Dari kejauhan seseorang melambai ke arahku. Kulihat dia berlari melewati banyak kubangan lumpur menuju kita. Air kotor membasahi ujung celana abu-abunya. Jangan, jangan ke sini, batinku. Jangan sekarang.
"Rui!" serunya.
Ah, sial.
Orang itu berdiri di hadapan kita, mengacak-acak rambutnya yang lembap. Percikan air membasahi bahu dan ranselnya. Senyumnya terkembang lebar. Matanya jenaka saat bertemu mataku. "Sudah makan?"
"Sudah," kau yang menjawab. Kau menggeserku dan berdiri di antara aku dan orang itu. Tanganmu menunjuk buku yang mencuat dari tasnya yang basah. "Mau belajar?" selidikmu padanya.
Dia mengedikkan bahu. "Mungkin. Karena Rui di sini aku berpikir ingin mengajaknya ke dalam."
"Kami sedang sibuk."
"Apakah Rui kehilangan suaranya sehingga sedari tadi kau yang menjawab untuknya?"
Kalian saling berhadapan dengan rahang terkatup rapat. Kalian bukan saling tidak menyukai; kalian saling membenci. Benci yang meniadakan rasa hormat. Benci yang memenuhi ubun-ubun. Benci yang terpancar kuat setiap kali jalan kalian berselisih.
"Tinggal satu bulan lagi, apa yang kau harapkan dari Rui?"
"Bukan urusanmu!" Bentakanmu menggelegar di telingaku.