Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebun Nyai Imah

10 Oktober 2019   16:48 Diperbarui: 10 Oktober 2019   16:51 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada apa dengannya."

"Tentang rumah dan kebunnya tak usah  dijual ke orang kota itu."

Ayah melotot. "Kau menggurui aku, ya! Kenapa kalau rumah dan kebunnya akan dijual?"

"Sayang kebun rambutannya."

"Di pasar juga banyak rambutan!"

"Itu rambutan gula batu, Yah." Aku harap hatinya luluh. Ayah diam. "Juga ada kunang-kunang."

"Kau terlalu cengeng! Kunang-kunang telah digantikan lampu listrik.

"Ada jalan kecil. Ada..."

"Ada ini. Huh!" Dia mengepalkan  tinju. "Kau belajar yang rajin biar jadi orang. Tak ada pembicaraan tentang Nyai Imah."

Aku lemas. Tambah lemas lagi ketika aku mendatangi Nyai Imah agar dia bertahan untuk tidak menjual rumah dan kebunnya. Ternyata surat-surat tanah miliknya ada di tangan ayah. Nyai Imah memiliki utang kepada ayah. Utangnya bunga ber bunga. Artinya, selain tauke karet ayah juga merente. Ayah rentenir?

"Tapi Nyai Imah tetap ingin mempertahankan rumah dan kebun ini, kan?" Aku menatap Nyai Imah yang mengangguk lesu. "Baiklah! Serahkan semua kepadaku, Nek."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun