Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebun Nyai Imah

10 Oktober 2019   16:48 Diperbarui: 10 Oktober 2019   16:51 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pasal apa?"

"Pasal bandit-bandit kecil itu."

"Oh." Dia tersenyum sambil mengurut jemarinya yang keriput. Sekarang penyakit asam urat sering menghampiri perempuan itu. "Pasal itu. Sudahlah! Itu kisah lama."

Kami menjadi sahabat akrab berbilang tahun kemudian. Hingga sebelum tamat SMA, aku mendengar berita bahwa rumah dan kebun rambutan Nyai Imah akan dijual ke orang kota. Di situ akan dibangun sebuah villa menghadap ke utara.

Kuakui dari situ pemandangan sangat indah. Sungai terlihat berkelok-kelok. Sawah berundak-undak sampai ke kaki bukit. Dapat pula terlihat irisan air di belakang rumahnya. Irisan itu berupa air terjun.

Tapi harta yang amat berharga itu apabila dijual, akan banyak kenangan yang hilang. Rambutan gula batu. Rumah dengan ornamen kuno. Juga kunang-kunang yang muncul dari semak ketika malam tiba.

Tentu saja jalan kecil menuju belakang rumah Maisa. Aku senang perempuan itu. Akankah dia dapat kuperistri kelak? Katamu mungkin ini terlalu melankolis. Hanya urusan jalan kecil menuju belakang rumah perempuan itu menjadi masalah. Bukan itu masalahnya. Kiri-kanan jalan yang ditumbuhi rumpun mawar itu penyebabnya. Aku bersama Maisa sering bermain di situ. Maisa suka mengelus kelopaknya. Aku yakin itu akan hilang, dan hilang juga waktuku bersama Maisa.

Heh, aku harus mencegah itu terjadi. Lelaki yang akan kutemui itu sedang menumpukan tangannya di kusen jendela. Entah apa yang dia perhatikan. Setelah melihat tatapannya, yakinlah aku  kalau  dia sedang serius memperhatikan rumah Nyai Imah.

Aku terbatuk sebentar. Dia tersentak, dan berbalik ke arahku. Perlahan dia mendekati meja, menarik kursi, menyalakan cangklong dan menghembuskan asapnya. Dia menyuruhku duduk. "Ada apa?" tanya ayah.

Aku duduk sambil mempermain-mainkan taplak meja. "Bicaralah! Jangan seperti perempuan!" lanjut ayah. Dia memang keras, terutama kepadaku. Ada tiga sudaraku, perempuan semua. Itu alasan pertama ayah keras kepadaku. Aku lelaki, harus jantan. Tidak boleh lemah gemulai.  Ibuku  telah meninggal saat dia melahirkan aku. Itu alasan kedua ayah keras kepadaku.

"Nyai Imah, Yah." Akhirnya aku bisa membuka suara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun