Soal kuota internet juga tidak lepas dari carut-marut. Sekolah anak saya baru mendapat informasi tentang program tersebut dari Dinas Pendidikan setempat pada hari Kamis, 27 Agustus 2020. Dengan sigap sekolah membagikan form untuk diisi oleh orang tua murid pada tanggal 28 Agustus.
Deadline pengajuan data siswa ke Dinas Pendidikan adalah hari Senin, 31 Agustus 2020. Jumlah sekolah yang berada di kabupaten kami ada ribuan, dan ada hari Sabtu dan Minggu yang terbuang karena tidak ada ASN di Dinas Pendidikan yang bekerja untuk menginput data. Jelas saja sekolah kami tidak kebagian kuota internet itu padahal sudah memasukkan semua data yang diperlukan!
Yang bikin program niat ga, sih? Ya, pastinya enggak.
Kembali ke soal ibu yang membunuh anaknya tadi. Yang mesti disalahkan bukan PJJ-nya. Orang tua yang terpaksa menceburkan diri mengajari anak di rumah di samping kegiatan rutin seperti bekerja dan mengurus rumah tangga, bukan cuma ibu itu dan suaminya.Â
Ada puluhan juta orang tua lain di Indonesia saja yang bernasib sama. Jadi mengapa hanya ada satu (dan semoga tidak bertambah lagi) kasus yang demikian fatal?
Yang semestinya diselidiki lebih jauh adalah sikap dan mentalitas kedua orang tua tersebut. Saya tidak akan mengomentari pasangan ini yang menikah pada usia belia. Kesiapan atau ketidaksiapan berumah tangga pada usia berapa pun adalah hal relatif dan tidak bisa dihakimi begitu saja oleh pihak luar.
Saya hanya bisa menduga pasangan orang tua ini memiliki resiliensi yang rendah terhadap faktor eksternal. Resiliensi yang rendah ditandai oleh ketidakmampuan mengelola stres.Â
Seseorang menghadapi tuntutan dan beban bertumpuk-tumpuk. Semua masalah hadir seperti benang kusut pada benaknya dan ia tidak memiliki petunjuk bagaimana mengelola masalah-masalah tersebut.
Tak heran jika suatu saat orang itu "meledak". Kapasitas emosinya sudah direnggangkan sedemikian rupa sampai akhirnya "putus". Ia pun berperilaku kasar, melawan, dan memberontak terhadap orang lain sebagai tanda kekalahan diri. Ini defense mechanism yang bisa dimaklumi penyebabnya, tapi tidak bisa dimaklumi kalau berpotensi mencelakakan orang lain.
Saya bisa memahami perasaan ibu tersebut yang seperti dikepung oleh urusan belajar anak, urusan rumah tangga, dan mungkin juga (tidak ada keterangan pasti mengenai hal ini) urusan ekonomi pasca terjadinya pandemi.Â
Sebagai ibu rumah tangga yang juga mengelola sebuah usaha, saya tahu persis rasanya dituntut untuk selalu memberikan dan menjadi yang terbaik dalam segala hal.