Tolonglah, jangan bertengkar lagi hari ini. Hatiku terlalu lelah dan sedih untuk menengahi.
Langit seperti mendengar pintaku. Petir menggelegar, bersahut-sahutan, dan air tumpah ruah dari angkasa. Angin kencang bertiup dan menampar wajah kita. Aku melangkah mundur sembari tubuhmu menghadang badai yang datang ke arahku.
"Kau basah ...," gumamku padanya. Orang itu bergeming.
"Tak apa," katanya dan membuka payungnya. Tatapan matanya tak lepas sedetik pun dari kita berdua. "Tinggal sebulan lagi. Kalian seharusnya sudah mengambil keputusan."
Dia berbalik badan dan pergi. Meninggalkan aku yang salah tingkah dan kamu yang menahan amarah.
"Apa dia harus tahu segala sesuatu tentang kita?" tanyamu gusar.
"Dia tidak tahu semua," jawabku lemah.
"Aku tahu dia sahabatmu, tapi apa kau harus menceritakan semua hal padanya?" kejarmu. "Percakapan kita, pertengkaran kita, cerita kita, apa dia tahu semua?"
"Tidak. Tidak semua," desisku. Mataku panas, dadaku sesak. Aku tak punya tenaga untuk membantah ataupun menjelaskan. Yang kupikirkan hanya kamu. Kita.
Tanpa kau katakan aku sudah tahu apa yang akan kita bicarakan saat ini, di tengah guyuran hujan bulan Juli. Salahkah aku jika hanya memikirkan bilamana kepedihan itu datang?
"Apa rencanamu setelah ini?" tanyamu beberapa saat kemudian.