Batu karang yang kokoh, yang dihantam oleh air laut selama ratusan purnama, pada akhirnya akan berlubang juga.
Demikianlah diriku yang tidak menyukai Jun Pyo, namun menerima semua limpahan kasih sayang, perhatian, dan rasa cemburunya yang berlebihan dalam kurun waktu yang lama, pada akhirnya akan luluh juga.
Aku menyadari perasaanku yang sebenarnya pada Jun Pyo justru setelah aku dengan malu-malu menyambut kecupan lembut Ji Hu di bibirku. Jun Pyo yang memergoki kami marah besar.
Tidak, dia tidak marah, dia murka. Sangat murka sehingga memutuskan persahabatannya dengan Ji Hu yang dia kenal sejak kecil. Terlalu murka sehingga memutuskan sebuah pertandingan dan yang menjadi pemenangnya akan mendapatkan diriku. Aku bukan sebuah piala, aku bukan sebuah suvenir tanda sebuah kemenangan. Namun mau tak mau aku merasa tersanjung karena ada dua orang pria yang memperebutkanku.
Aku lupa siapa yang pada akhirnya memenangkan pertandingan konyol itu, yang pasti Jun Pyo adalah pemenang hatiku. Ragaku tak bisa lagi menyangkal apa yang dirasakan oleh segenap batinku. Iya, aku suka. Aku juga menyukai Jun Pyo.
Kupikir perjalanan cinta kami akan berjalan mulus. Itu adalah mimpiku sebagai seorang bocah ingusan yang belum hidup terlalu lama. Jurang di antara kami berdua terlalu lebar: kekayaan, status sosial, latar belakang keluarga, dan lain sebagainya. Walaupun Jun Pyo sepertinya tidak mempermasalahkan hal ini, dia selalu dengan senang hati menggunakan kekayaannya untuk membantuku dan keluargaku, namun tidak demikian halnya dengan ibunya.
Ibu Jun Pyo tidak pernah lupa mengingatkan anaknya bahwa dia orang kaya, bahwa suatu hari nanti dia akan mewarisi semua kekayaan yang telah ditimbun oleh kedua orang tua dan generasi yang ada sebelum dia lahir. Dan untuk menjadi pewaris sebuah tahta dan harta yang bergelimang, Jun Pyo memerlukan seorang pendamping yang seimbang.
Seorang pendamping yang kurang lebih sama kaya, yang sama-sama terhormat, yang sama-sama bereputasi baik. Wajah yang rupawan, pembawaan yang elegan, pakaian yang menawan pastilah sebuah keniscayaan. Seorang gadis kaya yang diharapkan bersanding dengan Jun Pyo suatu hari nanti pasti seumpama tuan putri bagi aku, katak yang hidup di sebuah kolam yang teramat kecil.
Kamu takkan sebanding, kamu takkan ada apa-apanya, kamu takkan cukup berharga untuk dipertahankan oleh anakku, Jun Pyo.
Ibu dari pria yang kucintai itu perlahan-lahan menabur benih ketidakpercayaan diri dan bibit keragu-raguan pada diriku sendiri. Sehingga pada akhirnya, aku yang merasa minder berinisiatif meninggalkannya. Jun Pyo patah hati. Dia tidak menyerah; dia mengejar untuk mendapatkanku lagi.
Hingga pada satu titik, darah terbukti lebih kental daripada air. Ikatan antara dirinya dengan keluarganya lebih kuat daripada perasaannya padaku. Dengan tiba-tiba dia meninggalkan Seoul untuk mengambil alih kerajaan bisnis milik orang tuanya. Hanya dengan satu pesan singkat dia memutuskan hubungan kami supaya cukup sampai di situ saja.