Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekadar Bicara atau Mengalami Spiritualitas?

4 Maret 2017   19:48 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:59 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

III

Martin Heidegger, seorang filsuf terkemuka pada abad 20 ini pernah mengatakan: “Jika badai menimpa pondok itu dan salju turun, itulah saat yang tepat untuk berfilsafat.” Badai menimpa, salju turun adalah indikasi bahwa kehidupan sedang terganggu atau tertimpa bencana. Dalam pandangan masyarakat umum, hadirnya bencana, atau masalah berarti banyak hal tak bisa berjalan dengan semestinya. Misalnya bekerja seperti biasa, makan seperti hari-hari biasanya, dan melakukan aktivitas lainnya sewajarnya. Datangnya bencana atau konflik kehidupan yang keras memang akan memungkinkan terhentinya sebagian besar aktivitas rutin. 

Tetapi bagi Heidegger, luka dan bencana atas hidup merupakan jalan untuk mencapai sesuatu yang lebih dalam. Pengalaman akan hal tersebut pun secara nyata sudah dialami oleh Heidegger. Pada saat perang dunia, ia pun terkena wajib militer. Pengalaman perang adalah masa-masa krisis yang tidak mudah untuk dilalui. Perang mengubah seseorang menjadi kerumunan yang kehilangan orientasi, misalnya pengangguran meningkat sehingga harga manusia semakin murah, dan lebih daripada itu, militerisasi Jerman mewajibkan warga negaranya untuk wajib militer. Heidegger sungguh-sungguh merasakan pengalaman perang ini karena selama 1915-1918 ia terkena wajib militer. 

Di medan laga, seseorang bukanlah apa-apa; seolah terlempar tanpa tahu darimana asal dan ke mana tujuannya. Pengalaman negatif akan kecemasan dan keterlemparan inilah yang dianggap paling nyata oleh Heidegger, yang lalu menempatkannya sebagai motif utama filsafatnya.[1] Pengalaman semasa wajib militer ini membuat Heidegger mencapai filsafatnya. Dari hal tersebut, bencana bisa jadi merupakan jalan untuk mencapai pemahaman akan hidup secara lebih mendalam.

Seorang filsuf lainnya, yang juga terinspirasi oleh Heidegger adalah Jean Paul Sartre. Ia pun sama-sama mengalami peperangan. Sartre, seperti halnya Heidegger, menelurkan sebuah karya filsafat yang menjadi inspirasi banyak orang pada zamannya. Dengan kata lain peristiwa yang buruk atau bencana menghantarkan seseorang kepada tingkat kehidupan yang lebih dalam. Perspektif seperti ini, kiranya lebih bermanfaat dibandingkan terpuruk kedalam konflik serta menjadi putus asa, meskipun pasti akan sangat sulit untuk mencapainya.

Heidegger, telah memberikan semacam pemikiran yang bisa digunakan untuk menyikapi kesulitan di dalam hidup. Metode tersebut bernama fenomenologi. Fenomenologi adalah metode untuk melihat fenomen secara apa adanya, secara ontologis. Fenomenologi sebelumnya dirumuskan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Kata ‘fenomenologi’ berarti ilmu (logos)tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon).Dalam bahasa Yunani phanesthaiberarti ‘yang menampakkan diri’, seperti benda, perasaan, peristiwa, pikiran, lembaga sosial dan lain sebagainya. Segala yang terlihat oleh kesadaran kita bisa disebut fenomen.[2]

Seperti juga yang dikatakan oleh Heidegger, bahwasanya ketika badai menimpa pondok, dan salju turun, maka itulah momen yang tepat untuk berfilsafat. Konflik di dalam hidup adalah jalan yang tepat untuk keluar dari rutinitas yang seringkali menutup manusia dari perhatian terhadap dirinya sendiri atau bahkan orang-orang terdekat, seperti keluarga, seperti yang dialami oleh Saul. Tanpa konflik yang muncul di dalam keluarga mereka, mungkin mereka akan tenang-tenang saja sampai ajal menjemput. Konflik menjadi sangat berharga apabila disikapi untuk membaca diri sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, peristiwa yang seringkali ditemui, misalnya, ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Pengalaman tersebut pun pernah dialami oleh penulis besar seperti Paulo Coelho. 

Semula ia adalah pejabat eksekutif pada perusahaan rekaman multinasional terkemuka. Pada suatu hari, ketika ia justru sedang menyangka akan mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, tiba-tiba harus mati kutu karena ternyata ia malah dipecat. Pemecatan itu pun tak pernah diketahui penyebabnya. Setelah kehilangan pekerjaan, Paulo mulai memikirkan kembali apa yang sebenarnya ingin ia lakukan di dalam hidupnya. Ia pun berkata, “Ketika kita punya sebuah keinginan, alam semesta pun bergotong royong untuk mewujudkannya.” Paulo langsung melaksanakan keinginannya itu. Kita pun bisa melihat kepiawaiannya dalam menulis novel-novel yang bertema spiritual. Momen ketika kehilangan pekerjaan dijadikan momen yang berharga untuk meneliti diri secara lebih dalam, melihat keinginan yang paling tulus untuk diri.

Seperti halnya ketika keluarga Saul yang sama-sama tertarik pada ritual keagamaan, untuk mendekati Tuhan. Tuhan tampaknya hanya bisa dicapai ketika kehidupan telah menyedot dan menempa diri untuk merasakan kebuntuan. Setiap kejatuhan merupakan momen paling tepat untuk mengenal kehidupan secara lebih dalam, membiarkannya memperlihatkan fenomennya. Kesulitan seseorang untuk memahami dan menerima beban berat di pundaknya adalah karena ia memiliki logika kausalitas. 

Misalnya ketika seseorang memutuskan untuk menikah maka ia berharap akan mendapatkan keturunan. Tetapi ketika ternyata keturunan itu sulit untuk diperoleh, maka ia harus siap-siap untuk mengubah logikanya, bahwasanya mendapatkan keturunan bukanlah takdir setiap manusia yang menikah. Apalagi setelah ia melakukan banyak pengobatan agar memiliki anak, namun tak berhasil juga. Hampir setiap hal yang ada di dalam pikiran manusia merupakan hubungan timbal balik kausalitas. Misalnya, seseorang yang telah mati-matian merawat anaknya, tetapi ketika anaknya beranjak dewasa, malah menjadi anak yang tak berbakti. Ia pun harus bisa menerima bahwa tidak setiap sebab mendapatkan akibat yang setimbang.

Pendeknya, kehidupan setiap orang merupakan sarana yang paling dekat untuk mempelajari dan membaca diri, karena yang mengetahui dirinya secara utuh bukanlah psikiater, ustadz, atau pastor. Seperti juga yang dikatakan oleh Saul: Tikkun Olam; sesuatu yang hancur bisa kembali menjadi baik-baik saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun