"Kembali ke negaraku."
"Ikutlah denganku." Kau menoleh dan wajahmu mendekat. "Ikutlah denganku, Rui. Kembalilah ke negaraku."
Lututku mendadak lemas dan tenggorokanku tercekat. Sudah berapa kali dalam setahun ini kau mengiba seperti itu? Namun jawabanku tetap sama.
"Aku tak bisa, keluargaku membutuhkanku."
"Keluargamu akan selalu ada untukmu, tapi aku tidak."
"Kau tidak akan selalu ada untukku, tapi keluargaku iya."
Aku membalik kata-katamu. Pipiku memanas. Kau dengan tekadmu dan aku dengan pertahananku. Rasanya aku hampir menyerah. Di ujung jalan yang kita lalui tidak ada titik terang. Di penghujung kebersamaan kita tidak ada titik temu.
"Jadi bagaimana, kita akhiri saja?" Kali ini tanganmu mencengkeram lenganku.
Dengan lemah kujalin jemariku dengan jemarimu. Genggamanmu erat, saking eratnya hatiku tercabik. Aku cinta. Apapun yang terjadi, aku masih cinta. Aku tetap cinta.
"Sampai kapan?"
Aku tertegun mendengar kebingunganmu. Itu juga yang menjadi pertanyaan hatiku. Ya, sampai kapan? Dengan jarak berjuta kilometer, perbedaan warna kulit dan bangsa di antara kita, sampai kapan?