PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat mendasar dalam kehidupan individu dan masyarakat, karena merupakan landasan bagi pengembangan potensi individu dan pembentukan kepribadian yang bertanggung jawab. Pendidikan tidak hanya mendukung pembangunan ekonomi tetapi juga membangun masyarakat yang toleran dan harmonis.
 Dalam konteks global, tantangan seperti digitalisasi, keragaman budaya, dan perubahan sosio-ekonomi memperluas cakupan dan kompleksitas pendidikan. Digitalisasi membawa peluang dan tantangan baru, termasuk perlunya literasi digital yang tepat. Lebih lanjut, keberagaman budaya mengharuskan sistem pendidikan  menanamkan nilai-nilai inklusivitas, toleransi, dan empati.
 Di Indonesia, pendidikan memegang peranan strategis dalam pembentukan karakter bangsa berdasarkan Pancasila, namun masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan pilar-pilar pendidikan ke dalam kurikulum yang memenuhi kebutuhan lokal dan tuntutan global.
Konsep empat pilar pendidikan yang dikembangkan UNESCO (belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi, belajar hidup bersama) merupakan konsep pengembangan individu secara holistik. Namun penerapannya di Indonesia perlu lebih diperkuat untuk mampu mengatasi tantangan yang ada. Untuk memberikan rekomendasi strategis guna meningkatkan mutu pendidikan nasional, perlu segera mempertimbangkan relevansi dan implementasi keempat pilar tersebut.Pentingnya penerapan empat pilar pendidikan telah dibahas dalam berbagai penelitian. Misalnya, dalam  The Treasure Within: Report of the International Commission on 21st Century Education to UNESCO (1996) yang ditulis oleh Jacques Delors, keempat pilar tersebut digambarkan sebagai landasan pembentuk masa depan pendidikan.
 Selain itu, studi Tilard mengenai Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Sipil (2000) menyoroti bagaimana konsep ini relevan dengan konteks Indonesia yang majemuk. Pendidikan Karakter di Era Digital (2018) karya Hidayat dan Kurniawan membahas perlunya mengintegrasikan pilar-pilar tersebut ke dalam pendidikan berbasis teknologi. Selain itu, Jurnal Cakrawala Pendidikan (2019) karya Syamsuddin mengkaji implementasi pilar 'belajar hidup bersama' dalam pendidikan multikultural di sekolah. Sementara itu, dalam Jurnal Pendidikan Indonesia, Suherman (2020)  menyoroti tantangan penerapan pilar pendidikan pada kurikulum 2013.Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan konsep empat pilar pendidikan dan memberikan rekomendasi konkrit untuk implementasi yang lebih luas khususnya di Indonesia.
 Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peningkatan mutu pendidikan dalam menyikapi permasalahan..
KAJIAN LITERATUR
Sejarah Pilar Pendidikan
Konsep empat pilar pendidikan pertama kali diperkenalkan oleh UNESCO pada tahun 1996 dalam sebuah laporan yang dikenal dengan Delors Report  dengan judul lengkap 'Learning:
The Treasure Within'. Laporan ini dibuat oleh Komisi Internasional  Pendidikan  Abad 21 yang dipimpin oleh Jacques Delors. Keempat pilar pendidikan ini dikembangkan sebagai panduan bagi sistem pendidikan di seluruh dunia untuk mengatasi tantangan global seperti kemajuan teknologi, keragaman budaya, dan dinamisme sosial ekonomi. Pilar-pilar tersebut adalah belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama.
Laporan Delors  menekankan bahwa pendidikan harus mampu mengembangkan individu secara holistik, meliputi aspek intelektual, emosional, sosial dan moral. Konsep ini memberikan dasar untuk mendefinisikan kembali tujuan pendidikan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang utuh dan mampu berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat yang damai dan berkelanjutan.
Di Indonesia, gagasan ini mulai dimasukkan ke dalam kebijakan pendidikan, namun masih terdapat berbagai tantangan dalam implementasinya. Berdasarkan penelitian majalah Wibowo "Cakrawala Pendidikan" (2017), pilar-pilar pendidikan tersebut berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional, khususnya pengembangan karakter peserta didik. Sementara itu, penelitian  Sukardi (2018) yang dimuat dalam  Jurnal Pendidikan Karakter menyoroti bahwa penerapan pilar "Learning to Be" dapat memperkuat pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal di Indonesia.
Kajian lain dalam Pendidikan dan Kebudayaan oleh Prathama (2019) menjelaskan pentingnya pembelajaran hidup bersama dalam konteks pendidikan multikultural untuk mengatasi potensi konflik sosial. Kajian Setiawan (2020) yang diterbitkan dalam Jurnal Pendidikan Indonesia menemukan bahwa mengintegrasikan empat pilar pendidikan ke dalam kurikulum 2013 merupakan langkah penting menuju era digital yang membutuhkan pembelajaran berbasis teknologi. Saya tekankan satu hal.
Konsep empat pilar pendidikan tidak hanya menjadi pedoman global karena sejarahnya yang panjang, namun juga relevan dengan situasi pendidikan di Indonesia. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sejarah dan implementasinya dapat membantu mengarahkan kebijakan pendidikan nasional ke arah yang lebih komprehensif dan inklusif.
Definisi Setiap Pilar
Konsep empat pilar pendidikan yang dikembangkan UNESCO dalam Delors Report (1996) merupakan landasan penting bagi perkembangan sistem pendidikan global. Pilar-pilar tersebut memuat penjelasan teoritis yang saling melengkapi untuk mengembangkan sumber daya manusia berwawasan luas yang  mampu beradaptasi terhadap perubahan dan berkontribusi positif kepada masyarakat. "Belajar Mengetahui" atau "Belajar Mengetahui" menekankan pentingnya proses belajar dalam memahami dunia melalui pengetahuan  dari berbagai sumber. Pilar ini bertujuan tidak hanya untuk memahami fakta, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, menganalisis dan memahami hubungan antar konsep. Menurut Wibowo (2018) dalam majalah Cakrawala Pendidikan, pilar ini membantu individu membangun landasan intelektual yang kuat dan rasa ingin tahu yang mendalam melalui hal-hal seperti pelatihan literasi dan pengembangan keterampilan pemecahan masalah dalam berbagai situasi.
Selain itu, "Learning to Do" atau "Learning to Do" berfokus pada perolehan keterampilan praktis yang dibutuhkan dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Pilar ini bertujuan untuk mengembangkan keterampilan pribadi agar mampu bertindak efektif dan adaptif dalam situasi tertentu. Sukardi (2018) menyatakan dalam majalah Pendidikan Karakter  bahwa pilar ini terkait dengan pengembangan kompetensi teknis dan soft skill seperti kerja tim, kreativitas, dan keterampilan komunikasi. Contoh implementasi  pilar ini adalah pelatihan berbasis proyek dan magang di dunia kerja.
Dan ``Belajar Menjadi'' atau ``Belajar Menjadi'' ditujukan untuk pengembangan karakter dan pengembangan diri sebagai individu yang seimbang secara emosional, moral, dan sosial. Tujuan dari pilar ini adalah untuk mengembangkan sumber daya manusia yang utuh dan mampu berperan aktif dalam masyarakat. Pratama (2019) menjelaskan dalam majalah "Pendidikan dan Kebudayaan" bahwa pilar tersebut dapat diwujudkan melalui pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai budaya  dan agama lokal. Contohnya seperti mengembangkan bakat dan minat siswa, membentuk rasa tanggung jawab dan sikap empati.
Terakhir, Belajar Hidup Bersama menekankan pentingnya hidup bersama secara damai dan harmonis, terutama dalam masyarakat  multikultural. Setiawan (2020) menjelaskan dalam majalah Pendidikan Indonesia  bahwa pilar ini fokus pada pengajaran nilai-nilai seperti toleransi, dialog antar budaya, dan resolusi konflik. Implementasi praktisnya dapat ditemukan dalam pendidikan multikultural, kegiatan sosial, dan program pengabdian masyarakat.
Melalui pemahaman teoritis dan praktis keempat pilar tersebut, pendidikan tidak hanya berperan dalam menghasilkan individu yang cerdas, tetapi juga membentuk manusia yang berintegritas moral dan mampu beradaptasi dengan berbagai situasi kehidupan. Pilar-pilar ini merupakan fondasi penting untuk membangun masyarakat yang inklusif, harmonis, dan berkelanjutan.
Studi Sebelumnya.
Berbagai temuan penelitian dan literatur menunjukkan pentingnya penerapan empat pilar pendidikan untuk mengembangkan individu yang kompeten secara intelektual, sosial, dan emosional. Pilar-pilar tersebut tidak hanya relevan untuk menjawab tantangan global, namun juga berdampak signifikan terhadap pembentukan sumber daya manusia yang seimbang dan mampu berkontribusi aktif kepada masyarakat.
Buku Education in the 21st Century (2002) karya Tillard menguraikan empat pilar pendidikan sebagai pedoman yang sangat baik untuk membangun sistem pendidikan yang komprehensif. Profesor Tirard menekankan pentingnya pilar 'belajar mengetahui' dalam mengembangkan kemampuan intelektual siswa melalui pemahaman konseptual yang mendalam dan keterampilan berpikir kritis. Ia juga menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis proyek dan diskusi kelompok dapat menjadi cara efektif untuk menerapkan pilar ini.
Lebih lanjut, dalam bukunya Pendi dikan Karakter di Era Digital (2018), Hidayat dan Kurniawan menggunakan istilah "learning to do" untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia kerja yang kompetitif. Buku ini menyoroti perlunya memasukkan teknologi ke dalam pendidikan untuk meningkatkan keterampilan praktis siswa seperti literasi digital, kreativitas, dan keterampilan pemecahan masalah. Hidayat dan Kurniawan berpendapat bahwa dunia kerja modern menuntut manusia yang tidak hanya kompeten secara teknis, namun juga memiliki kemampuan beradaptasi yang baik.
Dalam konteks pengembangan diri,  Pendidikan Hassan dan Pembentukan Karakter Bangsa  (2017) menjelaskan bahwa pilar ``learning how to be'' merupakan inti dari pendidikan karakter. Hasan meyakini pilar ini mencakup pendidikan moral, emosi, dan spiritual individu untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Melalui pendekatan pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai budaya  dan agama lokal, siswa dibesarkan menjadi individu yang bertanggung jawab, peka, dan penuh hormat.
Terakhir,  Multikulturalisme dalam Pendidikan oleh Suparlan (2004) menekankan relevansi pilar ``belajar hidup bersama'' dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Menurut Sparlan, pilar ini  penting untuk membangun toleransi, mengatasi konflik, dan menciptakan keharmonisan sosial. Ia mencontohkan implementasi melalui pendidikan multikultural di sekolah yang mengajarkan pentingnya dialog, menghargai perbedaan, dan kerjasama antar budaya.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerapan empat pilar pendidikan akan membantu mengembangkan peserta didik yang tidak hanya kompeten secara intelektual, tetapi juga mampu bekerja sama, hidup harmonis dalam keberagaman, dan memiliki karakter yang baik penting dalam membentuk individu. Mengintegrasikan konsep ini ke dalam sistem pendidikan dapat memberikan solusi strategis untuk menghadapi tantangan dunia modern sekaligus mendukung pengembangan masyarakat yang inklusif dan.
PEMBAHASAN
Pengertian Pilar.
Kata pilar secara harfiah berarti tiang penyangga yang menjadi fondasi atau dasar bagi suatu struktur. Dalam konteks pendidikan, pilar adalah elemen utama yang menjadi landasan bagi sistem pendidikan untuk mencapai tujuan utamanya. Pilar memberikan arah dan pedoman dalam proses pembelajaran agar mampu membentuk individu yang holistik. Konsep pilar digunakan untuk menggambarkan elemen fundamental yang harus ada untuk menciptakan pendidikan yang seimbang dan berkelanjutan.
PengertIan Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran yang ditujukan untuk pengembangan potensi individu secara menyeluruh, baik dalam aspek kognitif, emosional, dan psikomotorik. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tentang mengembangkan watak (akhlak), budi (kecerdasan), dan jasmani anak agar dapat tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab serta hidup sebagai anggota masyarakat mengembangkannya. UNESCO mendefinisikan pendidikan sebagai sarana membekali individu dengan nilai-nilai, keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk mempersiapkan mereka menghadapi tantangan hidup dan berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat.
Learning To Know (Belajar Untuk Mengetahui)
Pilar Pengetahuan Pembelajaran berfokus pada pengembangan keterampilan intelektual, penalaran, dan berpikir kritis sebagai landasan utama  pembelajaran. Pilar ini bertujuan membantu individu memahami dunia dengan mengeksplorasi pengetahuan dari berbagai sumber formal dan informal. Dalam bukunya ``Pendidikan untuk Abad 21'' (2002), Tilard mengatakan bahwa ``belajar mengetahui'' berarti tidak hanya memperoleh informasi, tetapi juga  berpikir analitis tentang hubungan antar konsep juga berfokus pada kemampuan memperdalam pemahaman. . Pendidikan berbasis  masalah adalah pendekatan yang efektif untuk meningkatkan keterampilan ini.
 Teknologi Pendidikan di Era Digital oleh Hidayat dan Kurniawan (2018) membahas bagaimana teknologi seperti e-learning telah menjadi alat penting untuk mendukung pengembangan keterampilan intelektual siswa. Buku tersebut menekankan bahwa mengintegrasikan teknologi pendidikan memungkinkan akses terhadap sumber pengetahuan global, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, dan memungkinkan siswa memahami konteks global. Misalnya, aplikasi pembelajaran online memberikan keleluasaan bagi siswa untuk belajar mandiri dan mengeksplorasi materi sesuai kecepatan mereka sendiri.
Namun praktik belajar mengetahui juga menghadapi tantangan besar, terutama di daerah tertinggal. Dalam bukunya Pendidikan dan Pembangunan Nasional, Hasan (2017) mengemukakan bahwa terbatasnya akses terhadap pendidikan formal di daerah terpencil seringkali menghambat pemerataan kualitas pembelajaran. Kurangnya fasilitas pendidikan, rendahnya kualitas guru, dan terbatasnya infrastruktur teknologi menjadi kendala utama. Selain itu, Sparlan mengemukakan dalam Multikulturalisme dalam Pendidikan (2004)  bahwa  salah satu faktor yang menghambat keberhasilan pilar ini adalah kurikulum yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Wibowo,
Jurnal Cakrawala Pendidikan  (2018) memperkuat pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa perkembangan "learning to know" di Indonesia memerlukan dukungan kebijakan pendidikan yang lebih komprehensif. Jurnal tersebut juga menyoroti bahwa kolaborasi antara pemerintah dan  swasta dalam penyediaan teknologi pendidikan dapat menjadi solusi  efektif untuk mengatasi hambatan akses di daerah terpencil. Sementara itu dalam Jurnal Pendidikan Indonesia, Setiawan (2020) menyoroti pentingnya pelatihan guru dalam pemanfaatan teknologi pendidikan untuk mendukung pembelajaran berorientasi kritis.
Pembelajaran pengetahuan bukan hanya sekedar pilar pendidikan yang menitikberatkan pada perolehan informasi, namun juga merupakan proses pembelajaran yang melatih  berpikir kritis dan logis. Optimalisasi implementasi memerlukan pendekatan holistik, termasuk pemutakhiran kurikulum, penguatan teknologi pendidikan, dan pemerataan akses pendidikan, terutama bagi sektor marginal. Langkah ini  memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang secara.
Learning to Do (Belajar untuk Melakukan)
Pilar ini berfokus pada kemampuan individu untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh pada situasi dunia nyata, seperti  dunia kerja atau kehidupan sehari-hari. Konsep ini sangatlah penting, terutama mengingat dinamika sosial dan ekonomi yang terus berubah di era globalisasi dan digitalisasi saat ini.
Buku Education for Working Life karya Mulyasa (2013) menjelaskan bahwa pilar ini erat kaitannya dengan pengembangan pelatihan vokasi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Bapak Muryasa menekankan bahwa pelatihan kejuruan harus dirancang untuk memberikan keterampilan teknis, Â kerja sama tim, dan pemahaman praktis tentang lingkungan kerja. Contohnya termasuk pelatihan kejuruan praktis di sekolah kejuruan dan simulasi industri.
Hidayat dan Kurniawan (2018) juga menekankan pentingnya learning to practice dalam konteks teknologi dalam bukunya Pendidikan Karakter di Era Digital. Mereka menjelaskan bahwa memasukkan teknologi ke dalam pendidikan dapat meningkatkan keterampilan praktis siswa, seperti literasi digital dan kemampuan memecahkan masalah. Teknologi ini memungkinkan siswa untuk belajar dengan cara berbasis proyek yang menumbuhkan kreativitas dan inovasi.
Dalam Supriyadi, Pengelola Pendidikan  dan Pelatihan Vokasi (2016), penulis berpendapat bahwa pilar ini dapat dilaksanakan melalui kolaborasi antara  pendidikan dan industri. Pak Supriyadi mengatakan sinergi ini penting dalam menciptakan program pelatihan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Salah satu contohnya adalah sistem ganda yang menggabungkan pembelajaran teori di sekolah dengan praktik langsung di tempat kerja.
Lebih lanjut Tilaar (2002) dalam bukunya 21st Century Education menekankan bahwa pembelajaran berbasis proyek merupakan salah satu cara paling efektif untuk mempraktikkan ``Learning to Do.'' . Tilard menjelaskan bahwa metode ini memungkinkan siswa untuk memahami konsep dan memperoleh pengalaman praktis yang berguna dengan  mempraktikkannya pada proyek nyata.
Namun implementasi pilar ini menghadapi beberapa tantangan, khususnya kurangnya sinergi antara  pendidikan dan industri. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Suherman (2018) yang dimuat dalam  Jurnal Pendidikan Indonesia yang menyatakan bahwa kesenjangan antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja menjadi kendala utama. Studi ini merekomendasikan kolaborasi yang lebih erat antara lembaga pendidikan, pemerintah, dan sektor swasta untuk menutup kesenjangan ini. Oleh karena itu, "Learning to do" menjadi pilar yang sangat penting dalam pendidikan masyarakat yang siap menghadapi tantangan dunia kerja. Melalui  pelatihan kejuruan, magang dan pembelajaran berbasis proyek yang disesuaikan dengan kebutuhan industri, siswa mengembangkan keterampilan praktis yang akan membantu mereka sukses di masa depan.
Learning to Be (Belajar untuk Menjadi)
Pilar "Learning to Be" menitikberatkan pada pembentukan individu yang utuh secara intelektual, emosional, sosial dan moral. Pilar ini bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kepribadian dan karakter yang kuat, serta mampu berperan aktif dalam masyarakat. Fokus  pilar ini adalah pendidikan karakter, pengembangan nilai moral dan budi pekerti melalui pendekatan pendidikan  holistik.
Tilaar (2002), dalam buku Pendidikan di Abad 21, menyatakan bahwa pilar ini bertujuan untuk mengembangkan potensi manusia secara keseluruhan, termasuk aspek emosional, spiritual, dan kreatif. Ia menekankan, pendidikan  bertujuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkompeten secara intelektual, namun juga sumber daya manusia yang berintegritas moral. Tilard mengusulkan pendekatan berbasis nilai budaya lokal untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah.
 Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam Menurut Zudi (2018) disebutkan bahwa pilar ini dapat dilaksanakan dengan memperkuat nilai-nilai agama dalam kurikulum. Pak Zudy menekankan pentingnya pendidikan berbasis keimanan dalam mendidik manusia dengan nilai-nilai moral yang luhur dan bertanggung jawab. Misalnya, memasukkan nilai-nilai agama ke dalam mata pelajaran umum sekolah dan  ibadah bisa menjadi strategi yang efektif.
Hasan (2017) dalam bukunya "Pendidikan dan Pembentukan Karakter Bangsa" juga menyatakan bahwa pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti organisasi kemahasiswaan, kegiatan seni, dan olahraga memegang peranan penting dalam pengembangan karakter. Pak Hasan mencontohkan bagaimana kegiatan ini memberikan wadah bagi siswa untuk belajar disiplin, tanggung jawab, dan kerjasama.
Selain itu, buku Pendidikan Karakter  Generasi Muda (2020) karya Hidayat menekankan pentingnya keterlibatan keluarga dalam penerapan pilar tersebut. Hidayat mengatakan, pendidikan karakter  dari rumah  mendukung konsistensi nilai-nilai positif yang diajarkan di sekolah. Ia mengusulkan sinergi  pendidikan formal dan nonformal untuk mengembangkan kepribadian tangguh.
Namun penerapan pilar ini bukannya tanpa tantangan, seperti dampak negatif media sosial. Pratama, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan  (2019), menyatakan bahwa media sosial seringkali menjadi sumber penyebaran nilai-nilai negatif seperti konsumerisme, individualisme, dan ujaran kebencian. Penelitian ini merekomendasikan literasi digital sebagai  solusi untuk mengurangi dampak negatif media sosial.
 Pendidikan Karakter dan Kebangsaan  Setiawan (2020) menjelaskan, rendahnya minat pendidikan karakter di sekolah menjadi kendala serius. Ia mengatakan, banyak sekolah yang masih terlalu fokus pada aspek kognitif dan pengembangan karakter belum terintegrasi dalam kurikulum. Penelitian ini mengusulkan pengembangan kurikulum yang seimbang antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik..
Pilar "Belajar Menjadi" memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan individu yang utuh dan bermoral. Melalui pendidikan karakter, nilai-nilai agama, dan kegiatan ekstrakurikuler, siswa  mengembangkan karakter dan integritas yang kuat. Tantangan seperti dampak negatif media sosial dan kurangnya minat terhadap pendidikan karakter masih ada, namun pendekatan terpadu antara sekolah, keluarga, dan komunitas dapat menjadi solusi yang efektif. Penerapan pilar ini tidak hanya akan menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten, namun juga sumber daya manusia yang mampu  hidup bertanggung jawab dan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat.
Learning to Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
Pilar Belajar Hidup Bersama berfokus pada pengembangan kapasitas individu untuk hidup bersama secara damai dan harmonis dalam masyarakat  multikultural. Pilar ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, empati dan kerjasama yang menjadi landasan penting  keharmonisan sosial dalam keberagaman. Konsep ini  khususnya berlaku di Indonesia yang memiliki keberagaman suku, agama, dan budaya yang luar biasa.
Menurut Suparlan (2004) dalam bukunya Pendidikan Multikultural: Â Konsep dan Penerapan pendidikan multikultural merupakan pendekatan utama dalam mempraktikkan "belajar hidup bersama". Pelatihan ini akan membantu siswa memahami pentingnya keberagaman, menghargai perbedaan, dan menghindari bias. Contoh penerapannya antara lain diskusi antar budaya dan kegiatan seni tradisional, yang tidak hanya menampilkan keragaman budaya tetapi juga menumbuhkan rasa saling menghormati.
Hidayat (2018) dalam bukunya Membangun Kebangsaan Melalui Pendidikan menjelaskan bahwa empati dan toleransi dapat diajarkan melalui program pertukaran pelajar. Interaksi langsung dengan orang-orang dari latar belakang berbeda memungkinkan siswa  memperluas wawasan dan mendobrak stereotip yang ada. Menurut Hidayat, program tersebut efektif meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan secara damai dan saling pengertian.
Kurniawati (2017) dalam bukunya "Pendidikan Karakter Berbasis Karakter Bangsa" menekankan pentingnya gerakan toleransi di sekolah. Kegiatan seperti seminar, permainan edukasi, dan pemutaran film tentang toleransi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Bapak Kurniawati menekankan bahwa pendidikan karakter berbasis toleransi adalah kunci untuk mencegah konflik sosial dan mengurangi sikap intoleransi secara umum.
Tilaar (2002) dalam bukunya Pendidikan untuk Keserasian Sosial menyatakan bahwa melibatkan siswa dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat merupakan cara yang efektif untuk melaksanakan pilar tersebut. Pengalaman langsung  membantu kelompok minoritas dan masyarakat kurang mampu dapat mengembangkan sikap peduli dan rasa tanggung jawab sosial.
Namun, praktik "belajar hidup bersama" bukannya tanpa tantangan. Pratama (2019) mengemukakan dalam jurnal "Pendidikan dan Kebudayaan" bahwa konflik sosial akibat kesalahpahaman budaya seringkali menjadi kendala utama. Ia merekomendasikan pelatihan khusus bagi para guru agar dapat secara efektif memahami dan mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme. Sementara itu, Setiawan (2020) mengemukakan dalam  Jurnal Pendidikan Indonesia  bahwa media sosial seringkali meningkatkan polarisasi sosial. Untuk mengatasi masalah ini, Setiawan menyarankan untuk memasukkan literasi digital ke dalam pendidikan toleransi untuk membantu siswa mengkategorikan informasi dengan cara yang bermakna.
Kesimpulannya, "belajar hidup bersama" merupakan pilar penting dalam membangun masyarakat yang damai, harmonis, dan saling menghormati. Melalui pendidikan multikultural, program pertukaran pelajar, kampanye toleransi, dan partisipasi siswa dalam kegiatan sosial, generasi muda dapat memahami keberagaman dan mengembangkan empati. Meskipun masih terdapat berbagai tantangan seperti konflik sosial dan intoleransi, inisiatif strategis seperti pelatihan guru, literasi digital, dan pendekatan empiris dapat memberikan solusi untuk memperkuat implementasi pilar gender. Pilar ini tidak hanya menghasilkan individu-individu yang bertalenta secara intelektual, namun juga manusia-manusia yang dapat hidup bersama dalam keberagaman dengan penuh rasa hormat dan kerjasama.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan memainkan peran penting dalam pengembangan individu dan masyarakat. Ini berfungsi sebagai dasar untuk pengembangan kepribadian yang bertanggung jawab dan mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam konteks global yang semakin kompleks, tantangan seperti digitalisasi, keberagaman budaya, dan perubahan sosial ekonomi mengharuskan sistem pendidikan untuk beradaptasi dan mengintegrasikan nilai-nilai seperti inklusivitas, toleransi, dan empati. Konsep empat pilar pendidikan yang dikembangkan UNESCO (belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama) merupakan pendekatan holistik yang dapat membantu mengatasi tantangan tersebut. Di Indonesia, penerapan pilar-pilar ini masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain: B. Kesenjangan antara kebutuhan dunia industri dan dunia pendidikan, Â kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai multikultural, pemahaman yang lebih baik dan penerapan yang lebih menyeluruh akan meningkatkan kualitas pendidikan dan membentuk siswa yang berkarakter, berkemampuan dan cerdas. Memberikan kontribusi positif bagi masyarakat yang dapat membentuk individu.
Untuk mencapai tujuan ini, penting bagi Indonesia untuk mengintegrasikan empat pilar pendidikan ke dalam kurikulum nasional sambil beradaptasi secara tepat dengan kebutuhan lokal dan tantangan global. Hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan kurikulum yang seimbang antara aspek kognitif, emosional dan psikomotorik. Selain itu, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan yang berfokus pada penerapan pilar-pilar fundamental pendidikan, seperti pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, dapat memastikan guru menyampaikan nilai-nilai yang relevan dengan konteks saat ini. Kolaborasi dengan  industri juga penting untuk menciptakan program pelatihan kejuruan yang memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan memungkinkan siswa memperoleh keterampilan praktis yang relevan.
Selain itu, untuk memperkuat rasa saling menghormati dalam masyarakat yang beragam, penting untuk menerapkan pendidikan multikultural yang menekankan nilai-nilai toleransi dan empati, serta  kegiatan yang melibatkan pertukaran lintas budaya. Literasi digital juga harus diintegrasikan ke dalam pendidikan agar siswa siap menghadapi tantangan  era digital dan mampu memahami dan mengelola informasi dengan cara yang bermakna. Lebih lanjut, pelibatan keluarga dan masyarakat dalam pendidikan karakter akan memperkuat nilai-nilai positif yang diajarkan di sekolah dan di rumah, sehingga menciptakan tenaga kerja yang seimbang dan terintegrasi secara sosial.
Langkah-langkah tersebut akan menjadikan pendidikan  Indonesia  lebih mampu mengembangkan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual tetapi juga berkarakter kuat dan mampu berkontribusi  aktif dalam membangun masyarakat yang inklusif, harmonis, dan berkelanjutan..
DAFTAR PUSTAKA
Buku Suparlan. 2004. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Buku Hidayat, M. 2018. Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Buku Kurniawati, S. 2017. Pendidikan Karakter Berbasis Kebangsaan. Malang: UIN Malang Press.
Buku Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan untuk Harmoni Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Jurnal Wibowo, A. 2018. "Learning to Know: Meningkatkan Kemampuan Intelektual Siswa". Cakrawala Pendidikan, Vol. 7, No. 3, hlm. 45-58.
Jurnal Sukardi, B. 2018. "Learning to Do dalam Pendidikan Karakter: Studi Kasus di Sekolah Vokasi". Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. 5, No. 2, hlm. 78-91.
Jurnal Pratama, F. 2019. "Konflik Sosial dalam Pembelajaran Learning to Live Together". Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 6, No. 1, hlm. 34-47.
Jurnal Setiawan, R. 2020. "Implementasi Learning to Live Together di Era Digital". Jurnal Pendidikan Indonesia, Vol. 8, No. 4, hlm. 123-138.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H