Saya sebenarnya malu hati mengaitkan hal pendidikan ini dengan uang, tapi ini kenyataan. Saya sudah bekerja susah-payah mencari uang untuk membayar SPP, mengapa saya dibebankan kewajiban untuk mengajari anak-anak dengan materi yang saya terima tiga dekade lalu?
Tiga dekade, lho! Itu waktu yang tidak sebentar, itu waktu yang sangat lama untuk melupakan ada berapa bilik di dalam jantung, apa nama-nama Latin untuk tulang manusia, bagaimana mengajari pengurangan jika angka pertama lebih kecil dari angka kedua, dan lain sebagainya.Â
Internet dan mesin pencari Google memang membantu untuk saya mengingat-ingat kembali materi-materi itu, tapi bagaimanapun juga saya bukan guru.
Wahai para orang tua yang merasa wajib mengajari anak sambil berusaha bekerja dengan normal dari rumah, tidak usah repot-repot. Kembalikan kewajiban mengajar itu kepada sekolah dan guru sebagai stakeholder yang tepat.
Mereka terdidik dan terlatih untuk itu, sedangkan kita tidak. Lebih baik kita fokus pada apa yang kita kerjakan dan berhenti berupaya menjadi manusia super yang bisa menguasai semua hal.
Sejak awal PJJ sekolah anak saya mengalami banyak transisi. Mereka menggunakan Microsoft Teams untuk anak-anak di jenjang SMP dan SMA dengan jam belajar seperti di sekolah yaitu pukul 7 pagi sampai 3 sore setiap harinya. Walaupun demikan mereka ada banyak sekali pertimbangan untuk anak-anak di jenjang TK dan SD.
Ya soal internetlah, soal ketersediaan gawailah, soal kesehatan matalah, dan sejuta alasan lain. Memang pada dasarnya manajemen sekolah itu sempat bersikap sangat permisif dan tidak mempercayai kemampuan orang tua dan siswa. Padahal semua orang kalau memang diwajibkan pasti bisa cepat membiasakan diri dengan sistem baru, walaupun sistem tersebut sulit setengah mati.
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang biasanya 6.5 sampai 8 jam sehari dipotong menjadi tinggal 1 jam sehari, sisanya adalah pemberian tugas yang harus dikerjakan dengan pendampingan orang tua.Â
Apa yang bisa dipelajari oleh anak-anak dalam 1 jam? Ketika itu kurikulum boro-boro disederhanakan, tuntutan pelajaran tetap sama. Anak-anak diberi setumpuk tugas dengan harapan mereka akan mengerti materi dengan sendirinya.
Ya mustahil. Dan saya menolak keras praktek seperti ini.
Bahkan setelah jam pelajaran ditambah menjadi 1.5 jam per hari, anak-anak tetap tidak mendapatkan pengajaran yang cukup. Durasi tersebut tidak bisa mencakup pelajaran-pelajaran khusus seperti bahasa Inggris, musik, pendidikan jasmani, agama, dan komputer.Â