Penelaahan karya sastra senantiasa membutuhkan paradigma berpikir baru yang dinamis dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hal ini karena karya sastra sendiri terus bergerak dan berjalan beriringan dengan berbagai peristiwa sosial. Pada tiap masa karakteristik karya sastra yang muncul berbeda-beda. Sejak awal penanggalan periode pujangga baru misalnya, persoalanpersoalan kebudayaan dikemas dengan sangat konvesional. Sedangkan saat ini, berbagai kebudayaan baru bermunculan. Terutama yang berkaitan erat dengan teknologi. Karya sastra merekam perubahan-perubahan kebudayaan tersebut. Dalam perbedaan itu, memandang dan meneliti karya sastra dengan demikian membutuhkan paradigma dan teori baru yang relevan. Upaya ini dilakukan agar penelaahan terhadap karya sastra dapat dilakukan dengan komprehensif. Secara khusus dalam bidang filsafat, kemunculan babak baru yang disebut sebagai posmodernisme berpengaruh besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam sastra Indonesia yang diaplikasikan dalam kajian teori dan kritik sastra. Jika pada masa sebelumnya, memandang karya sastra cukup dengan membongkar unsur intrinsik dan ekstrinsik yang berpatokan pada unsur-unsur pembentuk karya sastra saja atau disebut dengan metode struktural, kini dinilai tidak memumpuni lagi. Perkembangan masyarakat dengan segala elemen pembentuknya menuntut untuk dimunculkannya cara pandang baru yang dapat menangkap semua gejala tersebut.
Membaca sastra: pengantar memahami sastra untuk perguruan tinggi
Mengapa pertanyaan "Sastra Itu Apa" penting untuk diajukan pada awal kuliah? Pertama-tama karena melalui pertanyaan itu Anda didorong untuk (lebih) ingin tahu tentang objek yang akan dibicarakan sepanjang kuliah. Dengan demikian, Anda diharapkan mampu melakukan suatu proses penjelajahan yang meningkatkan bukan saja kepekaan dan pemahaman tentang karya sastra, tetapi juga rasa sayang setelah mengenal "apa itu sastra". Dengan demikian, yang penting dari kegiatan belajar-mengajar ini bukan suatu kesimpulan yang jelas dan baku, atau suatu deretan hafalan, tetapi suatu pengalaman menikmati karya sastra itu sendiri.
Konsep dan Definisi
Kalau ada yang bertanya "karya sastra itu apa", kira-kira apa jawabannya? Barangkali Anda langsung ingat sederetan nama pengarang dan karyanya yang harus dihafalkan waktu belajar di sekolah menengah. Atau, Anda ingat sejumlah kalimat dengan gaya bahasa yang berbunga-bunga. Tapi ada suatu cara yang lebih membantu kita memahami karya sastra, yaitu melalui pembandingan dengan teks yang "bukan" karya sastra.
Coba simak sebuah berita yang dimuat di sebuah media cetak mengenai kasus perkosaan pada bulan Mei 1998 berikut ini.
Fraksi Karya Pembangunan menanyakan kemungkinan TGPF menampilkan saksi. "Saya minta satu contoh saja,' ujarnya. ... "Kalau tidak ada sumber primer, apakah data-data ini bisa kita anggap valid? Korbannya mana? Saksi matanya mana?" ujarnya.
Tim Gabungan [Pencari Fakta] akhirnya mengeluarkan angkanya sendiri: 146 korban pemerkosaan dan kekerasan seksual. Tampaknya di sini "pemerkosaan" dan "kekerasan seksual" digabung. Sebuah sumber menyebut bahwa yang benar-benar diperkosa dalam pengertian yang lazim-yakni dipaksa berhubungan seksual tidak sampai 20 orang. Yang lain umumnya diperlakukan dengan keji, antara lain pengrusakan anggota tubuh.
(Dari "Jalan Panjang Tragedi Itu", Tempo, edisi 6-12 Oktober 1998, h. 59)
coba bacalah cuplikan berikut.
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima telepon dari rumah. "Jangan pulang," kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar, Papa, Mama, Monica dan Sinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. "Jangan pulang. Selamatkan diri kamu, pergilah langsung ke cengkareng.
terbang ke Singapore atau Hongkong, pokoknya ada tiket. Kamu selalu bawa paspor, kan?
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan.... Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit perusahaan patungan kami di Hongkong, Beijing, dan Macao diperbesar, tetesannya lumayan untuk menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang.... Tapi di ujung jalan itu saya lihat ada segerombolan orang. Sukar sekali menghentikan mobil.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
"Buka jendela," kata seseorang.
Saya buka jendela.
"Cina!"
"Cina!"
Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian. Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?
"Saya orang Indonesia," kata saya dengan gemetar
Braak! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.
"Periksa! Masih perawan atau tidak dia!"
Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masing-masing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula. Saya lihat lampu HP saya berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedih hati saya tidak bisa saya ungkapkan. Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa.
Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan papa: "Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai
di Hongkong, Sydney atau paling tidak Singapore. Tabahkan hatimu Clara, kedua adikmu, Monika dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja."
(Seno Gumira Ajidarma, "Clara", Iblis Tidak Pernah Mati)
Nah, apa perbedaan pengalaman membaca kedua teks di atas? Perbedaan pengalaman itu menunjukkan apa yang bisa Anda dapatkan ketika membaca suatu karya sastra, dibandingkan dengan membaca pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual, berita, atau juga opini. Berbedakah perasaan Anda ketika membaca artikel di majalah dan ketika membaca cuplikan di atas? Apa yang Anda dapatkan ketika membaca artikel di media massa dan apa yang Anda dapatkan ketika membaca cuplikan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma di atas?
Melalui berbagai kegiatan di kelas pada pertemuan yang pertama ini, Anda akan mempelajari bagaimana karya sastra menyampaikan "pemahaman" tentang kehidupan dengan caranya sendiri. Beberapa kritikus mengajukan batasan yang berbeda-beda untuk menjawab pertanyaan ini. Danziger dan Johnson (1961) melihat sastra sebagai suatu "seni bahasa", yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. (Dalam hal ini bisa dibandingkan dengan seni musik, yang mengolah bunyi; seni tari yang mengolah gerak dan seni rupa yang mengolah bentuk dan warna). Daiches (1964) mengacu pada Aristoteles yang melihat sastra sebagai suatu karya yang "menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain", yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.
Dalam kegiatan kelas, Anda akan membandingkan teks sastra dan teks yang beragam ilmiah. Anda akan membandingkan ungkapan-ungkapan yang bersifat denotatif, yang memberikan arti dasar suatu kata, dan yang bersifat konotatif, yang memberikan nuansa khusus. Contohnya, kata "merah" mempunyai arti denotatif warna yang dipakai di bendera kita. Tetapi warna merah dipakai di bendera kita justru karena warna itu mempunyai arti konotatif, yakni menyimbolkan sifat berani. Apa makna konotatif lain warna merah yang ada di masyarakat kita, misalnya yang ada dalam simbol-simbol PDIP? Bagaimana dengan warna merah pada lambang PRD? Dalam latihan-latihan, Anda juga akan membandingkan makna yang secara langsung disampaikan oleh suatu teks, yakni makna yang tersurat, dan makna yang harus ditafsirkan sendiri oleh pembaca karena tersembunyi di balik kata-kata yang ada. Makna yang seperti ini disebut makna tersirat. Dalam cuplikan cerpen di atas, tidak ada ungkapan yang secara langsung mengatakan bahwa "Perkosaan terhadap kelompok manapun adalah perbuatan yang sangat keji dan tidak dapat dibenarkan" atau "Kebencian terhadap kelompok Cina didasarkan pada generalisasi yang secara tidak adil mengkotakkan manusia." Tetapi, hal-hal semacam ini secara tidak langsung muncul dari penggambaran tokoh Clara dan apa yang dialaminya dalam cerita di atas.
Bahasa yang dipakai dalam artikel di media massa menekankan hal-hal yang bersifat teknis, seperti data, fakta, sumber primer, bukti, dan contoh. Sedangkan cuplikan cerpen yang kita baca di atas menggambarkan nuansa-nuansa perasaan dan pikiran yang tidak bisa diwakili oleh angka dan statistik.Â
   Sastra adalah cerminan dari kehidupan manusia, dengan segala kompleksitas, emosi, dan pengalaman yang terkandung di dalamnya. Memahami sastra tidak hanya membantu kita mengapresiasi keindahan karya tulis, tetapi juga memberikan wawasan tentang budaya, sejarah, dan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mahasiswa perguruan tinggi, mempelajari sastra merupakan bagian penting dari pendidikan yang komprehensif. Esai ini bertujuan untuk memberikan pengantar tentang pemahaman sastra, mencakup definisi sastra, jenis-jenis sastra, pendekatan dalam studi sastra, dan relevansinya dalam pendidikan tinggi.
*Definisi Sastra*
Sastra adalah karya tulis yang memiliki nilai estetik dan artistik, serta menyampaikan pesan atau makna tertentu kepada pembacanya. Sastra mencakup berbagai genre, seperti puisi, prosa, drama, dan esai. Karya sastra tidak hanya ditulis untuk tujuan hiburan, tetapi juga untuk menyampaikan ide, perasaan, dan pandangan tentang kehidupan. Sastra sering kali dianggap sebagai cerminan dari masyarakat dan budaya di mana karya tersebut diciptakan.
*Jenis-Jenis Sastra*
Sastra dapat dibagi menjadi beberapa jenis atau genre utama, masing-masing dengan karakteristik dan tujuan yang berbeda. Berikut adalah beberapa jenis sastra yang umum dipelajari di perguruan tinggi:
1. Puisi
Puisi adalah bentuk sastra yang menggunakan bahasa yang padat dan berirama untuk menyampaikan perasaan, pemikiran, dan pengalaman. Puisi sering kali menggunakan perangkat sastra seperti metafora, simile, dan simbolisme untuk menciptakan makna yang lebih dalam. Puisi dapat berbentuk lirik, epik, naratif, atau dramatik.
2. Prosa
Prosa adalah bentuk sastra yang ditulis dalam bahasa biasa, tanpa ritme atau rima yang ketat. Prosa mencakup berbagai subgenre seperti novel, cerpen, dan esai. Novel adalah karya fiksi yang panjang dan kompleks, sementara cerpen adalah karya fiksi yang lebih pendek dan fokus pada satu peristiwa atau karakter. Esai adalah tulisan nonfiksi yang mengeksplorasi ide atau argumen dengan cara yang sistematis dan terstruktur.
3. Drama
Drama adalah bentuk sastra yang ditulis untuk dipentaskan di atas panggung. Drama mencakup dialog antara karakter-karakter dan petunjuk panggung yang mengarahkan aksi. Drama dapat dibagi menjadi berbagai subgenre seperti tragedi, komedi, dan melodrama. Karya drama sering kali mengeksplorasi tema-tema seperti konflik, cinta, dan moralitas.
*Pendekatan dalam Studi Sastra*
Studi sastra melibatkan berbagai pendekatan kritis yang membantu kita memahami dan menginterpretasi karya sastra. Berikut adalah beberapa pendekatan utama yang sering digunakan dalam studi sastra di perguruan tinggi:
1. Pendekatan Formalis
Pendekatan formalis fokus pada struktur internal karya sastra, seperti bentuk, gaya, dan perangkat sastra yang digunakan. Pendekatan ini menekankan analisis teks itu sendiri, tanpa mempertimbangkan konteks sejarah atau biografis penulis. Pendekatan formalis membantu kita memahami bagaimana elemen-elemen sastra bekerja sama untuk menciptakan makna dan efek estetik.
2. Pendekatan Historis
Pendekatan historis mengeksplorasi konteks sejarah di mana karya sastra diciptakan. Pendekatan ini mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang sejarah, budaya, dan sosial yang mempengaruhi penulis dan karyanya. Dengan memahami konteks sejarah, kita dapat lebih mengapresiasi makna dan pesan yang terkandung dalam karya sastra.
3. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis menggunakan teori dan konsep psikologi untuk menganalisis karakter dan dinamika batin dalam karya sastra. Pendekatan ini membantu kita memahami motif, perasaan, dan konflik yang dialami oleh karakter-karakter dalam cerita. Teori-teori psikologi seperti psikoanalisis Sigmund Freud dan teori perkembangan Erik Erikson sering kali digunakan dalam analisis psikologis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H