Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksistensi dan Dilema Tindak Pidana Medik

1 Juni 2024   00:50 Diperbarui: 1 Juni 2024   18:35 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seminar Internasional, STHM,21 April 2024 (dokpri)

by dr.Riki Tsan,SpM (mhs STHM,MHKes-V)


Dalam diskursus Ilmu Hukum Kesehatan, ada dua terminologi yang sering digunakan untuk menyebut pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Pidana yang dilakukan oleh Tenaga Medis, yakni Malapraktik Medik Pidana  (Malapraktik Pidana) dan Tindak Pidana Medik.

Terkait dengan terminologi Malapraktik,  Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini ,SH,MH mengakui bahwa Malapraktik memang bukanlah merupakan istilah resmi. Istilah ini tidak dijumpai di dalam  undang undang dan perundang undangan di Indonesia (Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis Jilid 1, 2020)

Demikian juga dengan istilah Tindak Pidana Medik  tidak kita temukan di dalam aturan perundang undangan manapun di Indonesia.

Yang mirip mirip dengan istilah ini adalah istilah Tindak Pidana Bidang Kesehatan atau Tindak Pidana Kesehatan sebagaimana termaktub di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 82 tahun 2019 tentang  Penyidik PNS Bidang Kesehatan (BPK, 2019).

Pada Pasal 1 Angka 3 disebutkan bahwa  ' Tindak Pidana Bidang Kesehatan adalah setiap perbuatan masyarakat yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang kesehatan '

Tentu saja, pengertian Tindak Pidana Bidang Kesehatan ( Tindak Pidana Kesehatan)  di atas berbeda dengan dengan Tindak Pidana Medik yang kita maksudkan di dalam tulisan ini.
Tindak Pidana Medik yang kita maksud disini adalah pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Pidana yang terkait dengan Tindakan Medis yang dilakukan oleh Tenaga Medis ( dokter/dokter gigi )  dan menimbulkan kerugian terhadap pasien.


Tindakan Medis itu sendiri oleh Permenkes 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (Pedia.ID, 2008) , disebut dengan Tindakan Kedokteran

Pada pasal 1 angka 3 berbunyi : ' Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang selanjutnya disebut Tindakan Kedokteran adalah suatu Tindakan Medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien'

Dengan demikian, Tindak Pidana Medik  saya defenisikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Pidana yang terkait dengan Tindakan Medis  berupa preventif (pencegahan penyakit) , diagnostik (penegakkan diagnostik) , terapeutik (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan dari kecacatan/penyakit) oleh Tenaga Medis dan menimbulkan kerugian terhadap pasien.

Dr.  Muhammad Endriyo Susila, SH,MH,PhD, mengatakan bahwa istilah Tindak Pidana Medik baru muncul dalam wacana akademik sejak 9 tahun yang lalu (Malpraktik (Medik) Pidana vs Tindak Pidana Medik, 2020)

Penggagas konsep Tindak Pidana Medik menginginkan agar pelanggaran ketentuan Hukum Pidana oleh para  Tenaga Medis tidak dijerat dengan ketentuan undang-undang yang bersifat umum ( lex generalis ), tetapi dengan ketentuan undang-undang yang bersifat khusus ( lex specialis ).

Asumsinya sederhana, pelanggaran ketentuan Hukum Pidana yang dilakukan oleh Tenaga Medis  yang dikonstruksikan sebagai Tindak Pidana Medik merupakan Tindak Pidana Khusus, bukan Tindak Pidana Umum, oleh karenanya tunduk pada ketentuan yang bersifat khusus, bukan ketentuan umum seperti yang termaktub di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).    

Pertanyaan kita ialah apakah Tindak Pidana Medik ini ada diatur di dalam ketentuan yang bersifat khusus ?. Apakah Tindak Pidana Medik itu memang bukan Tindak Pidana Umum ?. Dengan bahasa yang lebih singkat,  apakah Pidana Medik itu bukan Pidana Umum ?.

Kita akan 'melihat'nya dari sisi Hukum Pidana di Indonesia,  lewat 'kaca mata' Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus

HUKUM PIDANA UMUM

Prof. Dr. Topo Santoso,SH,MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan bahwa Hukum Pidana dalam arti sempit hanya meliputi Hukum Pidana Materiil ( Hukum Pidana Substantif ).

Hukum Pidana dalam arti luas meliputi Hukum Pidana Materiil ( Hukum Pidana Substantif, Substantive Criminal Law ) dan Hukum Pidana Formil ( Hukum Acara Pidana, Law of Criminal Procedure ). Dapat juga dibuat dengan rumus, Hukum Pidana (luas) = Hukum Pidana Materiil + Hukum Pidana Formil (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 87)

Menurut Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum., Hukum Pidana Umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku bagi setiap orang sebagai subjek hukum tanpa membeda bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa Hukum Pidana Umum adalah Hukum Pidana dalam kodifikasi (Prinsip Prinsip Hukum Pidana, 2016)

Jika dikaitkan dengan Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil, Hukum Pidana Umum yang materiil dikodifikasi dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara itu, Hukum Pidana Umum yang formil dikodifikasi dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) - (Prinsip Prinsip Hukum Pidana, 2016, p. 23)


HUKUM PIDANA KHUSUS

Lalu, apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Khusus ?
Hukum Pidana yang khusus itu adalah Hukum Pidana yang diatur di dalam undang undang  yang ada penyimpangan dari ketentuan umum dalam KUHP. Jadi,  Hukum Pidana Khusus adalah Hukum Pidana diluar kodifikasi (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 90)

Atas dasar pengaturan tersebut, Hukum Pidana Khusus dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

  • Hukum Pidana Khusus dalam undang undang pidana
  • Hukum Pidana Khusus bukan dalam undang undang pidana (Prinsip Prinsip Hukum Pidana, 2016, p. 24)

Untuk bagian yang kedua ini, bisa juga disebut dengan ketentuan pidana dalam undang undang nonpidana, yang oleh Prof. Topo disebut sebagai Administrative Penal Law, atau undang undang  administrasi yang memuat ketentuan pidana (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 98)

Soal pengaturan Hukum Pidana Khusus ini termaktub di dalam pasal 103 KUHP (Moeljatno, 2021, p. 40), yang berbunyi : ' Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan - perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang - undang ditentukan lain'

Jadi, menurut Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku 1 KUHP berlaku baik untuk Buku 2 dan Buku 3 KUHP, maupun untuk semua ketentuan pidana di luar KUHP, kecuali undang-undang itu ( yang di luar KUHP tadi ) mengatur berbeda. Maka kalau berbeda, digunakan ketentuan dalam undang-undang lain tersebut. Jika tidak diatur, berlaku ketentuan dalam KUHP. (Asas Asas Hukum Pidana, 1994, p. 11)


Ketentuan ini dikenal dengan asas lex specialis derogat lex generalis, hukum khusus menggantikan hukum umum. Artinya, jika substansi suatu aturan diatur di dalam undang undang yang bersifat umum dan diatur juga dalam undang undang yang bersifat khusus, maka yang digunakan adalah undang undang yang bersifat khusus.

Dalam konteks hukum pidana postulat ini berkembang pesat. Banyak kejahatan yang diatur diluar kodifikasi merupakan hukum khusus, baik dari segi materiel maupun formal sebagai lex specialis (Dasar Dasar Ilmu Hukum, Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum, 2023, pp. 119-120).

Dr. Muhammad Arif Setiawan,SH,MH, Ketua Jurusan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta di dalam Seminar Internasional STHM, 21 April 2024, menegaskan bahwa Hukum Pidana Khusus adalah Hukum Pidana di luar kodifikasi yang mempunyai sifat sifat kekhususan.

Kekhususan disini artinya terdapat penyimpangan penyimpangan dari ketentuan ketentuan yang diatur di dalam Hukum Pidana Umum.
Dalam hal ini, ketentuan ketentuan yang menyimpang dan bersifat  khusus itu adalah yang menyangkut subjeknya dan atau perbuatannya , sebutlah  penyimpangan atau kekhususan yang berada pada aspek hukum pidana materiil atau formil atau kedua duanya (Hukum Pidana Bidang Kesehatan, 2024)

HUKUM PIDANA MATERIIL DAN FORMIL

Pertanyaan kita ialah apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil itu ?.

Kalau kita membicarakan Hukum Pidana, umumnya adalah Hukum Pidana dalam arti sempit yakni Hukum Pidana Materiil atau Hukum Pidana Substantif  ( substantif criminal law )   sebagai dasar dasar untuk  :

  • Menentukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut ( criminal act )

  • Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan ( criminal liability/criminal responsibility )- (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 17)

Sementara itu ,apabila diduga ada suatu Tindak Pidana, maka   proses  untuk menjalankan Hukum Pidana Materiil  di atas kita sebut dengan Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana.
Secara singkat Hukum Acara Pidana membicarakan proses apa saja yang dilakukan guna menyelidiki, menyidik, menuntut, mengadili, memutus, upaya hukum dan menjalankan putusan pengadilan - (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 21)

Dalam literatur berbahasa Inggeris Hukum Acara Pidana disebut dengan Law of Criminal Procedure/Criminal Procedure , dimana di Indonesia, aturan aturannya merujuk kepada Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana atau disingkat dengan KUHAP

Herbert L Packer menyebutkan :

' The rationale of the criminal law rests on three concepts: offense, guilt, and punishment. Before turning to the content and functions of each, it may be useful to consider the relationship among them. These three concepts symbolize the three basic problem of substance (as opposed to procedure) in the criminal law: (1) what conduct should be designated as criminal; (2) what determinations must be made before a person can be found to have committed a criminal offense; (3) what should be done with persons who are found to have committed criminal offenses. (The Limits of The Criminal Sanction di dalam Ajaran Kesalahan Dalam HUkum Pidana, 2023, p. 2)

( Dasar pemikiran dalam hukum pidana bertumpu pada tiga konsep : pelanggaran, kesalahan, dan hukuman. Sebelum membahas substansi dan fungsi masing-masing, mungkin ada baiknya mempertimbangkan hubungan di antara merekaTiga konsep ini melambangkan tiga masalah dasar substansi (sebagai lawan dari prosedur) dalam hukum pidana: (1) perilaku apa yang harus ditetapkan sebagai kejahatan; (2) penentuan apa yang harus dibuat sebelum seseorang dapat dibuktikan telah melakukan tindak pidana; (3) apa yang harus dilakukan dengan orang-orang yang terbukti melakukan tindak pidana )

Apa yang telah dikatakan oleh Herbert L. Packer tersebut dalam konteks Indonesia lazim disebut dengan tiga pilar hukum pidana atau trias hukum pidana (Ajaran Kesalahan Dalam Hukum Pidana, 2023, p. 2)

Senada dengan Packer,  Masruchin Ruba'i menyebutkan tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yakni sifat melawan hukumnya perbuatan, kesalahan dan pidana (Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, 1997, p. 1)

 
TINDAK PIDANA BIDANG KESEHATAN 

Terkait dengan Hukum Pidana di bidang Kesehatan, Dr. M. Arif menyatakan bahwa semua ketentuan yang ada di dalam Hukum Pidana Kesehatan pada hakikatnya hanyalah Hukum Administrasi yang memuat ancaman sanksi pidana di dalamnya dengan jumlah dan jenis yang terbatas.


Contoh  pasal pasal yang memuat sanksi pidana sebelum penerbitan UU Kesehatan No.17/2023 Tentang Kesehatan diantaranya termaktub di dalam UU No. 29/2009 tentang Praktek Kedokteran, UU No. No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit  dan UU No. 36/2014  tentang Tenaga Kesehatan.


Sesudah terbitnya UU Kesehatan No.17/2023 omnibuslaw, semua UU di atas dicabut dan tidak berlaku lagi. Adapun pasal pasal yang memuat pidana disatukan di dalam UU Kesehatan No.17/2023 terdapat di dalam pasal pasal 427 -- 448 Bab XVIII. Namun, ketentuan pasal 427 -- 429, 431, dan 432 berlaku sampai dengan diberlakukannya UU No. 1/2023 tentang KUHP ( pasal 455 UU Kesehatan No. 17/2023 )

'Jadi ', lanjut Dr.M.Arif, ' kalau kita berbicara tentang Tindak Pidana Kesehatan di dalam konteks sebelum dan sesudah terbitnya UU Kesehatan No 17/2023, adalah ketentuan pidana yang ada di dalam Hukum Administrasi  yang diatur di dalam UU tersebut di atas'

TINDAK PIDANA MEDIK

Marilah kita kembali kepada Tindak Pidana Medik.

Sekadar mengingatkan kembali bahwa Tindak Pidana Medik yang dimaksudkan di dalam tulisan ini adalah pelanggaran ketentuan Hukum Pidana yang terkait dengan Tindakan Medis dalam bentuk preventif (pencegahan penyakit) , diagnostik (penegakkan diagnostik) , terapeutik (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan dari kecacatan/penyakit) yang dilakukan oleh Tenaga Medis (dokter/dokter gigi)  yang menimbulkan kerugian terhadap pasien.

Pertanyaan kita ialah apakah Tindak Pidana Medik ada diatur di dalam Hukum Pidana Bidang Medik dan ada ketentuan khususnya ?. Apakah ketentuan khusus tersebut terkait hukum materiil dan hukum formil nya ?.

Menurut kami, sampai saat ini belum ada aturan Hukum Pidana Bidang Medik sehingga dengan demikian belum ada ketentuan khusus dari Tindak Pidana Medik  sebagai Hukum Pidana Khusus dengan kekhususan dari sisi Hukum Pidana Materiil maupun Formil. Artinya, Tindak Pidana Medis belum dianggap sebagai Tindak Pidana Khusus

Karena tidak ada ketentuan khususnya, maka akan berlaku lah ketentuan pasal 103 KUHP   dimana  Tindak Pidana Medik ini diperlakukan sebagai Tindak Pidana Umum di dalam Hukum Pidana Umum yang  diatur di dalam kodifikasi, yakni KUHP dan KUHAP

 

DILEMA

Jika Tindak Pidana Medik ini dikembalikan kepada Hukum Pidana Umum, maka akan muncul  sejumlah dilema.

Hampir dapat dipastikan, kita akan mengalami kesukaran mengaplikasikan 3 pilar dari Hukum Pidana Umum yakni Perbuatan/Tindak Pidana, Pertanggungjawaban/Kesalahan serta Pidana terhadap kasus kasus yang dikonstruksi sebagai Tindak Pidana Medik.

Dr. dr. M.Nasser,SpDVE, D.Law , seorang pakar Hukum Kesehatan Indonesia dan Gubernur World Association For Medical Law (WAML) -- dalam perbincangannya dengan saya -- memaparkan setidaknya ada 12 hal yang membedakan antara Tindak Pidana Umum dengan Tindak Pidana Medik sehingga kita tidak semestinya memperlakukan Tindak Pidana Medik itu sebagai Tindak Pidana Umum (M.Nasser, Riki Tsan, 2024)

Artinya, konstruksi yuridis Tindak Pidana Medik seyogyanya berbeda dengan konstruksi yuridis Tindak Pidana Umum.

Ambil contoh soal perbuatan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang atau bersifat melawan hukum dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu (Asas Asas Hukum Pidana, 2023, pp. 102-103).
Dalam konteks ini, di dalam Hukum Pidana  kita mengenal Asas Legalitas.

Prof Dr.Teguh Prasetyo, SH,Msi mengatakan bahwa Asas Legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyanggah hukum pidana. Asas ini tersirat di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi : ' Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan' (Hukum Pidana, 2019, pp. 37-40)

Jadi, singkatnya  tidak ada pidana tanpa (landasan) perundang undangan.

Prof. Topo menulis, 'Jika kita berbicara tentang perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana itu, kita berbicara tentang criminal act (perbuatan pidana) dimana landasannya yang sangat penting adalah Asas Legalitas ( principle of legality ) yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terelbih dahulu dalam perundang undangan.

Asas ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali artinya tiada delik, tiada hukuman, tanpa sebelumnya perbuatan itu diatur dalam undang undang pidana (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 317)

Sementara itu, ada 4 prinsip yang terkandung di dalam Asas Legalitas ini yakni Lex Scripta ( hukuman harus didasarkan undang undang tertulis ), Lex Certa ( undang undang yang dirumuskan terperinci dan cermat, bentuk dan beratnya hukuman harus jelas ditentukan dan bisa dibedakan), Lex Praevia ( larangan berlaku surut ) dan Lex Stricta (undang undang harus dirumuskan dengan ketat dan larangan hukuman  atas dasar analogi )

Tujuan dari penerapan Asas Legalitas ini - dalam pandangan Cesare Beccaria, seorang tokoh Italia dengan karya monumentalnya On Crimes and Punisment ( Delliti e Delle Pene ) adalah bahwa agar setiap kejadian hukuman tidak menjadi tindakan kekerasan atau kesewenang wenangan oleh satu atau banyak orang terhadap warga negara.......hukuman harus sebanding dengan kejahatan dan ada landasan hukumnya' (Hukum Pidana, Suatu Pengantar, 2022, p. 314)

Von Feurbach (1775-1833) , ahli hukum Jerman, sebagai penggagas Asas Legalitas ini menegaskan bahwa perbuatan perbuatan yang dilarang di dalam peraturan, bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus ditulis dengan jelas, tetapi juga tentang macam macamnya pidana unuk pelanggaran peraturan'

Dalam konteks ini,  secara Hukum Pidana Materiil,  Tindak Pidana Medik  ini masih kabur/belum jelas, tidak termaktub secara eksplisit di dalam undang undang baik unsur perbuatan maupun ancaman pidananya dan dalam penerapannya cenderung digunakan instrumen analogi dengan unsur perbuatan dan pidana di dalam Tindak Pidana Umum.

Memasukkan Tindak Pidana Medik ke dalam kelompok Tindak Pidana Umum -- seperti kata Dr. M.Arif -- akan memunculkan resiko resiko.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita menyimpulkan :

  • Walaupun Tindak Pidana Medik berbeda secara diametral dengan Tindak Pidana Umum, namun dalam kenyataannya sampai saat ini Tindak Pidana Medik  - oleh sebagian ahli hukum pidana - masih dianggap tidak memiliki kekhususan baik dari aspek materil maupun aspek formilnya sehingga belum dimasukkan ke dalam Hukum Pidana Khusus.
    Karena tidak ada ketentuan/aturan khususnya, dengan demikian, tidak mengherankan kalau aparat penegak hukum (seperti polisi dll) memperlakukan Tenaga Medis yang diduga melakukan Tindak Pidana Medik  sebagai pelaku Tindak Pidana Umum

  • Penerapan Tindak Pidana Medik dengan menggunakan Hukum Pidana Hukum amat absurd dan dilematis karena setidaknya bertentangan dengan Prinsip dan Asas Legalitas Hukum Pidana itu sendiri.

  • Penerapan Tindak Pidana Medik dengan menggunakan Hukum Pidana Umum atau memasukkannya ke dalam kelompok Tindak Pidana Umum berpotensi menimbulkan kesewenang wenangan ataupun 'kriminalisasi ' terhadap Tenaga Medis sehingga dapat memunculkan berbagai resiko.

DAFTAR PUSTAKA

  • Aditya Wiguna Sanjaya. (2023). Ajaran Kesalahan Dalam Hukum Pidana. Depok: Rajagrafindo Persada.
  • Andi Hamzah. (1994). Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
  • BPK, J. (2019, Desember 4). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2019 PPPNS Bidang Kesehatan. Retrieved from JDIH BPK Database Peraturan: https://peraturan.bpk.go.id/Details/138672/permenkes-no-82-tahun-2019
  • Edward Omar Sharif Hiariej. (2016). Prinsip Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
  • Herbert L Packer. (2023). The Limits of The Criminal Sanction di dalam Ajaran Kesalahan Dalam HUkum Pidana. Depok: RajaGrafindo Persada.
  • Junabiko Alty. (2019, Mei 5). Hukum Kesehatan: Studi Kasus Dokter Setyaningrum. Retrieved from Academia: https://www.academia.edu/39166885/Hukum_Kesehatan_Studi_Kasus_Dokter_Setyaningrum?auto=download
  • M.Arif Setiawan. (2024, April 21). Hukum Pidana Bidang Kesehatan. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
  • M.Nasser, Riki Tsan (2024). Pidana Medik Bukan Pidana Umum [Recorded by M.Nasser]. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
  • Masruchin Ruba'i. (1997). Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Malang: IKIP Malang.
  • Moeljatno. (2021). KUHP Kitab Undang Undang HUkum Pidana. Jakarta Timur: Bumi Aksara.
  • Muhammad Endriyo Susila. (2020, Agustus 25). Malpraktik (Medik) Pidana vs Tindak Pidana Medik. Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/endrio/5f447d52097f36247858ce32/malpraktik-medik-pidana-vs-tindak-pidana-medik
  • Pedia.ID, P. (2008, Maret 28). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008. Retrieved from Peraturan Pedia.ID: https://peraturanpedia.id/peraturan-menteri-kesehatan-nomor-290-menkes-per-iii-2008/
  • Riki Tsan. (2023, November 28). Mempersoalkan Penggunaan Istilah Malapraktik. Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/rikitsan/6565f1d0c57afb76ba046cb2/mempersoalkan-penggunakan-istilah-malapraktik
  • Sutan Remy Sjahdeini. (2020). Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis Jilid 1. Bogor: IPB Press.
  • Teguh Prasetyo. (2019). Hukum Pidana. Depok: Rajagrafindo Persada.
  • Topo Santoso. (2022). Hukum Pidana, Suatu Pengantar. Depok: RajaGrapindo Persada.
  • Topo Santoso. (2023). Asas Asas Hukum Pidana. Depok: Rajawali Pers.
  • Zainal Arifin Mochtar, Eddy O.S Hiariej. (2023). Dasar Dasar Ilmu Hukum, Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum. Depok: RajaGrafindo Persada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun