Beberapa saat kemudian, pandangannya beralih dari lawan bicaranya kepadaku yang berdiri di kejauhan. Ada sebersit ekspresi kaget di sana, namun dia tidak tersenyum. Kukira Jun Pyo juga akan senang melihatku, ternyata tidak. Tatapannya sedingin es dan secepat kilat beralih kembali kepada wanita yang menjadi lawan bicaranya.
Senyum di wajahku perlahan-lahan pupus. Inikah akhirnya, Jun Pyo, batinku. Tak perlu percakapan, tak perlu melepas rindu di antara kita. Tak perlu lagi aku mempertanyakan makna pesan terakhir darimu. Enam bulan lalu kamu dengan mudah mengatakan saranghanda, tapi perasaan itu sepertinya sudah tidak berbekas sekarang.
Seharusnya aku tahu, seharusnya sejak dia tidak pernah mengirim kabar dalam enam bulan terakhir aku sudah menyadari bahwa kisah kami sudah selesai. Bahwa tidak ada gunanya mengharapkannya akan kembali. Semua kerja kerasku untuk mengantarkanku ke Makau berujung sia-sia. Yang kurasakan sekarang hanyalah rasa malu pada diri sendiri karena sudah berani mengharapkan lebih dari yang aku pantas dapatkan.
Dengan perasaan sedih aku berjalan-jalan di sekitar hotel miliknya. Aku bingung, perasaanku kacau, apa yang harus kulakukan sekarang. Masakkan aku pulang begitu saja tanpa kami bertukar kabar barang satu, dua patah kata?
Tanpa kusangka Jun Pyo juga ada di situ. Dengan tergesa-gesa dia berjalan mendekatiku.
Apa yang kamu lakukan di sini?
Apa yang kamu mau dariku?
Pulanglah, tempatmu bukan di sini. Tempatmu bukan denganku.
Air mataku perlahan-lahan menetes menyaksikannya berdiri menjulang di depanku dengan amarahnya dan dengan kebohongannya. Aku sangat mengenalmu, Jun Pyo, batinku. Aku tahu dirimu lebih dari yang kamu kira. Aku menyadari setiap kali kamu ingin menutupi perasaaanmu yang sebenarnya, kamu akan marah. Dan itulah yang kamu lakukan padaku sekarang.
Aku tidak hanya menangisi diriku yang kehilangan seorang kekasih detik ini. Aku juga menangisi dirinya dengan semua beban yang dia pikul sendirian. Orang tuanya, bisnis keluarganya, ekspektasi mereka tentu semuanya jauh melampaui apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri dan untuk masa depannya. Jauh melampaui apa yang ia inginkan untukku, untuk kami.
Dengan rasa maklum aku menyaksikannya dengan berapi-api meluapkan kejengkelan dan protes kepada hidup yang menurutnya tidak adil. Kepada hidup yang membuatnya harus mengambil jalan yang orang lain putuskan untuknya, dan bukan jalan yang ia pilih sendiri. Kepada hidup yang membuatnya harus membuangku, gadis pertama yang ia cintai sepenuh hati. Katanya.