Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana 'Nasib' Majelis dan Pengadilan Medis Pasca UU Kesehatan 17/2023 ?

3 Juni 2024   09:18 Diperbarui: 3 Juni 2024   09:23 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : buku 'Menyongsong Pembentukan Pengadilan Medis di Indonesia, Dr.Dra.Risma Situmorang,SH,MH

by dr.Riki Tsan,SpM (mhs STHM MHKes V)

Siang itu, 25 Agustus 2022, di dalam ruang rapat Badan Legislasi, Dr.Dra.Risma Situmorang,SH,MH didampingi Mayjen TNI (Pur) dr. Abraham Arimuko SpKK,MARS,MH bergerak bangkit dari tempat duduknya , maju ke depan dan menyerahkan naskah akademik Rancangan Undang Undang (RUU) Pengadilan Medis kepada Pimpinan Badan Legislasi DPR RI. Sebagian orang yang hadir disana bertepuk tangan , sedangkan sebagian yang lain asyik memotret kejadian penting ini.

Ibu Risma dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK), memang diundang secara resmi oleh DPR RI  untuk menghadiri rapat Badan Legislasi pada hari itu untuk  mendengarkan penjelasannya perihal usulan RUU tentang Pengadilan Medis. Naskah RUU ini sendiri terdiri dari 11 Bab dan 49 pasal.

Peristiwa itu hampir 2 tahun telah berlalu, namun RUU Pengadilan Medis itu tak kunjung disahkan menjadi Undang Undang yang definitif. Dari situs Badan Legislasi DPR RI terbaca bahwa sampai hari ini naskah RUU Pengadilan Medis itu sama sekali belum dibahas di dalam rapat rapat Komisi. Mungkin, masih 'teronggok' di dalam lemari atau 'tersimpan rapih' di dalam laptop.

Malah, pada 8 Agustus 2023, UU Kesehatan (Omnibuslaw)  bernomor 17/2023 yang diajukan Pemerintah (cq Kementerian Kesehatan) disahkan oleh DPR RI, tanpa menyebut nyebut soal Pengadilan Medis di dalamnya.

Marilah kita 'flash back' sebentar ke belakang.

Lebih kurang 9-11 tahun sebelum rapat Baleg  itu berlangsung, organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pernah mengusulkan juga pembentukan Peradilan Khusus Profesi Kedokteran yakni suatu pengadilan khusus yang bertugas untuk menyelesaikan kasus sengketa medis. Namun, usulan ini ditolak oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes)

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan pada waktu itu, Untung Suseno Sutarjo mengatakan pengadilan untuk dokter sudah terintegrasi di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau MKDKI.

(https://kabar24.bisnis.com/read/20180702/15/811980/kemenkes-peradilan-untuk-dokter-sudah-ada-di-mkdki)


Lalu, kalau Peradilan Khusus Profesi Kedokteran  telah ditolak karena sudah ada MKDKI, kenapa Peradilan Medis ingin 'dihidupkan' kembali pada 2022 ?

Ibu Risma Situmorang yang kita sebut sebut di awal tulisan ini menulis sebuah buku - yang merupakan hasil disertasinya - dengan judul 'Menyongsong Pembentukan Pengadilan Medis di Indonesia ( Perspektif Keadilan Etis Bersifat Utilitis)'

Diantara alasan alasan yang beliau kemukakan soal perlunya pembentukan Pengadilan Medis ialah tidak terpenuhinya keadilan secara prosedural sekaligus keadilan secara substansial dalam penyelesaian sengketa medis selama ini.

Keadilan prosedural yang tidak terpenuhi ialah adanya waktu yang bertele tele, mulai dari pengaduan di MKDKI, gugatan ganti rugi di Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung RI yang memakan waktu 7-9 tahun lamanya serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pengadu juga tidak hadir pada saat proses pemeriksaan Teradu.

Kemudian secara substansil, keadilan tidak terpenuhi juga karena ternyata Keputusan MKDKI tidak berakibat hukum dan tidak dapat dijadikan bukti baik dalam perkara perdata maupun pidana (halaman 234)

Lalu, seperti apa sebetulnya Pengadilan Medis yang 'dirindukan' oleh ibu Risma ini ?

Di dalam naskah RUU tentang Pengadilan Medis pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan Medis adalah pengadilan yang khusus menerima, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana dan perkara perkara perdata yang berkaitan dengan medis yang dibentuk dalam lingkungan  Peradilan Umum.

Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu pengadilan khusus ( seperti Pengadilan Medis ) dapat dibentuk di dalam salah satu peradilan di bawah Mahkamah Agung, dimana landasaan yuridis pembentukan dan pengaturannya haruslah berbentuk Undang Undang.

Hal ini tertuang  di dalam pasal 27 ayat 1 dan 2, UU nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung  sebagaimana dimaksud pasal 25 meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Pengadilan Medis sebagai Pengadilan Khusus memang didisain akan berada di dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pertanyaan kita ialah bagaimana kelanjutan  pembentukan Pengadilan Medis dan 'nasib' MKDKI pasca terbitnya Undang Undang Kesehatan (Omnibuslaw) nomor 17/2023 ?.

Simpan dulu pertanyaan ini. Kita segera menjawabnya pada  uraian di bawah ini.


MKDKI-UU PRAKTIK KEDOKTERAN

Kelahiran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI) sebetulnya tidak terlepas dari 'gonjang ganjing pro-kontra'  tentang pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis saat RUU Praktik Kedokteran sedang dibahas pada waktu itu.

Gagasan pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis ini sempat masuk ke dalam pasal 52 RUU Praktik Kedokteran yang disebut sebagai Peradilan Khusus yang berkedudukan di lingkungan Peradilan Umum.

Namun, pada saat disahkan, UU Praktik Kedokteran bernomor  29 tahun 2004, Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis dicoret dan diganti dengan MKDKI.

Seperti apa sosok MKDKI dalam 'kacamata' UU Praktik Kedokteran nomor 29/2004 ini ?.

Pertama.
MKDKI dibentuk sesuai dengan amanah pasal 55 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
KKI sendiri bertanggungjawab langsung kepada Presiden ( pasal 4 ayat 2 )

Kedua.
MKDKI menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter/dokter gigi yang diajukan (pasal 64 ayat a), dengan kewenangan menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi dalam penerapan disiplin Ilmu Kedokteran/Kedokteran Gigi dan menetapkan sanksi ( pasal 1 angka 14 )

Lalu, apa yang dimaksud dengan penegakan disiplin itu ?.
Penegakan  disiplin adalah penegakan aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter/dokter gigi ( penjelasan pasal 55 ayat 1 )

Kalau saya misalnya, tidak memiliki kompetensi dalam melakukan operasi katarak  atau tidak merujuk pasien yang seharusnya dirujuk ke dokter lain yang lebih kompeten , maka saya sudah melanggar 2  butir pelanggaran disiplin kedokteran.
Ada 28 butir pelanggaran disiplin kedokteran seperti terpampang di dinding ruang lobi gedung KKI di Jakarta.

Ketiga.
Dalam kasus sengketa medik, pasien yang merasa dirugikan atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dapat mengadukannya ke MKDKI ( pasal 66 ayat 1 ).

Namun demikian, apapun hasil keputusan MKDKI, tidak menghilangkan hak si pasien untuk melaporkan dokter ke aparat penegak hukum dengan dugaan telah melakukan tindak pidana atau juga menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Sekadar mengulang kembali. Ibu Risma menyatakan bahwa Keputusan MKDKI ini tidak mutlak berakibat hukum dan -- dalam beberapa kasus - tidak dapat dijadikan bukti baik dalam perkara perdata maupun pidana.

Meminjam bahasa Dr.M.Arif Setiawan,SH,MH di dalam presentasinya di Seminar Internasional STHM 21 April 2024, status MKDI tidak bisa menjadi screening system sebelum perkara itu akan maju ke perdata atau masuk ke pidana.

MAJELIS PROFESI-UU KESEHATAN 

Dengan diberlakukannya UU Kesehatan Omnibus nomor 17/2023, maka otomatis UU Praktik Kedokteran nomor 24/2004 yang menjadi basis yuridis pembentukan MKDI  dicabut dan tidak berlaku lagi. Lalu, bagaimana 'nasib' MKDKI ke depan ?.

Ke depan, MKDKI akan 'berganti baju' menjadi  Majelis Displin Profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Soal Majelis Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan ini ( kita  sebut saja dengan Majelis Disiplin Profesi ) disebutkan pada pasal 304 UU Kesehatan 17/2023.

Ada beberapa catatan terkait dengan Majelis Disiplin Profesi (MDP) ini.

Pertama.
MKDKI itu dikhususkan buat dokter/dokter gigi, sementara MDP buat Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.Tugas MDP tidak berbeda jauh dengan MKDKI yakni menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi. Hanya saja, berbeda dengan MKDKI, MDP dibentuk dan berada di bawah Menteri Kesehatan.

Kedua.
Dalam soal pengaduan/laporan terkait kerugian yang diderita pasien akibat tindakan medis yang dilakukan dokter, mereka tidak diwajibkan mengadu/m elapor ke MKDKI maupun ke MDP. Mereka memiliki hak untuk mengadu ke Aparat Penegak Hukum dalam dugaan adanya tindak pidana atau gugatan ganti rugi perdata ke pengadilan.

Ketiga. 
Namun demikian, berbeda dengan MKDKI, di dalam UU Kesehatan 17/2023, MDP diberikan kewenangan untuk menerbitkan rekomendasi.

Pasal 308 menyatakan bahwa dalam hal Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana atau merugikan pasien secara perdata, harus dimintakan rekomendasi dari MDP.

Rekomendasi tersebut berupa dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan , atau praktik keprofesiaan tersebut dilakukan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional. Permohonan permintaan rekomendasi ini diajukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan baru ini sontak 'meledakkan euforia' di kalangan para Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan karena mereka 'menyangka' peraturan baru ini akan memperkuat perlindungan hukum terhadap mereka. Benarkah demikian ?. Mari kita lihat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rekomendasi diartikan dengan saran, usulan atau anjuran.

Menurut UU nomor 15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pada pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa Rekomendasi adalah saran dari pemeriksa berdasarkan hasil pemeriksaannya, yang ditujukan kepada orang dan/atau badan yang berwenang untuk melakukan tindakan dan/atau perbaikan.

Kita akan melihat kekuatan mengikat instrumen rekomendasi ini  dengan mengambil contoh rekomendasi lembaga Ombudsman, sebuah lembaga yang berada langsung di bawah Presiden yang bertugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta menjamin perlindungan hak-hak masyarakat.

Bagaimana kekuatan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman ?.

Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional menyatakan bahwa rekomendasi Ombudsman bersifat tidak mengikat secara hukum ( non legally binding ).

Berdasarkan Kepres tersebut di atas, dulunya rekomendasi Ombudsman hanya mengikat secara moral saja ( morally binding ) yakni ketentuan yang sifatnya mengikat secara moral agar tidak melakukan penyimpangan yang dilandasi dengan kesadaran diri sendiri.

Adapun legally binding adalah mengikat secara hukum, yang mana suatu ketentuan yang ada mengikat secara hukum dan memiliki daya paksa apabila ada yang melanggar ketentuan tersebut.
Legally binding sendiri apabila tidak dilaksanakan memiliki konsekuensi hukum berupa pidana atau administratif.
Berbeda dengan morally binding yang hanya mendapatkan sanksi moral saja.

Namun setelah terbitnya UU nomor 37/2008 tentang Komisi Ombudsman Nasional , rekomendasi Ombudsman menjadi bersifat legally binding dan sudah dilengkapi dengan sanksi administratif bila tidak dilaksanakan.

Menurut pendapat saya, rekomendasi yang dikeluarkan oleh MDP hanyalah sekadar morally binding saja, yang bisa ditaati atau tidak ditaati oleh pihak diterkait, kecuali di dalam Peraturan Pelaksanaan yang akan diterbitkan nanti ditegaskan secara eksplisit bahwa rekomendasi tersebut mengikat secara hukum ( legally binding ) dengan sanksi administratif bagi pihak terkait jika tidak mentaatinya.

PENGADILAN MEDIS

Lantas, bagaimana dengan kelanjutan gagasan pembentukan Pengadilan Medis atau Pengadilan Khusus Profesi Medis ?.

Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, menurut saya dari sudut pandang wacana akademis gagasan pembentukan Pengadilan Medis tidak ada salahnya untuk terus kita gaungkan.

Namun secara pragmatis, realitas hari ini, khususnya setelah UU Kesehatan 17/2023 disahkan DPR RI, keinginan untuk mewujudkan Pengadilan Khusus Profesi Medis yang berada di  lingkungan Peradilan Umum tampaknya semakin menjauh -- untuk tidak mengatakan -- peluangnya sudah tertutup sama sekali.

Sekiranya kita meng 'copy paste'  kembali apa yang pernah dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Untung Suseno Sutarjo  7 tahun yang silam, dan ditanya tentang urgensi Pengadilan Medis ini, saya membayangkan beliau akan menjawab bahwa Pengadilan Khusus Profesi  sudah terintegrasi di Majelis Disiplin Profesi Medis pasca terbitnya UU Kesehatan (Omnibus) nomor 17/2023.  
Dengan perkataan lain, Pengadilan Khusus  Medis tidak lagi diperlukan saat ini.

Salam sehat buat kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun