Padahal seorang ibu juga seorang manusia yang berhak meminta pertolongan ketika sudah tidak sanggup lagi. Yang terjadi di masyarakat adalah ibu diharapkan untuk selalu tegar dalam kondisi apa pun. Dia dituntut untuk selalu siap sedia menjadi sumber pertolongan bagi orang lain, tak peduli kondisinya sendiri yang sudah di "garis minus".
Ketidakmampuan ibu untuk mengartikulasikan kelelahannya ditambah tuntutan orang sekitar supaya ibu selalu sempurna adalah resep yang pas untuk ledakan emosi yang tak terarah dan tak terkendali.
Kali ini sayangnya anak kandungnya sendiri yang menjadi korban. Kali lain mungkin orang lain yang ia tidak kenal. Tidak ada yang tahu. Selama ibu itu tidak menemukan apa yang salah dalam dirinya dan berusaha memperbaiki kesalahan itu, tindakan keji seperti ini kemungkinan besar dapat berulang di masa depan.
Saya sangat menyayangkan artikel yang memiliki cacat logika tersebut sehingga menimbulkan kesimpulan dan reaksi yang salah dari pembaca. Dari komentar yang saya baca, yang kemudian disalahkan adalah PJJ dan pemerintah. Perihal kesehatan mental dan resiliensi diri yang menjadi akar permasalahan tidak disinggung sama sekali.
Padahal jika kedua hal ini dibereskan, jangankan pandemi, depresi ekonomi sampai tsunami pun saya duga tidak akan dengan mudah meruntuhkan orang-orang yang kuat. Orang-orang yang resilien dan bermental sehat akan bertahan dan tidak akan sampai tega menghilangkan nyawa darah daging tercinta.
Dari sini saya beranjak ke pemikiran acak ketiga.
Aplikasi PJJ dan peran stakeholder terkait
PJJ bukan semata-mata tanggung jawab orang tua murid. Ada tiga stakeholder yang bertanggung jawab menjamin kelangsungan hak anak untuk mendapatkan pendidikan, yaitu: orang tua, sekolah (yang diwakili oleh guru), dan pemerintah (yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).
Menaruh beban penyelenggaraan ke pundak salah satu stakeholder adalah tidak tepat. Ketiga pihak ini adalah partner kerja, mitra yang memiliki satu tujuan: memastikan anak-anak yang terdaftar pada institusi pendidikan formal untuk tetap mengenyam pendidikan. Pendidikan dengan metode homeschooling saya tidak sertakan di dalam pembahasan ini.
Sebagai orang tua yang mempercayakan pendidikan anak-anak saya kepada sebuah institusi formal yang bernama sekolah, saya memastikan diri memenuhi kewajiban dan mendapatkan hak saya sehubungan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Ketika sekolah diliburkan tiba-tiba pada pertengahan bulan Maret lalu, saya termasuk yang protes keras ketika sekolah hanya memberi tugas tanpa mengajari anak-anak.Â