dr.Riki Tsan,SpM
Pengetahuan tentang adanya hubungan antara dokter dan pasien telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, 18 abad sebelum Masehi, dengan ditemukannya sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Codex Hammurabi (Piagam Hammurabi).
Salah satu isi dari Piagam Hammurabi yang berhubungan dengan Hukum Kesehatan adalah adanya hubungan hukum antara dokter atau tabib dengan pasien perihal ganti rugi, yang berbunyi:
'Seorang dukun (tabib) yang pasiennya meninggal dunia ketika sedang menjalani operasi, dijatuhi hukuman berupa kehilangan tangannya dengan cara dipotong (Dr.H.Desriza Rahman SH,MHKes, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik hal. 20)
Hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter.
Hubungan yang sangat pribadi itu, oleh Wilson digambarkan seperti hubungan antara pendeta dan jamaahnya yang sedang 'curhat', mencurahkan perasaannya atau isi hatinya. (Dr.Hj Endang K,SH,MHum,Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Tenaga Medis di Rumah Sakit, hal.97)
Belakangan, Szas dan Hollender (1956) dan juga Solis menganalisis perkembangan hubungan dokter dan pasien dalam 3 model/pola/fase, yakni model Activity-Passivity/Paternalistik, model Guidance-Cooperation dan model Mutual Participation (Solis,Legal Medicine 1980,hal 33)
Kita akan menguraikan secara singkat masing masing model hubungan dokter dan pasien berikut ini.
1. Model Activity-Passivity Relation/PaternalistikÂ
Secara historis, model Aktif-Pasif atau Paternalistik ini merupakan model klasik yang sudah dikenal sejak profesi kedokteran mulai mengenal Kode Etik, yakni sejak zaman Hippokrates, beberapa abad yang silam.
Model hubungan Paternalistik adalah hubungan yang hanya semata mata berfokus kepada kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya. Hubungan ini terwujud sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peranannya secara aktif.