Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyoal Pernyataan "Pembelajaran Jarak Jauh yang Telah Memakan Korban"

19 September 2020   17:06 Diperbarui: 20 September 2020   09:15 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin saya membaca sebuah artikel di Kompasiana yang membuat saya terhenyak. Artikel tersebut menyoal PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) yang ditenggarai sudah memakan korban pertamanya. Artikel tersebut kemudian menguraikan sebuah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya dan menyambungkannya dengan PJJ.

Apa pasal? Si anak, yang merupakan salah satu dari sepasang saudara kembar, tidak kunjung mengerti waktu sang ibu mengajarinya materi pelajaran di sekolah. Sang ibu yang kehilangan kesabaran kemudian memukuli anaknya secara bertubi-tubi sampai ia meregang nyawa. 

Tak sampai di situ, suaminya pun bersekongkol untuk menguburkan jenazah sang anak secara diam-diam sejauh ratusan kilometer dari tempat mereka bermukim.

Yang membuat saya terhenyak sebenarnya sedikit sangkut pautnya dengan kasus kekejian tersebut. PJJ dan pembunuhan adalah dua hal yang sangat berbeda, sama berbedanya antara mobil dan mangga. Beberapa poin acak yang justru muncul di benak saya adalah sebagai berikut:

  1. Tanggung jawab moral sebagai penulis
  2. Implikasi dari kecacatan logika (logical fallacy)
  3. Aplikasi PJJ dan peran stakeholder terkait

Tanggung jawab moral sebagai penulis

Seorang penulis memiliki wewenang penuh atas tulisannya. Ia berhak menentukan judul, isi, dan kesimpulan dari hal yang ia tulis. Akan tetapi, sebagaimanapun ia ingin tulisannya dibaca oleh orang lain, ia bertanggung jawab secara moral terhadap pertama-tama dirinya sendiri.

Judul yang clickbait adalah sah jika isi tulisan memang memberi manfaat pada pembaca. Judul yang clickbait tanpa isi tulisan yang berfaedah hanya berujung menjadi sampah di belantara dunia maya yang sudah terlalu berisik oleh berbagai pemberitaan dan opini.

Oleh karena itu, sebelum menulis seseorang semestinya melakukan dua hal berikut ini:

  1. Riset

Apakah penulis memiliki kompetensi di bidang yang ia ingin bahas? Saya ambil sebuah contoh, apakah Anda akan mempercayai tulisan dari seorang kuli bangunan mengenai aman tidaknya berenang di kolam renang umum semasa pandemi?

Saya pribadi tidak akan mempercayai tulisan itu. Soal pandemi, soal kesehatan personal dan masyarakat, saya serahkan kepada orang-orang yang memang berkompetensi di situ, yang terdidik dan terlatih di bidang itu, seperti para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya.

Banyak orang akan menyanggah dengan fakta bahwa kebanyakan dari kita tidak bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan kita. Memang benar, tapi setidaknya orang akan melihat latar belakang pekerjaan dan karir kita yang terakhir untuk menilai kefasihan kita dalam membicarakan sebuah perihal.

Tanpa latar belakang yang memadai, seorang penulis hanya akan berujung menulis tentang opini. Untuk menunjang kesahihan pendapatnya, ia bisa melakukan riset. 

Ia bisa bertanya kepada mereka yang memang berkompetensi di bidang itu (sumber informasi primer). Ia bisa juga mencari sumber informasi sekunder lewat tulisan formal yang diakui banyak kalangan.

Beneran deh, jangan mengandalkan Wikipedia. Jika memungkinkan, maka carilah sumber informasi dari institusi pendidikan (jurnal ilmiah) atau media massa yang kredibel. 

Mereka memiliki reputasi yang baik karena mereka bekerja keras memeriksa silang semua informasi, fakta, dan data sebelum menayangkannya. Sebab sekali mengabarkan yang tidak benar, seumur hidup orang tak percaya lagi.

        2. Riset

Iya, riset lagi. Lakukan riset terus-menerus dan berhentilah ketika semua informasi sudah dicek kebenarannya. Riset yang berulang-ulang bukanlah tanda tiadanya kepercayaan diri. Riset yang mendalam adalah tanda kehati-kehatian dalam hubungannya dengan tanggung jawab moral penulis yang sempat saya sebutkan di atas.

Ketika mengambil data, pastikan sumber datanya terpercaya. Ketika mengolah data, pastikan logika dasar tidak dilanggar. Seorang penulis tidak harus menguasai ilmu matematika dan statistika untuk membaca dan menyimpulkan data, tapi alangkah baiknya jika latar belakang itu ada. 

Dengan penggunaan data, seorang penulis akan membuat jarak antara dirinya dengan bahan tulisannya. Ia akan bisa berperilaku obyektif dan tidak mengedepankan asumsi dan pendapat pribadinya.

Tentu saja semua hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Bagaimana mungkin seorang penulis opini memiliki obyektivitas seratus persen terhadap bahasan tulisannya? Tentu tidak mungkin, karena namanya juga tulisan opini, yang dijabarkan tentunya adalah pendapat penulis berdasarkan subyektivitasnya.

Namun demikian, tak ada salahnya menampilkan juga obyektivitas dengan cara, seperti yang saya sebutkan di atas, menggunakan data eksternal dan/atau melibatkan pendapat orang lain. Apa itu perlu? Iya. 

Sebagai bagian dari tanggung jawab moralnya, penulis perlu menyuguhkan kepada pembaca opini selain opini pribadinya, supaya penulis dan pembaca tulisan sama-sama tidak menjadi seperti katak dalam tempurung.

Berpijak dari pentingnya tanggung jawab moral seorang penulis, pikiran acak kedua muncul di benak saya.

Implikasi dari kecacatan logika (logical fallacy)

Bayangkan ada sebuah pernyataan sebagai berikut.

Kuda hidup di darat. Kuda melahirkan anak.

Ayam juga hidup di darat. Ayam juga melahirkan anak.

Apakah pernyataan di atas benar dan masuk akal? Kita yang mengetahui kuda dan ayam adalah jenis binatang seperti apa pasti langsung menyanggah. Kuda melahirkan anak, tapi ayam bertelur. Kuda dan ayam berada pada satu kingdom (animal) tapi menempati kelas yang berbeda (mamalia dan unggas). Ada kriteria lain yang membedakan kuda dan ayam sehingga cara reproduksi mereka berbeda walaupun mereka sama-sama tinggal di darat.

Semua informasi yang hendak dituangkan ke dalam tulisan harus dicek logikanya. Jika ada pernyataan yang tidak logis, maka yang dipertaruhkan adalah reputasi penulis dan asumsi pembaca. 

Oleh karena itu saya sangat menyayangkan pernyataan "PJJ yang telah memakan korban" karena pernyataan tersebut jelas-jelas cacat logika dan bisa menyesatkan pemahaman pembaca.

Korban, saya kutip dari kamus, berarti orang yang terluka atau terbunuh akibat sebuah kejahatan, kecelakaan, atau peristiwa lainnya. Dalam kasus ibu yang membunuh anaknya, pelaku kejahatan adalah sang ibu, aksesoris kejahatan adalah suaminya, sedangkan korban tindak kejahatan adalah sang anak.

Kejahatan terjadi saat ada pemukulan anak yang melebihi batas niat untuk mengajar dan mendisiplin, dimana pemukulan tersebut berujung kepada kematian. Pemukulan terjadi karena luapan kekesalan sang ibu, karena emosinya yang tidak terkendali. PJJ menjadi kerangka fenomena yang kelihatan di depan mata banyak orang, tapi bukan itu akar permasalahannya.

Menyimpulkan pembunuhan sebagai akibat dari PJJ adalah sebuah kecerobohan. PJJ adalah proses belajar yang terpaksa dipindahkan dari sekolah ke rumah siswa akibat pandemi yang melanda negeri kita dan seluruh dunia. 

Tidak ada negara yang benar-benar siap dengan PJJ. Infrastruktur dan teknologi mungkin sudah siap dan memadai, tapi lebih dari itu, sikap dan mentalitas mereka yang terlibat di dalam PJJ adalah sikap dan mentalitas karbitan.

Kita dipaksa, mau tidak mau harus bisa segera menerima sistem baru ini. Pandemi boleh terjadi, tapi hidup terus berjalan dan pendidikan formal anak tidak boleh dilalaikan. Tidak ada gunanya terus menyangkal fakta bahwa kita sedang berada di tengah pandemi.

Harapan agar kita bisa kembali kepada kehidupan dan aktivitas normal terasa jauh panggang dari api. Yang saya dan banyak orang lain doakan saat ini bukanlah supaya pandemi cepat berlalu, tapi supaya kita bisa melaluinya dengan baik dan tanpa penyesalan.

Bibit-bibit yang kemudian mengakibatkan kejahatan pembunuhan bukanlah PJJ, tetapi sikap dan mentalitas yang tidak siap dari kedua orang tua anak yang malang itu dalam menghadapi keadaan luar biasa seperti pandemi ini.

Dalam kaitannya dengan PJJ, saya pernah menulis surat terbuka kepada Mas Menteri Pendidikan, memintanya untuk menaruh perhatian kepada orang tua yang dipaksa menjadi murid dan guru dadakan bagi anak-anak kita yang terpaksa belajar di rumah.

Sudah bisa ditebak, surat terbuka saya menguap begitu saja. Surat yang saya kirimkan kepada semua alamat email yang tercantum di situs Departemen Pendidikan tidak ada satu pun yang dibalas. Padahal ada urgensi di dalam surat terbuka itu: tolong, tolonglah kami para orang tua.

Kami adalah murid-murid yang tanggung, yang dipaksa menguasai materi dalam waktu sesingkat-singkatnya supaya kami bisa mengajari anak-anak kami. Kami adalah guru-guru yang tidak lengkap, yang tidak mengerti ilmu pedagogi, psikologi, dan lainnya. 

Kami perlu pelatihan, kami juga perlu belajar. Jika pandemi berlangsung berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun, maka tidak mungkin kami tetap dengan kapasitas dan kompetensi yang seadanya untuk mendampingi anak-anak belajar di rumah.

Di dalam surat itu saya meminta Kemendikbud untuk memberikan pelatihan bagi para orang tua. Orang pintar dan staf ahli di bawah Mas Menteri pasti berlimpah, pasti tidak sulit untuk meminta mereka mengadakan seminar secara online. 

Namun pada dasarnya Mas Menteri adalah bukan orang yang tepat pada posisinya dan kapal yang ia nahkodai adalah kapal yang lamban dan enggan berinovasi, jadi kita tidak bisa berharap banyak.

"Terobosan" yang beliau kerjakan baru sebatas penyederhanaan kurikulum dan pembagian kuota internet untuk belajar daring. Kurikulum yang katanya sudah sederhana itu masih penuh dengan jargon dan tidak langsung ke pokok permasalahan. Saya sangat bersimpati pada sekolah dan guru-guru yang kebagian beban menerjemahkan kemauan kurikulum ke dalam rangkaian kegiatan belajar.

Soal kuota internet juga tidak lepas dari carut-marut. Sekolah anak saya baru mendapat informasi tentang program tersebut dari Dinas Pendidikan setempat pada hari Kamis, 27 Agustus 2020. Dengan sigap sekolah membagikan form untuk diisi oleh orang tua murid pada tanggal 28 Agustus.

Deadline pengajuan data siswa ke Dinas Pendidikan adalah hari Senin, 31 Agustus 2020. Jumlah sekolah yang berada di kabupaten kami ada ribuan, dan ada hari Sabtu dan Minggu yang terbuang karena tidak ada ASN di Dinas Pendidikan yang bekerja untuk menginput data. Jelas saja sekolah kami tidak kebagian kuota internet itu padahal sudah memasukkan semua data yang diperlukan!

Yang bikin program niat ga, sih? Ya, pastinya enggak.

Kembali ke soal ibu yang membunuh anaknya tadi. Yang mesti disalahkan bukan PJJ-nya. Orang tua yang terpaksa menceburkan diri mengajari anak di rumah di samping kegiatan rutin seperti bekerja dan mengurus rumah tangga, bukan cuma ibu itu dan suaminya. 

Ada puluhan juta orang tua lain di Indonesia saja yang bernasib sama. Jadi mengapa hanya ada satu (dan semoga tidak bertambah lagi) kasus yang demikian fatal?

Yang semestinya diselidiki lebih jauh adalah sikap dan mentalitas kedua orang tua tersebut. Saya tidak akan mengomentari pasangan ini yang menikah pada usia belia. Kesiapan atau ketidaksiapan berumah tangga pada usia berapa pun adalah hal relatif dan tidak bisa dihakimi begitu saja oleh pihak luar.

Saya hanya bisa menduga pasangan orang tua ini memiliki resiliensi yang rendah terhadap faktor eksternal. Resiliensi yang rendah ditandai oleh ketidakmampuan mengelola stres. 

Seseorang menghadapi tuntutan dan beban bertumpuk-tumpuk. Semua masalah hadir seperti benang kusut pada benaknya dan ia tidak memiliki petunjuk bagaimana mengelola masalah-masalah tersebut.

Tak heran jika suatu saat orang itu "meledak". Kapasitas emosinya sudah direnggangkan sedemikian rupa sampai akhirnya "putus". Ia pun berperilaku kasar, melawan, dan memberontak terhadap orang lain sebagai tanda kekalahan diri. Ini defense mechanism yang bisa dimaklumi penyebabnya, tapi tidak bisa dimaklumi kalau berpotensi mencelakakan orang lain.

Saya bisa memahami perasaan ibu tersebut yang seperti dikepung oleh urusan belajar anak, urusan rumah tangga, dan mungkin juga (tidak ada keterangan pasti mengenai hal ini) urusan ekonomi pasca terjadinya pandemi. 

Sebagai ibu rumah tangga yang juga mengelola sebuah usaha, saya tahu persis rasanya dituntut untuk selalu memberikan dan menjadi yang terbaik dalam segala hal.

Padahal seorang ibu juga seorang manusia yang berhak meminta pertolongan ketika sudah tidak sanggup lagi. Yang terjadi di masyarakat adalah ibu diharapkan untuk selalu tegar dalam kondisi apa pun. Dia dituntut untuk selalu siap sedia menjadi sumber pertolongan bagi orang lain, tak peduli kondisinya sendiri yang sudah di "garis minus".

Ketidakmampuan ibu untuk mengartikulasikan kelelahannya ditambah tuntutan orang sekitar supaya ibu selalu sempurna adalah resep yang pas untuk ledakan emosi yang tak terarah dan tak terkendali.

Kali ini sayangnya anak kandungnya sendiri yang menjadi korban. Kali lain mungkin orang lain yang ia tidak kenal. Tidak ada yang tahu. Selama ibu itu tidak menemukan apa yang salah dalam dirinya dan berusaha memperbaiki kesalahan itu, tindakan keji seperti ini kemungkinan besar dapat berulang di masa depan.

Saya sangat menyayangkan artikel yang memiliki cacat logika tersebut sehingga menimbulkan kesimpulan dan reaksi yang salah dari pembaca. Dari komentar yang saya baca, yang kemudian disalahkan adalah PJJ dan pemerintah. Perihal kesehatan mental dan resiliensi diri yang menjadi akar permasalahan tidak disinggung sama sekali.

Padahal jika kedua hal ini dibereskan, jangankan pandemi, depresi ekonomi sampai tsunami pun saya duga tidak akan dengan mudah meruntuhkan orang-orang yang kuat. Orang-orang yang resilien dan bermental sehat akan bertahan dan tidak akan sampai tega menghilangkan nyawa darah daging tercinta.

Dari sini saya beranjak ke pemikiran acak ketiga.

Aplikasi PJJ dan peran stakeholder terkait

PJJ bukan semata-mata tanggung jawab orang tua murid. Ada tiga stakeholder yang bertanggung jawab menjamin kelangsungan hak anak untuk mendapatkan pendidikan, yaitu: orang tua, sekolah (yang diwakili oleh guru), dan pemerintah (yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).

Menaruh beban penyelenggaraan ke pundak salah satu stakeholder adalah tidak tepat. Ketiga pihak ini adalah partner kerja, mitra yang memiliki satu tujuan: memastikan anak-anak yang terdaftar pada institusi pendidikan formal untuk tetap mengenyam pendidikan. Pendidikan dengan metode homeschooling saya tidak sertakan di dalam pembahasan ini.

Sebagai orang tua yang mempercayakan pendidikan anak-anak saya kepada sebuah institusi formal yang bernama sekolah, saya memastikan diri memenuhi kewajiban dan mendapatkan hak saya sehubungan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Ketika sekolah diliburkan tiba-tiba pada pertengahan bulan Maret lalu, saya termasuk yang protes keras ketika sekolah hanya memberi tugas tanpa mengajari anak-anak. 

Saya sebenarnya malu hati mengaitkan hal pendidikan ini dengan uang, tapi ini kenyataan. Saya sudah bekerja susah-payah mencari uang untuk membayar SPP, mengapa saya dibebankan kewajiban untuk mengajari anak-anak dengan materi yang saya terima tiga dekade lalu?

Tiga dekade, lho! Itu waktu yang tidak sebentar, itu waktu yang sangat lama untuk melupakan ada berapa bilik di dalam jantung, apa nama-nama Latin untuk tulang manusia, bagaimana mengajari pengurangan jika angka pertama lebih kecil dari angka kedua, dan lain sebagainya. 

Internet dan mesin pencari Google memang membantu untuk saya mengingat-ingat kembali materi-materi itu, tapi bagaimanapun juga saya bukan guru.

Wahai para orang tua yang merasa wajib mengajari anak sambil berusaha bekerja dengan normal dari rumah, tidak usah repot-repot. Kembalikan kewajiban mengajar itu kepada sekolah dan guru sebagai stakeholder yang tepat.

Mereka terdidik dan terlatih untuk itu, sedangkan kita tidak. Lebih baik kita fokus pada apa yang kita kerjakan dan berhenti berupaya menjadi manusia super yang bisa menguasai semua hal.

Sejak awal PJJ sekolah anak saya mengalami banyak transisi. Mereka menggunakan Microsoft Teams untuk anak-anak di jenjang SMP dan SMA dengan jam belajar seperti di sekolah yaitu pukul 7 pagi sampai 3 sore setiap harinya. Walaupun demikan mereka ada banyak sekali pertimbangan untuk anak-anak di jenjang TK dan SD.

Ya soal internetlah, soal ketersediaan gawailah, soal kesehatan matalah, dan sejuta alasan lain. Memang pada dasarnya manajemen sekolah itu sempat bersikap sangat permisif dan tidak mempercayai kemampuan orang tua dan siswa. Padahal semua orang kalau memang diwajibkan pasti bisa cepat membiasakan diri dengan sistem baru, walaupun sistem tersebut sulit setengah mati.

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang biasanya 6.5 sampai 8 jam sehari dipotong menjadi tinggal 1 jam sehari, sisanya adalah pemberian tugas yang harus dikerjakan dengan pendampingan orang tua. 

Apa yang bisa dipelajari oleh anak-anak dalam 1 jam? Ketika itu kurikulum boro-boro disederhanakan, tuntutan pelajaran tetap sama. Anak-anak diberi setumpuk tugas dengan harapan mereka akan mengerti materi dengan sendirinya.

Ya mustahil. Dan saya menolak keras praktek seperti ini.

Bahkan setelah jam pelajaran ditambah menjadi 1.5 jam per hari, anak-anak tetap tidak mendapatkan pengajaran yang cukup. Durasi tersebut tidak bisa mencakup pelajaran-pelajaran khusus seperti bahasa Inggris, musik, pendidikan jasmani, agama, dan komputer. 

Tugas-tugas dari guru-guru pelajaran-pelajaran khusus itu menjadi sangat menumpuk. Saya dan suami kembali mengajukan keberatan; sekolah adalah pihak yang paling akuntabel untuk memastikan semua mata pelajaran diajarkan.

Pada transisi ketiga durasi belajar selama 1.5 jam ditambah sebanyak 30-60 menit per hari untuk pelajaran-pelajaran khusus. Saya dan suami tetap belum puas. 

Anak-anak SMP dan SMA bisa diajari dengan memadai selama 8 jam sehari walaupun secara online, mengapa anak-anak kami di jenjang SD tidak bisa? Kami terus berupaya supaya stakeholder sekolah/guru menunaikan kewajibannya mengajar, seperti halnya kami orang tua menunaikan kewajiban kami membayar SPP.

Tahun ajaran baru yang dimulai pada bulan Juli lalu telah menunjukkan titik terang. Kedua anak kami mendapat durasi pengajaran yang mendekati durasi KBM di sekolah. Sistem Microsoft Teams yang sudah ada sangat dipakai untuk memberi tugas dan penilaian. Anak-anak hanya perlu bantuan kami memfoto/memvideo tugas mereka dan mengunggahnya ke drive yang ditunjuk.

Beban kami sekarang sudah sangat berkurang dibandingkan pada awal PJJ dan kami bisa kembali berfokus pada pekerjaan. Kami sebagai orang tua dan sekolah/guru anak-anak sudah berperan maksimal sebagai stakeholder. 

Bagaimana dengan stakeholder pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)? Ah sudahlah, saya tidak mau berkomentar apa-apa tentang mereka. Pemimpinnya boleh jadi milienial, tapi yang dipimpin adalah sekumpulan fosil, jadi terobosan apa yang bisa diharapkan?

Sebagai kesimpulan, saya harap tulisan ini bisa meluruskan anggapan PJJ telah memakan korban. Yang menjadi masalah adalah kesehatan mental dan resiliensi orang tua. Anak malang itu adalah korban pengabaian kesehatan mental dan kurangnya resiliensi orang tua. 

PJJ adalah sebuah keniscayaan, sebuah aspek kenormalan baru yang harus diterima dan dijalani dengan tabah oleh semua stakeholder terkait. Tak ada jalan lain.

Pesan saya untuk sesama orang tua: mengajari anak materi sekolah adalah tugas dan tanggung jawab sekolah/guru. Jangan dibolak-balik, jangan memaksakan diri menjadi murid dan guru dadakan. Setiap stakeholder sudah memiliki perannya masing-masing. Sebagai salah satu stakeholder, kita berhak mengingatkan stakeholder lain untuk memenuhi kewajibannya.

Sebagai gambaran, bahkan ketika durasi belajar online anak-anak saya hanya 1 jam dalam sehari, saya menyuruh mereka untuk menelepon sendiri guru-guru mereka jika ada hal-hal yang mereka tidak mengerti. 

Teman saya sempat berkomentar, "Enak banget, Jo, kayak punya guru privat." 

Saya menjawab, "Lah kenapa sekolah ga nambah jam belajar per harinya supaya semua anak mendapat hak yang sama?" 

Teman saya itu jadi ikut berpikir dan jadi ikut menuntut ke sekolah. Perjuangan kami berbuah manis hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun