Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu

18 April 2019   21:07 Diperbarui: 18 April 2019   21:17 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membayangkan kedatangan Ir, membuat badan ini panas-dingin. Berkali-kali kupandang halaman depan rumah yang becek. Layakkah halaman rumah itu menerima mobilnya yang super mewah? Bagaimana pula tanggapan para tetangga? 

Seumur-umur aku belum pernah bertamu orang penting kecuali Juragan Parkisun yang tenar sekampung kumuh ini. Itu pun karena dia ingin menagih hutang kepadaku. Atau, sesekali aku bertamukan Pak Rt. 

Para tetangga tentu akan merubung di halaman. Beberapa melongok dari pintu yang sempit. Banyak pula kelak yang bertanya-tanya tentang sosok Ir. Banyak pula yang sebelumnya melecehkan keluargaku, berbalik menyanjung. Yang biasa manyun, doyan tersenyum.

"Dia kerja apa ya, Pak?" tanya istriku setelah selesai menyiapkan hidangan yang bagi kami cukup mewah demi menyambut kedatangan Ir.

"Ir seorang juragan terkenal, Mar!" jawabku sambil melongok dari pintu. Melihat ke ujung jalan, kalau-kalau ada mobil mewah melintas.

"Juragan seperti Parkisun, ya?"

Aduh, lambatnya si Mar ini kalau berpikir. Parkisun lain. "Ir itu juragan karet dan kopi. Tauke, atau depot penerima hasil bumi. Kalau Parkisun kan hanya rentenir!"

"Oh, juragan tokek juga, ya? Buat apa?"

"Tauke! Bukan tokek!"

Si Mar masuk sambil ngedumel. Hatiku bertambah gelisah. 

Sebentar, kuceritakan kepadamu tentang Ir biar hatimu tak bertanya-tanya. Ir itu teman sepermainanku di kampung. Dulu sekali, kami sama-sama udik. Sama-sama miskinnya. Tak tahan dengan jerat kemiskinan, setelah berkeluarga, aku memilih hengkang ke Jakarta. Merantau mencari penghidupan yang lebih layak. Ir yang betah mengolah sepetak kecil kebun karet peninggalan ayahnya, menetapkan hati tetap bertahan menjadi udik sepanjangan. Tak perduli dia atas ajakanku. Dalam hati, sempat juga aku mencemooh kelambanan otaknya. Hijrah itu perlu!

Nyatanya aku yang salah. Merantau ke Jakarta tak membuahkan hasil. Aku terpinggir berumah di pinggir kali. Bukan berumah sebenarnya, melainkan menyewa rumah. Sementara dari tahun ke tahun, terkabar penghidupan Ir meroket. Bahkan delapan tahun berlalu, dia telah menjadi juragan. Kabar dia berkunjung ke Jakarta, kutahu dari sepupunya, si Mirsan. 

* * *

Akhirnya Ir benar-benar membuatku gugup. Bukan perkara dia datang mengendarai mobil super mewah. Melainkan dia diantar BMW alias Becak Mang Wahab. Dia bersendal jepit, bercaping, setelan baju-celana; putih-putih. Tampilan yang jauh dari harapanku. 

 "Hai, kawan lama!" Dia langsung memelukku erat-erat. Hatiku remuk bersama pelukannya. Tak ada tatapan kagum tetangga yang melintas di jalan, bahwa aku menerima tamu istimewa. Dari bau tubuh Ir, pun kutebak dia akan membebaniku. Mungkinkah cerita tentang juragan terkenal itu isapan jempol semata?

"Tak kesasar ya, Ir? Mirsan tak mengantarmu?" 

Dia langsung duduk di kursi ruang tamu. Istriku yang tiba-tiba muncul dari dapur dengan sebagian wajahnya berlepot tepung, langsung disalaminya erat-erat. Istriku terlihat gugup. Mungkin sama sepertiku, terkejut karena sosok Ir tak sesuai harapannya. Istriku juga menoleh ke halaman. Kosong! BMW tadi sudah pergi.

"Mirsan mengantarku sampai pengkolan ujung jalan. Dia mau belanja ke pasar. Nanti sore mungkin dia datang menjemputku."

Rasanya tak enak bercerita sebelum bersantap siang. Perutku juga sudah melilit-lilit meminta makan. Sambil bersantap, kami bercerita panjang-lebar. Tentang kehidupanku, juga kehidupan Ir sebagai juragan terkenal.

"Siapa bilang aku juragan terkenal? Haha, bisa saja!" Dia mengelap mulutnya yang berlepotan sambal. Sambil mendecak-decak karena mungkin ada sayur kangkung menyela-nyela giginya, dia mengarah ke ruang tamu. Dua cangkir kopi yang masih mengebul sudah terhidang di situ. Juga dua tangkup kacang kulit. 

"Kau tak bekerja?"

Entah mengapa, aku menjadi kurang respek kepada Ir. Pertanyaannya hanya kujawab dengan gelengan. Seharusnya sekarang aku sedang di rumah Mir---berdandan atap rumahnya yang bocor. Tapi demi kemustajaban tamu agung, pekerjaan itu terpaksa kutangguhkan.

Ya, ya. Aku berharap banyak kepada Ir. Semisal diberikan uang untuk melunasi hutang-hutangku. Terlebih aku berharap dia memodaliku. Jadilah menjadi pedagang kaki lima di Tanah Abang. Atau, kalau dia suka, mengajakku pulang kampung. Menyediakan tempat pemondokan untuk keluargaku---sebab rumah di kampung sudah tergadai untuk modal merantau ke Jakarta. Sekalian saja aku menjadi tangan kanan Ir, atau setidak-tidaknya kebagian menimbang getah karet dan bulir-bulir kopi. 

Sekarang, yah... yang kutakutkan Ir malahan menambah kemasygulan hidupku. Seperti tabiat masa lalu, dia sering menjadi benalu bagi kawan sendiri. Memang dia tak memoroti uang, melainkan suka berkata begini, "Wah, jam tangan kau bagus, ya? Aku jadi ingin memilikinya." Atau, "Bagus sekali sepatumu. Kalau kau beri pinjam sehari saja, tentu terasa megah rasanya." Biasanya ketika barang sudah dikasih pinjam, Ir suka lupa mengembalikan. Kecuali ditagih berulang-ulang.

Ujung-ujung perbincangan yang meliuk-liuk, dengan halimun asap rokok memenuhi ruang tamu, aku mendadak tersedak. Apa yang kukuatirkan terbukti sudah. Ir mengingatkanku tentang kebun pala warisan Ayah yang dikelola adik bungsuku. Dari suaranya yang mendayu-dayu, kutahu ada maksudnya menjualkan kebun itu. 

"Maksudmu kau mau menjualkan kebun itu?" Bibirku bergetar. Ingin marah rasanya. Tapi tamu adalah raja yang pantang dimarah. Dengan memanis-maniskan senyum, kutarik napas dalam-dalam. 

"Menjualkan?" Dia tertawa kecil. "Hmm, sebetulnya.... Ah, sudahlah!"

Selain menjadi benalu bagi kawan sendiri, dulu Ir juga seorang kampiun calo di kampung. Apa saja bisa dijadikannya barang caloan. Dari tanah sampai pakaian. Dari rumah sampai kandang ayam. Tak lepas pula tabiatnya yang satu itu. Sambil menggaruk-garuk kepala, aku pura-pura sibuk memanggil istriku yang pergi entah ke mana.

"Bagaimana, Mul? Adikmu sudah setuju," lanjut Ir.

Darahku bergolak. Tapi sekali lagi tamu adalah raja yang pantang dimarah. Kualihkan saja perbincangan tentang cerita orang-orang di kampung. Juga, tentang rencana Ir keliling Jakarta. Beruntunglah akhirnya dia menguap lebar-lebar. Kupersilahkan dia istirahat sebentar, sekalian aku bisa berbincang dengan istriku.

* * *

"Jadi, Ir ingin menjualkan tanah warisan itu?" bisik istriku.

"Iya!" Kupelankan suara. "Pastilah dia mendapat keuntungan besar. Mendapat persenan dari pembeli dan meminta persenan kepada kita. Itu tabiatnya dari dulu. Kami memang akrab, tapi dia sering mengesalkan hati."

"Jangan-jangan, juragan terkenal itu hanya bohongan, Pak!"

"Aku yakin bohongan juga, Bu. Jam tangan, sepatu baru dan ikat pinggang TNI-ku itu mana?"

"Kenapa? Barang-barang itu ada di kamar." 

Aku mendehem. "Nanti dia minta pinjam pula. Aduh, menyesal rasanya bertamukan dia. Bukannya memberi kelapangan, malah membuat kita sesak napas. Dia mungkin masih semiskin dulu."

"Padahal tamu itu kan mendatangkan rejeki, Pak!"

"Kali ini menghanguskan rejeki, iya!" Kupukul telapak tangan kiriku dengan kepalan tangan kanan. Seiring kudengar suara langkah di ruang tamu. Moga-moga saja Ir sempat menguping pembicaraan kami. Biar dia lekas pergi karena tak enak hati. Tapi adakah dia memiliki hati? Setahuku, hatinya setebal kulit badak. Susah dilukai.

"Sudah bangun, Ir? Cepat sekali tidurnya," kataku berbasa-basi. Dia sudah duduk di kursi tamu sambil menghabiskan sisa kopinya.

Setelah aku duduk di hadapannya, barulah Ir berkata, "Bagaimana tentang tawaranku barusan?" 

"Kebun pala itu tak akan dijual, Ir!"

Ir merasa serba salah. Ada semburat kecewa di wajahnya. "Wah, sayang sekali. Padahal tanah kebun pala itu sangat cocok dengan rencanaku." Dia terdiam. "Sebenarnya aku berniat mau membangun masjid di situ. Kasihan, setiap akan shalat Jum'at, warga kampung kita terpaksa menyeberang ke kampung tetangga."

Seketika jantungku berdegup kencang. Ada sebersit rasa bersalah menggeliat hati. Tapi, adakah ini sandiwara Ir? Apakah dia hanya ingin mengambil muka?

"Ya, setelah adikmu setuju-setuju saja dengan rencanaku itu, sekalian saja aku ingin bertemu kau, Mul. Kebetulan aku ada tujuan ke Jakarta, membeli truk-truk bekas seorang rekan bisnis. Kuharap kau mau menjualkan kebun itu, setidak-tidaknya kau pikirkan ini untuk keperluan ibadah."

Kuremas-remas jemari tangan. Aku merasa berdosa karena berprasangka buruk kepada Ir. Memang tampilannya saja yang seadanya, tapi kehidupan dan cara berpikir Ir sudah lebih maju dariku. Coba, dia tahan membeli kebun pala itu demi kenyamanan orang untuk beribadah. Berarti dia bukan hanya kaya harta, tapi juga kaya hati.

"Kalau kau bersedia juga, sekalian saja ikut aku pulang kampung. Kutahu dari Mirsan kalau kau seorang tukang. Maksudku, saat pembangunan masjid itu, kau akan menjadi mandor. Perkara tempat tinggal, kau boleh memilih salah satu bedeng sewaanku. Bagaimana?" Dia menatapku ragu-ragu. 

Bunyi klakson mobil, membuyarkan perbincangan kami. Kulihat Mirsan turun dari mobil super mewah. Beberapa tetangga yang melintas di jalan, berhenti dan terpelongo. 

"Itu pun kalau kau setuju," kata Ir lagi. "Pikirkanlah, besok kutunggu jawabanmu. Sekarang aku pulang dulu."

Mendengar suara klakson mobil, istriku menghambur dari dapur. Dia terkagum-kagum melihat mobil mewah itu.

"Mobilmu, Ir?" tanyaku malu-malu.

"Hanya titipan Allah. Tadi, Mirsan memakainya untuk mengangkut barang-barang belanjaan dari pasar. Jadi, aku ke rumahmu naik becak saja." Dia tersenyum samar. 

Sebelum tangan Ir menjangkau pintu mobil, buru-buru aku menghentikan langkahnya. "Aku setuju menjual kebun pala itu, termasuk bila kau memang ingin memboyong keluargaku pulang kampung."

Ir buru-buru memelukku erat-erat. 

Maafkan aku telah berprasangka buruk kepadamu, Ir. Ternyata tamu memanglah raja. Raja yang menjadi perantara rejeki dari Allah.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun