Mohon tunggu...
Rimas Kautsar
Rimas Kautsar Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bismillah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Prosedur Dan Standar Pembuktian Dalam Non Conviction Base Asset Forfeiture Di Indonesia

6 September 2015   17:29 Diperbarui: 6 September 2015   17:29 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Analisis Prosedur Dan Standar Pembuktian Dalam Non Conviction Base Asset Forfeiture Di Indonesia

 

           Dalam sistem hukum Indonesia Non Conviction Base Asset Forfeiture (penyitaan aset tanpa pemindahan) yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,[1] meskipun demikian, pelaksanaan norma-norma dalam UNCAC belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik karena belum ada instrumen undang-undang yang menunjang pelaksanaannya. Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dan naskah akademiknya sudah ada sejak tahun 2012,[2] namun sampai dengan saat ini RUU tersebut masih dalam proses pembahasan di DPR.[3] Meskipun demikian, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Latar belakang MA menerbitkan PERMA No. 1/2013 adalah MA berpendapat terdapat kekosongan hukum acara untuk pelaksanaan pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sehingga perlu dibentuk Peraturan mahkamah Agung yang mengatur mengenai hukum acara penanganan harta kekayaan, sedangkan di sisi lain MA berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum dalam jalannya peradilan.[4]

 

Ruang Lingkup

 

          Di dalam PERMA No. 1/2013 diatur mengenai prosedur dan standar pembuktian NCB, di dalam PERMA No. 1/2013 perampasan atau penyitaan aset merupakan suatu pokok perkara bukan merupakan suatu upaya paksa atau hukuman tambahan yang dijatuhkan di dalam putusan pidana. PERMA No. 1/2013 ruang lingkupnya berlaku terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik  dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.[5] Meskipun terkesan ada pembatasan mengenai konsep NCB Asset Forfeiture dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu hanya terbatas kepada tindak pidana pencucian uang, namun perlu diingat bahwa predicate crime dari tindak pidana pencucian uang setidaknya berjumlah 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana,[6] sehingga meliliki sifat yang lentur dalam penerapannya yang bisa menjangkau aset hasil tindak pidana asal (predicate crime) sepanjang dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang. Pembatasan lain dalam konsep NCB Asset Forfeiture yang diterapkan saat ini adalah permohonan penanganan harta kekayaan hanya bisa dilakukan oleh Penyidik terhadap aset hasil tindak kejahatan dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan,[7] sedangkan kegunaan dan manfaat perampasan aset NCB memiliki lingkup yang lebih luas dari itu.[8]

              Oleh karena dasar dari NCB Asset Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1/2013 adalah undang-undang tindak pidana pencucian uang, maka Penyidik sebagaimana dimaksud dalam PERMA No. 1/2013 adalah merujuk pada ketentuan mengenai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang[9], yang didalam penjelasan Pasal 74 disebutkan yaitu antara lain:

  1. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Penyidik Kejaksaan;
  3. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
  4. Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN);
  5. Penyidik Direktorat Jenderal Pajak;
  6. Penyidik Direktorat Jenderal Bea Cukai.

 

Prosedur Permohonan, Kewenangan Mengadili, dan Putusan

 

           Dalam PERMA No. 1/2013 terdapat tiga tahapan, yaitu, pertama, tahap Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. Kedua, tahap Pengumuman Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. Ketiga, tahap Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan.

Prosedur pengajuan permohonan penanganan harta kekayaan, adalah sebagai berikut:

  1. Permohonan diajukan oleh penyidik harus memuat:[10]
  2. Nama dan jenis harta kekayaan;
  3. Jumlah harta kekayaan;
  4. Tempat, hari, dan tanggal penyitaan;
  5. Uraian singkat yang memuat alasan diajukannya permohonan penanganan harta kekayaan.
  6. Permohonan diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Penyidik yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.[11]
  7. Permohonan yang diajukan dilengkapi dengan:[12]
  8. Berita acara penghentian sementara seluruh atau sebagian transaksi terkait harta kekayaan yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana atas permintaan PPATK;
  9. Berkas perkara hasil penyidikan; dan
  10. Berita acara pencarian tersangka.

 

Di tahap Pengadilan sebelum pemeriksaan permohonan penanganan harta kekayaan, dapat dijabarkan prosedur sebagai berikut:

  1. Sebelum pemeriksaan permohonan penanganan harta kekayaan, Ketua Pengadilan negeri wajib melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan penanganan harta kekayaan.[13]
  2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan kepada seorang Hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan permohonan penanganan harta kekayaan.[14]
  3. Dalam hal permohonan penanganan harta kekayaan belum memenuhi ketentuan PERMA, Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang mendapat delegasi kewenangan wajib memberi petunjuk kepada Penyidik untuk memperbaiki dan melengkapi permohonan penanganan harta kekayaan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak petunjuk diterima oleh Penyidik.[15]
  4. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak petunjuk diterima oleh Penyidik, Penyidik belum melengkapi permohonan penanganan harta kekayaan, Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim yang menerima delegasi wewenang mengembalikan permohonan penanganan harta kekayaan kepada Penyidik.[16]
  5. Terhadap permohonan yang dikembalikan, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja Penyidik wajib melengkapi dan menympaikan kembali permohonan penanganan harta kekayaan.[17]

 

Kewenangan mengadili pengadilan untuk mengadili permohonan penanganan harta kekayaan dalam PERMA No. 1/2013, adalah sebagai berikut:[18]

  1. Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan harta kekayaan.
  2. Apabila terdapat beberapa harta kekayaan yang dimohonkan untuk dimintakan penanganan harta kekayaan dalam daerah hukum beberapa Pengadilan Negeri, Penyidik dapat memilih salah satu dari Pengadilan Negeri tersebut untuk mengajukan permohonan penanganan harta kekayaan.   
  3. Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan suatu Pengadilan Negeri memeriksa suatu permohonan penanganan harta kekayaan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain yang layak untuk memeriksa permohonan dimaksud berdasarkan usul dari pimpinan instansi Penyidik yang bersangkutan.
  4. Dalam hal harta kekayaan yang dimohonkan untuk dimintakan penanganan harta kekayaan berada di luar negeri, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan.

 

Tahap selanjutnya dalam penanganan permohonan penanganan harta kekayaan di pengadilan adalah Pengumuman Permohonan Penanganan Harta Kekayaan, yaitu meliputi:[19]

  1. Setelah permohonan dinyatakan lengkap sesuai dengan prosedur PERMA No. 1/2013, Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk mencatat permohonan penanganan harta kekayaan tersebut dalam buku register.
  2. Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan Panitera untuk mengumumkan permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman Pengadilan Negeri dan/atau media lain guna memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan untuk mengajukan keberatan.
  3. Pengumuman permohonan penanganan harta kekayaan pada papan pengumuman Pengadilan Negeri dan/atau media lain dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari kerja.
  4. Bentuk pengumuman permohonan penanganan harta kekayaan diatur di dalam lampiran PERMA No. 1/2013.

 

              Tahap selanjutnya adalah Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. Pemeriksaan permohonan dibedakan menjadi dua, pertama, Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal Tidak Terdapat Keberatan. Kedua, Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal terdapat Keberatan. Tahap pemeriksaan diakhiri dengan adaya putusan Hakim atas perkara dimaksud. Selanjutnya dapat dijelaskan mengenai Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal Tidak Terdapat Keberatan, adalah dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:[20]

  1. Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan dalam masa pengumuman, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan.
  2. Hakim Tunggal yang ditunjuk menetapkan hari sidang dan memerintahkan Panitera untuk memanggil Penyidik agar hadir di persidangan.
  3. Berdasarkan permohonan penanganan harta kekayaan dan alat bukti dan/atau barang bukti yang diajukan oleh Penyidik selaku pemohon penanganan harta kekayaan, Hakim memutus harta kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
  4. Hakim harus memutus permohonan penanganan harta kekayaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak hari sidang pertama.
  5. Putusan atas permohonan penanganan harta kekayaan diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Negeri dan/atau media lain guna memberikan kesempatan kepada pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan untuk mengajukan keberatan.
  6. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan penanganan harta kekayaan segera setelah putusan diucapkan.
  7. Salinan putusan disampaikan kepada Jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di daerah huku Pengadilan Negeri yang memutus permohonan penanganan harta kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna kepentingan eksekusi.

 

          Setelah putusan diucapkan, pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan sebagaimana dimaksud, masih diberikan kesempatan pengajuan keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:

  1. Terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan, pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah putusan Pengadilan diucapkan.[21]
  2. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan keberatan penanganan harta kekayaan.[22]
  3. Majleis Hakim yang ditunjuk menentukan hari sidang pertama dan memerintahkan Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon Keberatan agar hadir di persidangan.[23]
  4. Dalam hal Pemohon Keberatan adalah korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurusdi tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.[24]
  5. Salah seorang pengurus korporasi Pemohon Keberatan wajib menghadap di siding Pengadilan mewakili korporasi.[25]
  6. Pemohon Keberatan harus mengajukan alasan-alasan keberatan disertai dengan alat-alat bukti dan/atau barang bukti yang diperlukan, serta menghadiri sendiri persidangan, baik disampingi oleh kuasa hukumnya atau tidak.[26]
  7. Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.[27]
  8. Hakim Memerintahkan Pemohon Keberatan untuk membacakan keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan.[28]
  9. Pemohon Keberatan menyampaikan alat bukti dan/atau barang bukti yang mendukung keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan dimaksud.[29]
  10. Dalam hal diperlukan, Hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan di tempat harta kekayaan tersebut berada.[30]
  11. Hakim memerintahkan Pemohon keberatan untuk membuktikan asal usul bahwa harta kekayaan yang diajukan permohonan penanganan harta kekayaan tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana.[31]
  12. Dalam hal diperlukan, Hakim dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula meminta agar diajukan bahan baru.[32]
  13. Hakim mempertimbangkan seluruh dalil-dalil dan alat bukti yang telah diperiksa di persidangan, untuk selanjutnya memutus harta kekayaan tersebut dinyatakan sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.[33]
  14. Putusan Majelis Hakim yang memutus keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan bersifat final dan mengikat.[34]
  15. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan, Hakim menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang dimohonkan keberatan tetap berlaku.[35]
  16. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau tanpa disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan tersebut dan putusan yang dimohonkan keberatan tetap berlaku.[36]
  17. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan penanganan harta kekayaan dan Pemohon Keberatan segera setelah putusan diucapkan.[37]
  18. Salinan putusan disampaikan kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di daerah hukum Pengadilan negeri yang memutus permohonan penanganan harta kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna kepentingan eksekusi.[38]

 

            Selanjutnya penjelasan mengenai Pemeriksaan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal Terdapat Keberatan, dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

  1. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan dalam masa pengumuman 30 (tiga puluh) hari, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan.[39]
  2. Dalam hal terdapat keberatan terhadap permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan dalam proses pemeriksaan sidang (bukan di dalam masa pengumuman 30 [tiga puluh] hari), Hakim Tunggal yang memeriksa permohonan penanganan harta kekayaan tersebut melaporkan adanya keberatan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri, kemudian Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan penanganan harta kekayaan.[40]
  3. Majelis Hakim yang ditunjuk menentukan hari sidang pertama dan memerintahkan Panitera untuk memanggil Penyidik dan Pemohon Keberatan agar hadir di persidangan.[41]
  4. Tata cara pemeriksaan persidangan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Hal Terdapat Keberatan dilakukan sebagaimana tata cara pemeriksaan persidangan pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Permohonan Penanganan Harta Kekayaan yang Diajukan Setelah Putusan Diucapkan.[42]
  5. Putusan Majelis Hakim yang memutus keberatan terhadap putusan permohonan penanganan harta kekayaan bersifat final dan mengikat.[43]
  6. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak menghadiri sendiri persidangan, Hakim menyatakan keberatan tersebut gugur dan putusan yang dimohonkan keberatan tetap berlaku.[44]
  7. Dalam hal Pemohon Keberatan tidak mengajukan alasan-alasan dan/atau tanpa disertai alat-alat bukti yang cukup, Hakim menolak keberatan tersebut dan putusan yang dimohonkan keberatan tetap berlaku.[45]
  8. Petikan putusan disampaikan kepada Penyidik yang mengajukan permohonan penanganan harta kekayaan dan Pemohon Keberatan segera setelah putusan diucapkan.[46]
  9. Salinan putusan disampaikan kepada jaksa pada Kejaksaan Negeri yang berada di daerah hukum pengadilan negeri yang memutus permohonan penanganan harta kekayaan atau Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat keberadaan harta kekayaan melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan guna kepentingan eksekusi.[47]

 

Alat Bukti

 

               Dalam PERMA No. 1/2013 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam PERMA No. 1/2013,[48] dengan demikian hal-hal seperti ketentuan bukti dalam PERMA No. 1/2013 adalah mengacu kepada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu:[49]

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa.

 

Selain alat bukti permohonan penanganan harta kekayaan mengacu pada KUHAP, oleh karena ruang lingkup penanganan harta kekayaan adalah permohonan penanganan harta kekayaan yang diajukan oleh Penyidik dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 73 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga berlaku dalam pembuktian di pengadilan, yang berbunyi,

“Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah: alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpansecara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.”[50]

 

            PERMA No. 1/2013 telah memberikan jalan yang cukup baik bagi penegak hukum dalam melaksanakan NCB Asset Forfeiture, meskipun memiliki keterbatasan namun hal tersebut lebih disebabkan karena NCB Asset Forfeiture di Indonesia masih dibatasi pada tindak pidana pencucian uang, hal ini dikarenakan tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai NCB Asset Forfeiture bagi tindak pidana selain tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Namun demikian tindak pidana pencucian uang memiliki “kelenturan” sebab predicate crime dari tindak pidana pencucian uang di Indonesia menurut undang-undang terdapat 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana. Selain itu pengaturan prosedur NCB Asset Forfeiture tindak pidana pencucian melalui Peraturan Mahkamah Agung dirasa masih kurang greget, sebab akan lebih baik jika substansi PERMA No. 1/2013 diatur di dalam undang-undang. Penulis juga berpendapat bahwa apabila Penyidik mampu memanfaatkan NCB Asset Forfeiture sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1/2013 dalam pengembangkan penegakan hukum di bidang tindak pidana pencucian uang, hal ini akan sangat bermanfaat bagi keuangan negara karena merupakan salah satu langkah dalam pengembalian harta kekayaan kekayaan negara yang telah dicuri dan mampu menekan gerak gerik pelaku tindak pidana pencucian uang sebab uang atau aset yang terkait tindak pidana pencucian uang yang merupakan tujuan terjadinya tindak pidana atau sarana terjadinya tindak pidana dapat dirampas oleh negara dan untuk kepentingan negara melalui suatu prosedur hukum yang sederhana tanpa mengurangi bobot dari substansi terwujudnya keadilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Greenberg, Theodore S. dkk. Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide For Non-Conviction Based Asset Forfeiture. Washington D.C.: The International bank for Reconstruction and Development. 2009.

 

Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Against Crruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), UU No. 7 Tahun 2006, LN. No. 32 Tahun 2006, TLN. 4620.

 

Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN. No. Tahun, TLN.

 

Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1982, TLN No. 3209.

 

Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain, PERMA No. 1 Tahun 2013, BN. No. 711 Tahun 2013.

 

Laporan Akhir naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana < http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_perampasan_aset.pdf > diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.

 

Pembahasan RUU Perampasan Aset Akan Kental Nuansa Politik < http://nasional.kompas.com/read/2013/04/16/14374492/Pembahasan.RUU.Perampasan.Aset.Akan.Kental.Nuansa.Politik > diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.

 

 

[1] Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Against Crruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), UU No. 7 Tahun 2006, LN. No. 32 Tahun 2006, TLN. 4620.

[2] Laporan Akhir naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana < http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_perampasan_aset.pdf> diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.

[3] Pembahasan RUU Perampasan Aset Akan Kental Nuansa Politik < http://nasional.kompas.com/read/2013/04/16/14374492/Pembahasan.RUU.Perampasan.Aset.Akan.Kental.Nuansa.Politik> diakses pada Minggu, 11 Mei 2014.

[4] Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain, PERMA No. 1 Tahun 2013, BN. No. 711 Tahun 2013. Konsideran Menimbang huruf b dan c.

Yang menarik adalah pada konsideran Menimbang huruf b kewenangan MA untuk mengisi kekuarangan atau kekosongan hukum dalam jalannya peradilan didasarkan pada Penjelasan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

[5]Ibid. Pasal 1.

Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pasal 67 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang , yang berbunyi,

ayat (2) “Dalam hal yang diduga sebagaipelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak”

ayat (3) “Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.”

[6] Indonesia. Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN. No. Tahun, TLN. Pasal 2.

Dalam Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2010, 26 predicate crime yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  1. Korupsi;
  2. Penyuapan;
  3. Narkotika;
  4. Psikotropika;
  5. Penyelundupan tenaga kerja;
  6. Penyelundupan imigran;
  7. Di bidang perbankan;
  8. Di bidang pasar modal;
  9. Di bidang perasuransian;
  10. Kepabeanan;
  11. Cukai;
  12. Perdagangan orang;
  13. Perdagangan senjata gelap;
  14. Terorisme;
  15. Penculikan;
  16. Pencurian;
  17. Penggelapan;
  18. Penipuan;
  19. Pemalsuan uang;
  20. Perjudian;
  21. Prostitusi;
  22. Di bidang perpajakan;
  23. Di bidang kehutanan;
  24. Di bidang lingkungan hidup;
  25. Di bidang kelautan dan perikanan; atau
  26. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

[7] Ibid. Pasal 67 ayat (2).

[8] Menurut Greenberg, Samuel, Grant, dan Gray dalam Buku “Stolen Asset Recovery: A Good Practice for Non-Conviction Based Asset Forfeiture”, ruang lingkup konsep NCB dapat digunakan dalam berbagai keadaan, seperti yang dinyatakan sebagai berikut,

“NCB asset forfeiture is useful in variety of context, particularly when criminal forfeiture is not possible or available (see box 2 for case examples), as in the following examples:

  1. The violator is a fugitive. A criminal conviction is not possible if accused is a fugitive.
  2. The violator is dead or dies before conviction. Death brings an end to criminal proceedings.
  3. The violator is immune from criminal prosecution.
  4. The violator is so powerful that a criminal investigation or prosecution is unrealistic or impossible.
  5. The violator is unknown and assets are found (four examples, assets found in the hands of a courier who is not involved in the commission of the criminal offense). If the asset is derived from crime, an owner or violator may unwilling to defend civil recovery proceedings for fear that this would lead to criminal prosecution. This uncertainty makes a criminal prosecution of a violator very difficult, if not impossible.
  6. The relevant property is held by a third party who was not been charged with a criminal offense but is aware – or is willfully blind to the fact – that the property is tainted. While criminal forfeiture may not reach the property held by bona fide third parties, NCB asset can forfeit the property from third party without a bona fide defense.
  7. There is insufficient evidence to proceed with criminal prosecution.

In such scenarios, NCB asset forfeiture is possible because it is an in rem action against the property, not the person, or a criminal conviction is not required, or both. NCB asset forfeiture can also useful in the following situations:

  1. The violator has been acquitted of underlying criminal offense as a result of lack of admissible evidence or failure of meeting the burden of proof. This applies in jurisdictions in which NCB asset forfeiture is established of a standard of proof that is lower than the criminal conviction standard. While there may be insufficient evidence for a criminal conviction beyond reasonable doubt, there still could be sufficient evidence to show the assets are derived from illegal activity on a balance probabilities.
  2. The forfeiture is uncontested. In jurisdiction in which NCB asset forfeiture is conducted as a civil proceeding, default judgment procedures are used to forfeit the assets, resulting in tie and cost savings.”

[9] Bunyi Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 adalah sebagai berikut, “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acaradan ketentuan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.” Penulis memiliki kritik terhadap pengaturan Pasal 74 ini sebab rumusan pasal dimaksud sebenarnya memiliki rumusan tentang penyidik yang luas, sehingga bisa memasukkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di berbagai Kementrian semisal Kementerian Tenaga kerja dan Kementerian Lingkungan Hidup, Penyidik Polisi Militer TNI, dan penyidik Otoritas Jasa Keuangan, namun di sisi lain Penjelasan Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2015 dalam rumusannya membatasi definisi penyidik dalam UU tersebut hanya berasal dari penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sehingga menurut penulis rumusan penjelasan Pasal 74 ini adalah sesuatu hal yang tidak perlu sebab akan membatasi kewenangan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang oleh penyidik di luar penyidik Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai padahal di sisi lain berdasarkan rumusan pasal mengenai 26 jenis predicate crime mereka juga berwenang untuk menyidik tindak pidana pencucian uang juga.

[10] Op. Cit. PERMA No. 1 Tahun 2013. Pasal 2 ayat (1).

[11] Ibid. Pasal 2 ayat (2).

[12] Ibid. Pasal 3.

[13] Ibid. Pasal 4 ayat (1).

[14] Ibid. Pasal 4 ayat (2).

[15] Ibid. Pasal 4 ayat (3).

[16] Ibid. Pasal 4 ayat (4).

[17] Ibid. Pasal 4 ayat (5).

[18] Ibid. Pasal 5 s.d. Pasal 7.

[19] Ibid. Pasal 8.

[20] Ibid. Pasal 9 s.d. Pasal 10.

[21] Ibid. Pasal 11 ayat (1).

[22] Ibid. Pasal 11 ayat (2).

[23] Ibid. Pasal 11 ayat (3).

[24] Ibid. Pasal 11 ayat (4).

[25] Ibid. Pasal 11 ayat (5).

[26] Ibid. Pasal 11 ayat (6).

[27] Ibid. Pasal 12.

[28] Ibid. Pasal 13.

[29] Ibid. Pasal 14.

[30] Ibid. Pasal 15.

[31] Ibid. Pasal 16.

[32] Ibid. Pasal 17.

[33] Ibid. Pasal 18 ayat (1).

[34] Ibid. Pasal 18 ayat (2).

[35] Ibid. Pasal 19 ayat (1)

[36] Ibid. Pasal 19 ayat (2)

[37] Ibid. Pasal 20 ayat (1)

[38] Ibid. Pasal 20 ayat (2).

[39] Ibid. Pasal 21 ayat (1).

[40] Ibid. Pasal 21 ayat (2).

[41] Ibid. Pasal 22 ayat (1).

[42] Ibid. Pasal 22 ayat (2).

[43] Ibid. Pasal 22 ayat (2).

[44] Ibid. Pasal 23.

[45] Ibid. Pasal 23.

[46] Ibid. Pasal 23.

[47] Ibid. Pasal 23.

[48] Ibid. Pasal 24.

[49] Indonesia. Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1982, TLN No. 3209. Pasal 184 ayat (1).

[50] Op. Cit. UU No. 8 Tahun 2010. Pasal 73 huruf b.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun