"Ada apa dengannya."
"Tentang rumah dan kebunnya tak usah  dijual ke orang kota itu."
Ayah melotot. "Kau menggurui aku, ya! Kenapa kalau rumah dan kebunnya akan dijual?"
"Sayang kebun rambutannya."
"Di pasar juga banyak rambutan!"
"Itu rambutan gula batu, Yah." Aku harap hatinya luluh. Ayah diam. "Juga ada kunang-kunang."
"Kau terlalu cengeng! Kunang-kunang telah digantikan lampu listrik.
"Ada jalan kecil. Ada..."
"Ada ini. Huh!" Dia mengepalkan  tinju. "Kau belajar yang rajin biar jadi orang. Tak ada pembicaraan tentang Nyai Imah."
Aku lemas. Tambah lemas lagi ketika aku mendatangi Nyai Imah agar dia bertahan untuk tidak menjual rumah dan kebunnya. Ternyata surat-surat tanah miliknya ada di tangan ayah. Nyai Imah memiliki utang kepada ayah. Utangnya bunga ber bunga. Artinya, selain tauke karet ayah juga merente. Ayah rentenir?
"Tapi Nyai Imah tetap ingin mempertahankan rumah dan kebun ini, kan?" Aku menatap Nyai Imah yang mengangguk lesu. "Baiklah! Serahkan semua kepadaku, Nek."