidup, akan berubah menjadi pengalaman yang teramat berharga, bahkan menjadi jalan untuk mencapai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh Eliza, yaitu untuk berbicara dengan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun