Berpijak dari pentingnya tanggung jawab moral seorang penulis, pikiran acak kedua muncul di benak saya.
Implikasi dari kecacatan logika (logical fallacy)
Bayangkan ada sebuah pernyataan sebagai berikut.
Kuda hidup di darat. Kuda melahirkan anak.
Ayam juga hidup di darat. Ayam juga melahirkan anak.
Apakah pernyataan di atas benar dan masuk akal? Kita yang mengetahui kuda dan ayam adalah jenis binatang seperti apa pasti langsung menyanggah. Kuda melahirkan anak, tapi ayam bertelur. Kuda dan ayam berada pada satu kingdom (animal) tapi menempati kelas yang berbeda (mamalia dan unggas). Ada kriteria lain yang membedakan kuda dan ayam sehingga cara reproduksi mereka berbeda walaupun mereka sama-sama tinggal di darat.
Semua informasi yang hendak dituangkan ke dalam tulisan harus dicek logikanya. Jika ada pernyataan yang tidak logis, maka yang dipertaruhkan adalah reputasi penulis dan asumsi pembaca.Â
Oleh karena itu saya sangat menyayangkan pernyataan "PJJ yang telah memakan korban" karena pernyataan tersebut jelas-jelas cacat logika dan bisa menyesatkan pemahaman pembaca.
Korban, saya kutip dari kamus, berarti orang yang terluka atau terbunuh akibat sebuah kejahatan, kecelakaan, atau peristiwa lainnya. Dalam kasus ibu yang membunuh anaknya, pelaku kejahatan adalah sang ibu, aksesoris kejahatan adalah suaminya, sedangkan korban tindak kejahatan adalah sang anak.
Kejahatan terjadi saat ada pemukulan anak yang melebihi batas niat untuk mengajar dan mendisiplin, dimana pemukulan tersebut berujung kepada kematian. Pemukulan terjadi karena luapan kekesalan sang ibu, karena emosinya yang tidak terkendali. PJJ menjadi kerangka fenomena yang kelihatan di depan mata banyak orang, tapi bukan itu akar permasalahannya.
Menyimpulkan pembunuhan sebagai akibat dari PJJ adalah sebuah kecerobohan. PJJ adalah proses belajar yang terpaksa dipindahkan dari sekolah ke rumah siswa akibat pandemi yang melanda negeri kita dan seluruh dunia.Â