Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebun Nyai Imah

10 Oktober 2019   16:48 Diperbarui: 10 Oktober 2019   16:51 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Bandit-bandit kecil ini selalu menyerbu kebun rambutan Nyai Imah begitu musimnya tiba.  Aku salah seorang di antara mereka. Kami seakan menemukan istana berupa rambutan terenak sekampung Narek.

Akan ada tawa lepas manakala kami ketahuan maling. Nyai Imah mengamuk bak banteng luka. Rambutnya menyala api. Galah panjang dia arahkan ke  kami. Sekumpulan bandit ini menghambur. Kami berlarian centang-prenang pulang ke rumah masing-masing.

Saat senja tiba, kami kembali berkumpul di lapangan desa. Berpesta pora makan rambutan. Tak jarang ada orang tua memergoki. Mereka yakin betul rambutan yang kami makan hasil curian.

Hukuman berat pun tiba. Makan rambutan dengan kulitnya. Duilah pahitnya! Kami sampai termuntah-muntah. Besok harinya kami pasti memindahkan lokasi pesta ke tempat yang lebih tersembunyi.

Seiring waktu berlalu, bandit-bandit kecil ini pun hilang dari kampung Narek. Bandit-bandit kecil lain menggantikan tugas kami. Tapi bandit-bandit kecil itu pun hilang ditelan televisi. Tinggal aku  yang sering mengunjungi Nyai Imah.

Selain memiliki kebun rambutan tak seberapa, dia juga sering mendapat upahan memasak air nira menjadi aren. Entah kenapa aku mulai senang melihatnya mengaduk gelegak air nira itu, hingga berujung letupan-letupan kecil. Katanya itu gula aren setengah masak.

Maka dia menceduk sedikit, lalu menimpanya ke tumpukan tepung. Rasanya lumayan nikmat. Mengalahkan rasa permen di warung Kek Ali.

Aku juga  mulai sering membantu mengambil rambutan. Menjual  ke pasar kalangan. Lumayan laku. Rambutan gula batu, teriakku kepada pembeli. Sebentar saja bakul berisi rambutan itu ludes. Nyai Imah memberiku upah. Jadilah kujadikan biaya sekolah. Sisanya untuk jajan.

Karena sering bertandang ke rumahnya, aku tahu kisah hidup perempuan itu.  Kakeknya dulu pejuang. Dia masih menyimpan tombak pejuang itu. Ayah-ibunya pedagang lumayan kaya di zamannya. Kebanyakan harta mereka berupa sawah.

Saat Nyai Imah dewasa, orangtuanya meninggal dunia karena kecelakan mobil. Praktis Nyai Imah-lah satu-satunya pewaris harta orang tuanya. Karena tak sanggup mengelola harta itu, sebagian pun dijual. Sekrarang dia sendirian di rumah besar, juga setengah hektar kebun rambutan.

"Nenek masih marah kepadaku?"

"Pasal apa?"

"Pasal bandit-bandit kecil itu."

"Oh." Dia tersenyum sambil mengurut jemarinya yang keriput. Sekarang penyakit asam urat sering menghampiri perempuan itu. "Pasal itu. Sudahlah! Itu kisah lama."

Kami menjadi sahabat akrab berbilang tahun kemudian. Hingga sebelum tamat SMA, aku mendengar berita bahwa rumah dan kebun rambutan Nyai Imah akan dijual ke orang kota. Di situ akan dibangun sebuah villa menghadap ke utara.

Kuakui dari situ pemandangan sangat indah. Sungai terlihat berkelok-kelok. Sawah berundak-undak sampai ke kaki bukit. Dapat pula terlihat irisan air di belakang rumahnya. Irisan itu berupa air terjun.

Tapi harta yang amat berharga itu apabila dijual, akan banyak kenangan yang hilang. Rambutan gula batu. Rumah dengan ornamen kuno. Juga kunang-kunang yang muncul dari semak ketika malam tiba.

Tentu saja jalan kecil menuju belakang rumah Maisa. Aku senang perempuan itu. Akankah dia dapat kuperistri kelak? Katamu mungkin ini terlalu melankolis. Hanya urusan jalan kecil menuju belakang rumah perempuan itu menjadi masalah. Bukan itu masalahnya. Kiri-kanan jalan yang ditumbuhi rumpun mawar itu penyebabnya. Aku bersama Maisa sering bermain di situ. Maisa suka mengelus kelopaknya. Aku yakin itu akan hilang, dan hilang juga waktuku bersama Maisa.

Heh, aku harus mencegah itu terjadi. Lelaki yang akan kutemui itu sedang menumpukan tangannya di kusen jendela. Entah apa yang dia perhatikan. Setelah melihat tatapannya, yakinlah aku  kalau  dia sedang serius memperhatikan rumah Nyai Imah.

Aku terbatuk sebentar. Dia tersentak, dan berbalik ke arahku. Perlahan dia mendekati meja, menarik kursi, menyalakan cangklong dan menghembuskan asapnya. Dia menyuruhku duduk. "Ada apa?" tanya ayah.

Aku duduk sambil mempermain-mainkan taplak meja. "Bicaralah! Jangan seperti perempuan!" lanjut ayah. Dia memang keras, terutama kepadaku. Ada tiga sudaraku, perempuan semua. Itu alasan pertama ayah keras kepadaku. Aku lelaki, harus jantan. Tidak boleh lemah gemulai.  Ibuku  telah meninggal saat dia melahirkan aku. Itu alasan kedua ayah keras kepadaku.

"Nyai Imah, Yah." Akhirnya aku bisa membuka suara.

"Ada apa dengannya."

"Tentang rumah dan kebunnya tak usah  dijual ke orang kota itu."

Ayah melotot. "Kau menggurui aku, ya! Kenapa kalau rumah dan kebunnya akan dijual?"

"Sayang kebun rambutannya."

"Di pasar juga banyak rambutan!"

"Itu rambutan gula batu, Yah." Aku harap hatinya luluh. Ayah diam. "Juga ada kunang-kunang."

"Kau terlalu cengeng! Kunang-kunang telah digantikan lampu listrik.

"Ada jalan kecil. Ada..."

"Ada ini. Huh!" Dia mengepalkan  tinju. "Kau belajar yang rajin biar jadi orang. Tak ada pembicaraan tentang Nyai Imah."

Aku lemas. Tambah lemas lagi ketika aku mendatangi Nyai Imah agar dia bertahan untuk tidak menjual rumah dan kebunnya. Ternyata surat-surat tanah miliknya ada di tangan ayah. Nyai Imah memiliki utang kepada ayah. Utangnya bunga ber bunga. Artinya, selain tauke karet ayah juga merente. Ayah rentenir?

"Tapi Nyai Imah tetap ingin mempertahankan rumah dan kebun ini, kan?" Aku menatap Nyai Imah yang mengangguk lesu. "Baiklah! Serahkan semua kepadaku, Nek."

Maka tak usah risau bila mantan bandit-bandit kecil ini seakan bangun dari tidur. Kami tak ingin kehilangan kampung. Kampung kami yang indah terletak pada rumah dan kebun Nyai Imah.

Maka desas-desus  hantu yang sering menangis itu mulai tersebar. Mula-mula seakan angin lalu. Makin lama bertambah santer. Ayah marah besar. Apalagi berita hantu itu sampai ke telinga orang kota yang akan membangun villa. Itulah akibatnya dia mulai berpikir akan membatalkan rencana, lalu memindahkan bakal villa ke tempat lain.

Akan hal ayah sekuat tenaga ingin membuktikan apakah hantu itu benar-benar ada atau tidak. Dia curiga hantu itu buat-buatan aku dan para mantan bandit kecil.

Tahukah kau sekarang ayah tak pernah meributkan rumah dan kebun Nyai Imah? Bahkan dia tak pernah lagi berani berjalan malam-malam sendirian. Cerita ayah, dia benar-benar bertemu hantu.

"Hebat sekali kerjaanmu, Pareban. Ayahmu sendiri kau takut-takuti," kata Liban selepas kami sepak bola.

"Bukannya  kalian?"

"Lho, setelah ayahmu ingin membuktikan kebenaran hantu itu, semua mantan bandit kecil memilih tidur  saat ayahmu bertemu hantu itu."

Kami berpandangan. Jadi siapakah hantu itu? Kami saling menatap kebingungan. Hingga sekarang kami tak tahu siapa dia. Yang penting rumah dan kebun Nyai Imah tak jadi dijual.

Mungkin kau bisa menebak siapa yang jadi hantu itu?

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun